Kegelapan lagi-lagi menyambut Jun begitu melongok ke lorong luar ruangan berteralis besi. Jun sudah membereskan ranselnya, sementara lampu senter yang dia pakai sebelumnya justru padam gara-gara jatuh terbentur lantai.
"Senternya mati, pula," rutuknya sembari mencoba memukul-mukul ujung senter dengan telapak tangannya, berharap kabel yang putus atau apa pun masalahnya bisa teratasi. Namun, benda itu tetap menolak menyala.
"Apakah yang Anda maksud senter itu adalah benda panjang di tangan Anda itu, Jun? Itu bisa mengeluarkan cahaya? Seperti obor?" tanya Jin yang melayang terbang di belakang punggung Jun. Lampu emas ajaib tempat tinggal Jin sudah dikemas rapi ke dalam tas ransel pemuda itu.
"Ini memang bisa menyala, mengeluarkan cahaya. Tapi bukan api. Lampu. Listrik. Semacam itu," terang Jun masih berkutat memperbaiki senternya. Jalan koridor itu sepenuhnya gelap jika tidak disinari oleh lampu senter. Ia seratus persen buta jika nekat menjelajah koridor tanpa cahaya.
"Silakan memberi perintah, Jun. Saya bisa membantu membuat benda itu bercahaya lagi," ungkap Jin serius.
Jun melirik ke arah partner barunya. Cahaya bulan dari ruangan teralis besi masih berpendar, dan samar-samar memperlihatkan wajah lawan bicaranya.
"Begitukah cara kerja sihir kita? Aku harus memberi perintah baru kau bisa bekerja?" tanya Jun memastikan.
Jin mengangguk. "Itu benar. Harap Anda memberikan perintah yang tepat dan efektif agar sihirnya bekerja dengan baik," jawabnya.
"Oke. Kalau begitu, Jin tolong nyalakan lampu senter ini," perintah Jun.
Akan tetapi Jin bergeming. "Secara teknis saya tidak mengerti cara kerja benda itu dan bagaimana menyalakannya. Tapi kalau Anda meminta saya membuat cahaya ...," ujar Jin terdengar sendu. Dia sepertinya kecewa pada dirinya sendiri.
Jun menghela napas, berusaha tetap sabar selama masa orientasi bekerja sama dengan Jin. "Rumit juga rupanya," komentarnya pelan.
"Maaf, Jun," ungkap Jin muram.
"Yah, bukan salahmu. Baiklah. Akan kucoba sekali lagi. Jin, tolong berikan cahaya pada benda ini agar bisa digunakan untuk menerangi jalan kita," kata Jun.
"Keinginan Anda adalah perintah bagi saya," sahut Jin sembari menjentikkan jarinya.
Tepat pada saat itu, senter di tangan Jun lagsung menyala begitu saja. Akan tetapi, cahaya yang muncul bukan dari bola lampu kecil yang tersemat di ujungnya, melainkan seperti ada renik-renik cahaya yang memenuhi bagian dalam senter itu. Titik-titik cahaya itulah yang kemudian memberikan nyala terang bagi Jun dan Jin. Bahkan lebih terang dari cahaya senter yang sebenarnya.
"Wah, setelah mengalaminya beberapa kali, kemampuanmu memang keren, Jin. Meski aku harus berpikir ekstra untuk bisa memberi perintah yang tepat," komentar Jun puas.
"Syukurlah kalau Anda merasa senang," jawab Jin.
Mereka pun mulai menyusuri lorong yang sebelumnya sudah dilewati oleh Jun. Lorong sempit itu sunyi dan rasa-rasanya jauh lebih gelap dari sebelumnya. Entah apakah ini hanya perasaan Jun semata atau memang ada hawa dingin membekukan yang ganjil. Sepertinya tadi Jun tidak merasa kedinginan seperti ini.
"Kegelapan sudah mulai keluar. Energinya merembes ke seluruh tempat di bangunan ini," ujar Jin tiba-tiba memberi penjelasan, seolah-olah bisa membaca pikiran Jun.
"Apa dia sangat kuat? Bagaimana wujudnya?" tanya Jun penasaran.
"Kekuatannya tidak terbatas karena tempat ini sebenarnya adalah kegelapan itu sendiri. Kita berada di pusat dirinya. Wujudnya tak tergambarkan. Dia bisa bermanifestasi menjadi apa pun. Sesuatu yang ditakuti oleh lawannya," terang Jin serius.
"Penjelasan yang sangat abstrak," komentar Jun sembari menghela napas. "... tapi jelas terdengar berbahaya," imbuhnya lagi.
