18. Penemuan Tubuh

2 1 0
                                    

Setelah minum penawar, kondisi tubuh Jun membaik. Meski masih tersisa bekas cipratan darah dan dilumuri debu, tetapi setidaknya sekarang Jun merasa lebih segar. Juga lebih waras. Ia menenteng kembali ranselnya dan mulai berjalan menyusuri rute yang sudah dia lewati tadi.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Reruntuhan itu selalu tampak gelap seolah hari tidak pernah berganti. Jun yang mulai kelaparan pun memakan sisa bekal roti kering yang dia bawa di dalam ransel. Dan karena dia sudah pingsan selama dua hari pingsan, tubuh Jun tidak lagi merasa lelah atau mengantuk.

Sesampainya di depan pintu menuju makam, Jun sudah mempersiapkan hati untuk berhadapan lagi dengan mumi Raja Tutankhamun. Belum lagi ribuan serangga-serangga yang sudah dia panggil sebelumnya juga mungkin akan ikut menyerang. Namun, saat membuka pintu, rupanya kekhawatiran Jun itu tidak menjadi kenyataan.

Alih-alih kekacauan, makam itu justru tampak tenang seperti pertama kali Jun memasukinya beberapa hari yang lalu. Gelap, sepi, dengan peti batu yang masih tertutup rapi solah tidak pernah ada pertarungan sebelumnya di sana.

“Apa semua serangga itu sudah lenyap? Mumi itu juga sudah menghilang. Tapi siapa yang menutup peti batu itu lagi? Rasanya seperti semua kejadian kemarin di sini hanya mimpi saja,” tukas Jun menatap sekeliling.

Jun menerangi area tersebut dengan obor yang dia bawa dari ruangan sebelumnya. Senternya sudah lama hilang saat bertarung dengan Tutankhamun. Dia tidak yakin kalau benda itu bisa ditemukan lagi sekarang. Karena itulah dia memilih mengambil obor sebagai penerangan jalan.

“Setiap ruangan di kuil ini diatur sedemikian rupa agar secara otomatis kembali ke kondisi awal setiap kali penantang berhasil melewatinya atau mati terbunuh di tempat itu,” terang Jin tenang. Pendar birunya sudah lebih terang sekarang, setelah Jun memulihkan kondisi tubuhnya. Itu artinya kekuatan sihir Jin sudah cukup terisi lagi.

“Semacam direset? Arena yang langsung kembali seperti semula setelah sang penantang menyelesaikan tugasnya atau pun mati di tempat. Reruntuhan ini benar-benar seperti arena game survival,” komentar Jun.

“Meski begitu, Anda tidak perlu melawan mereka lagi karena kita sedang berputar arah. Lain ceritanya jika nanti Anda memilih untuk melewati tantangan ini lagi,” imbuh Jin menambahkan.

Jun mendengkus kecil. “Kuanggap itu kabar baik,” sahutnya dingin.

Keduanya pun menyusuri ruangan makam dengan tenang. Mengetahui bahwa tantangan sudah tidak aktif sementara mereka menyusuri rute yang terbalik, Jun memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Ia melewati area makam dengan mudah, lantas kembali menjelajah lorong gelap menuju lapangan tarung.

Sesuai penjelasan Jin, lapangan tarung itu juga sudah rapi. Tidak ada bekas-bekas pertarungan yang tersisa. Padahal Jun tahu bahwa pertarungan Brithon dengan sang Minotaur sebelumnya pasti akan menimbulkan banyak kerusakan dan kekacauan. Akan tetapi, kini seluruh senjata sudah tergeletak rapi di pinggi lapangan. Area tribun penonton juga tampak tidak berubah sama sekali.

Jun menyapukan pandangannya dengan sedih. Di tempat ini dia terakhir kali bersama dengan Brithon. Apa semuanya akan berbeda kalau dia tidak meninggalkan Brithon sendirian? Seharusnya dia yang terluka dan mati di sini, bukan kawan-kawannya. Sejak awal dialah yang berambisi mendapatkan artefak, sementara teman-temannya datang karena mengkhawatirkannya. Namun, justru karena keserakahannya itu, kini Jun harus kehilangan tiga sahabat terbaiknya.

Rasa bersalah dan penyesalan kembali menghantui pemuda itu. Dadanya terasa sesak karena dipenuhi amarah pada dirinya sendiri. Jun menarik napas panjang, berusaha untuk tetap tenang. Namun, matanya kembali menghangat karena digenangi air mata. Tenggorokannya tercekat, seolah dicekik oleh kemarahannya tersebut.