Mereka pun terus menyusuri lorong hingga sampai di persimpangan tempat Jun meletakkan catatan bagi Brithon. Jun mencari-cari sobekan kertas yang dia tinggalkan di sana sebelumnya. Namun, benda itu sudah tidak ada di mana-mana. Bukankah itu artinya Brithon sudah mengambilnya? Tapi kenapa dia tidak bertemu dengan temannya itu? seharusnya mereka berpapasan kalau Brithon sudah membaca pesan darinya.
"Jin, apa kau bisa menelusuri jejak energi seseorang?" tanya Jun sambil masih menyorotkan senter ke segala arah.
"Saya bisa melakukannya atau tidak, tergantung batas energi sihir Anda, Jun. Kalau Anda memiliki cukup banyak energi sihir, saya bisa memindai seluruh area ini untuk mencari semua teman Anda," jawab Jin.
"Kalau begitu, dengan energi sihirku yang sekarang, sejauh mana kau bisa melakukan pemindaian itu?" tanya Jun kemudian.
Jin tampak terdiam sejenak sembari menatap lurus ke arah majikannya. "Dengan sisa energi Anda saat ini, mungkin saya hanya bisa memindai dalam radius sepuluh sampai dua puluh meter."
Jun menghentikan usahanya mencari secarik kertas yang hilang. Dia lantas mengangguk ke arah Jin dan memberi perintah. "Itu sudah cukup. Jin, tolong pindai jejak energi di area ini untuk menemukan apakah ada orang lain di dekat kita."
"Keinginan Anda adalah perintah bagi saya," jawab Jin, lantas membentangkan kedua tangannya ke samping. Ia kemudian menutup mata dan gelombang energi berwarna biru muncul dari tubuhnya, lantas beriak melebar seperti lingkaran yang yang meluas dan menjauh.
Beberapa menit kemudian, Jin kembali membuka matanya. "Tidak ada siapa-siapa di dekat kita, Jun. Hanya kegelapan yang kosong."
Jun mulai berpikir. Kalau radius itu Jin tidak merasakan adanya jejak energi Brithon, itu artinya sahabatnya itu sudah tidak berada di lapangan tarung. Pun di tempat ruangan berteralis itu juga tidak mungkin. Satu-satunya jalan yang mungkin dipilih oleh Brithon hanyalan arah lain persimpangan yang berlawanan dengan lokasi Jun berasal.
"Kalau begitu kita lanjutkan perjalanan ke sana," ujar Jun menunjuk lurus ke depan, melewatkan persimpangan yang menuju arah lapangan tarung.
Jin mengangguk setuju, mengikuti langkah tuannya menyusuri lorong yang sepi. Dalam hati, Jun masih bertanya-tanya, kenapa Brithon memilih arah sebaliknya padahal Jun sudah meninggalkan pesan petunjuk? Apakah Brithon benar-benar menemukan kertas itu, atau jangan-jangan kertasnya hilang? Tapi bagaimana? Tidak ada angin yang berhembus di sini hingga bisa menerbangkan secarik kertas yang dia tinggalkan.
Semakin lama berpikir, Jun hanya menjadi semakin pusing. Pada akhirnya dia memutuskan untuk tidak lagi menerka-nerka jawaban yang belum pasti. Fokusnya sekarang adalah untuk menemukan Brithon dan dua temannya yang lain.
"Tunggu. Apa kau tidak merasa kalau dinding lorong semakin meluas? Kita sekarang seperti berada di gua, alih-alih lorong reruntuhan," tanya Jun memperhatikan sekitarnya. Jarak pandang senternya tidak lagi bisa menyorot ke dinding, menandakan bahwa lorong sempit yang mereka lewati tadi sudah lenyap.
"Makam Tutankhamun. Berhati-hatilah, Jun, yang terkubur di tempat ini bukan hanya para raja kuno, tapi juga orang-orang biasa yang mencoba mencuri artefak," ujar Jin memperingatkan.
Jun menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Sambil mengarahkan senternya ke segala arah, pemuda itu pun menemukan tumpukan kerangka manusia berserak di seluruh lantai ruangan luas tersebut.
"Tantangan di makam ini adalah kutukan kematian," imbuh Jin tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Magic Lamp
FantasyRanjun Sigh, siswa tingkat akhir Akademi Diora, tidak puas akan kemampuannya memanggil spirit yang menurutnya terbatas. Ia ingin mencari sumber kekuatan lain dengan mendatangi reruntuhan kuno Acra di luar benua. Selama berkelana sendirian, tiga reka...