“Saya merasakan energi tipis manusia di sekitar sini. Sangat tipis, nyaris tidak terdeteksi kalau saya tidak menajamkan kekuatan,” ujar Jin tiba-tiba.

Sontak Jun menoleh dengan penuh harap. Ia masih sulit bicara karena kesedihan yang mendadak menderanya lagi. Meski begitu, pemuda itu tetap memaksakan untuk bersuara. “Be, benarkan? Di mana?” tanyanya dengan suara parau.

Untuk pertama kalinya, Jin melayang menjauh dari Jun. Makhluk biru dengan kaki serupa asap itu terbang menuju ujung lapangan, dekat dengan salah satu pintu tempat keluarnya Minotaur. Jun segera berlari mengikuti Jin.

Setelah sampai di titik yang dimaksud, Jin menunjuk ke bawah. Jin menyusulnya dengan tergopoh-gopoh dia segera melihat ke tanah dan betapa terkejutnya Jin. Di sana, tubuh Brithon tergeletak lemas dengan posisi yang tidak wajar. Kaki kiri dan tangan kirinya menekuk ke arah yang tidak semestinya. Luka lebam dan darah memenuhi seluruh tubuh Brithon.

Jun segera berlutut di samping tubuh temannya. Ia nyaris tidak bisa menahan air mata melihat Brithon terkulai lemah tak sadarkan diri. Dengan gemetar, Jin berusaha meraih tubuh temannya itu, tetapi tidak sampai hati untuk benar-benar menyentuhnya.

“Brihton … bagaimana bisa …,” desah Jun dengan suara tercekat menahan isak tangis. Hatinya diliputi kepedihan dan kengerian di saat yang bersamaan.

“Ajaibnya, tubuh teman Anda masih bisa diselamatkan. Meski jiwanya terpisah dari raga, tetapi saya masih bisa merasakan energi tipis yang melingkupi tubuh ini. Jika Anda bisa menemukan jiwa pemuda ini, kemungkinan saya bisa mengembalikan kondisinya. Tapi waktu Anda sempit, Jun. Energi tubuh ini perlahan menghilang dan tidak bisa lagi digunakan sebagai wadah jiwa,” terang Jin melayang di dekat tubuh Brithon.

Jun tak lantas menjawab. Ia berusaha memberanikan diri untuk memperbaiki posisi tubuh Brithon menjadi lebih layak. Tangannya masih gemetar, dan air mata besar-besar menetes di pipinya tanpa suara. Akan tetapi, Jun tetap mengangkat kaki dan tangan Brithon yang patah ke arah yang tidak normal.

Benar kata Jin, meski sudah kehilangan sebagian besar kehangatan, tetapi tubuh Brithon belum sepenuhnya dingin seperti mayat yang kaku. Alih-alih, raga Brithon tersebut justru terlihat seperti orang yang sedang tertidur. Koma. Terjebak dalam kondisi vegetatif. Inikah yang terjadi pada tubuh yang kehilangan jiwanya?

“Jika semua teman Anda memiliki kekuatan sihir yang sama besarnya dengan pemuda ini, kemungkinan besar tubuhnya bisa bertahan sampai sekarang. Anda masih punya harapan untuk menolong mereka,” hibur Jin lagi.

Setelah selesai memperbaiki tubuh Brithon, Jun lantas mengusap air mata di wajanya dengan lengan baju. Kedua telapak tangannya sudah dipenuhi darah Brithon yang masih basah.

“Kita harus membawa tubuh Brithon,” ujar Jun dengan suara bergetar.

“Silakan memberi perintah, Jun,” sahut Jin menegakkan tubuh asapnya sambil membungkuk hormat.

“Buatkan tandu melayang untuk membawa tubuh Brithon, Jin,” perintah Jun kemudian.

“Keinginan Anda adalah perintah bagi saya,” jawab Jin, lantas menjentikkan jarinya.

Kepulan asap biru muncul menutupi tubuh Brithon. Setelah beberapa detik, asap itu pun memudar dan Jun bisa melihat bahwa tubuh temannya itu sudah berada di atas tandu melayang yang terbuat dari kulit hewan yang kokoh.

“Kita lanjutkan perjalanan,” perintah Jun kemudian.

Mereka pun akhirnya kembali menyusuri lapangan tarung menuju lorong tempat jiwa-jiwa terjebak. Tandu melayang yang membawa tubuh Brithon ikut terbang mengikuti langkah kaki Jun di belakang. Setelah ini, Jun juga harus mencari tubuh Alex dan Lana. 

The Magic LampTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang