Aku sedang mengenakan apronku saat pintu kedai kopi terbuka perlahan. Padahal kedai kopi ini baru saja buka beberapa menit yang lalu, rasanya tidak masuk akal jika sudah ada pembeli yang datang. Sambil tergesa merapikan apron dan rambutku, aku bersiap menyapa pembeli yang datang.
"Selamat datang di Like A Latte. Bagaimana dengan segelas kopi spesial dari kami untuk menghangatkan harimu?" sapaku dengan ramah. Pagi ini sebenarnya aku masih mengantuk karena semalam harus membantu catering ibu kosku. Lumayan, hanya membantu semalam saja aku mendapatkan uang yang bisa digunakan untuk makanku selama beberapa hari. Seharusnya hari ini aku menukar jadwal shift kerjaku dengan Angga, salah satu rekan sesama barista di kedai kopi ini. Tapi nyatanya Angga malah tidak masuk karena terserang demam.
"Apa yang spesial di sini?" tanya lelaki bersorot mata tajam itu. Aku menahan napas karena sepertinya tidak asing dengan wajahnya, apa dia seorang artis? Aku menyunggingkan senyum termanisku sebelum menjawab pertanyaannya.
"Semua minuman di sini spesial, Mas," jawabku. Aku mengerutkan keningku sesaat sambil berpikir apa lelaki ini cocok kupanggil 'mas' atau malah dia akan tersinggung karena merasa masih muda?
"Sebutkan satu saja, aku tidak mungkin meminum semuanya," ucapnya ketus. Di kedai kopi ini aku sering sekali berhadapan dengan berbagai tipe orang, dari yang jutek hingga yang ramah. Dan tipe yang berada di hadapanku ini adalah salah satu tipe yang kuhindari. Tipe songong yang rasanya ingin kusiram dengan air panas.
"Bagaimana dengan segelas americano. racikan americano di sini pasti cocok dengan selera Mas," tawarku. Bola mata lelaki beralis tebal itu terlihat berputar. Setelah menatap ke arahku, dia kemudian mengedarkan matanya ke segala arah. Heran, sebenarnya apa yang diinginkannya di kedai kopi ini. Dia benaran mau minum kopi atau cuma mau tanya-tanya aja?
"Baiklah, segelas americano. Jangan lebih dari lima menit," ucapnya dengan wajah datar. Aku berusaha tersenyum saat mendengar permintaannya. Rasanya ingin kutantang lelaki sombong ini untuk membuat americano-nya sendiri.
"Baik, ditunggu sebentar ya, Mas," balasku dan kemudian segera membuat minuman pesanannya.
Aku kemudian segera menakar biji kopi untuk digiling di mesin penggiling kopi. Americano adalah versi ringan dari espresso sehingga membutuhkan air panas yang lebih banyak untuk satu gelas takarnya.
Aku sudah terbiasa membuat kopi pesanan pembeli yang tidak sabar menunggu, tapi lelaki yang satu ini terasa berbeda. Di balik ketidak sabarannya, matanya seperti menatapku tajam, seolah ada yang salah dari cara penyajian kopiku. Justru dilihat dengan cara seperti itu malah membuatku merasa salah tingkah. Biasanya jika pembeli tidak sabar menunggu, mereka akan duduk di salah satu kursi di kedai ini, bukannya malah berdiri tepat di hadapanku seperti ini.
"Silahkan, Mas," ucapku sambil tersenyum. Senyumku mungkin terlihat palsu, tapi aku tidak peduli. Toh entah kapan lagi lelaki ini akan kembali datang ke sini.
Aku kemudian menyebutkan harga satu gelas americano yang sudah berada di tangannya dan lelaki itu kemudian mengeluarkan selembar uang padaku.
"Kembaliannya ambil saja," ucapnya sambil berlalu. Sial, entah kenapa aku malah kesal walaupun dia memberikan tip padaku.
"Pagi banget sudah ada yang datang," komentar Arin, teman shift-ku pagi ini. Dia baru saja dari belakang setelah menyelesaikan sarapannya.
"Orang yang kebetulan lewat kali," balasku sambil menguap lebar. Mataku terasa berair dan rasa kantuk terasa sulit untuk dicegah.
"Kamu nggak tidur apa semalam?" tanya Arin curiga.
"Cuma sempat tidur satu jam aja, bantuin catering ibu kosku," jawabku.
"Sana dandan yang agak tebal dikit, biar nggak kelihatan pucat. Kata Mas Wira, hari ini owner kita bakal datang," ucap Arin dan membuatku menatapnya dengan wajah bingung. Wira adalah manajer kedai kopi ini, kebetulan dia adalah kakak tingkatku di kampus. Dari dia jugalah aku bisa bekerja di kedai kopi ini.
"Katanya owner kita nggak tinggal di Surabaya," balasku.
"Iya, dia memang sengaja datang buat melihat keadaan kedai kopinya," ucap Arin.
"Sana, dandan dulu. Kamu benar-benar pucat hari ini." Ucapan Arin kali ini mirip seperti sebuah perintah hingga aku tidak bisa menolaknya lagi.
Biasanya Wira juga sering meminta para barista untuk selalu menjaga penampilan agar pembeli yang datang merasa senang dan betah berlama-lama di kedai ini. Tadi pagi aku memang buru-buru setelah hampir tidak terbangun saat mendengar bunyi alarm ponselku. Jadi wajar saja jika pagi ini aku belum sempat merias wajahku. Untung saja pagi ini Wira belum datang, hingga aku tidak perlu mendengar omelannya.
"Memangnya kamu kenal dengan owner kedai kopi kita ini?" tanyaku setelah keluar dari ruang khusus untuk para staf.
"Nggak. Kamu?" Arin balas bertanya.
"Sama, aku juga nggak pernah bertemu langsung dengannya. Dulu aku malah berpikir jika Wiralah yang memiliki kedai kopi ini," ucapku dan membuat Arin terkekeh.
"Aku boleh tidur sebentar nggak, Rin? Setengah jam aja," pintaku setelah berkali-kali menguap dan membuat mataku basah oleh air mata.
"Tapi owner kita mau datang loh," kata Arin memperingatkan.
"Rasanya nggak mungkin sepagi ini deh. Mas Wira aja biasanya jam sembilan baru datang. Mungkin dia bareng Mas Wira," ucapku sok tahu.
"Tapi kalau mulai ramai, aku bangunin kamu ya," kata Arin akhirnya. Aku mengangguk dan membawa langkahku yang mulai terhuyung ke belakang. Selain mengantuk, seluruh tubuhku juga terasa pegal. Mau bagaimana lagi, aku harus bekerja dengan keras setiap hari agar bisa memenuhi kebutuhanku setiap hari dan menyisihkan sedikit uang untuk dikirimkan buat Mama.
Tiba-tiba saja napasku terasa sesak saat memikirkan Mama. Aku mencoba menarik napas panjang agar pikiranku tidak semakin berat karena memikirkan Mama.
"Laras!" Suara panggilan Arin terdengar jelas saat tanganku baru saja akan membuka pintu ruangan staf.
"Jangan tidur dulu, owner kita sudah datang," ucap Arin dengan setengah berbisik seolah khawatir ada orang lain yang bisa mendengar ucapannya.
"Cepat banget," ucapku tidak senang karena itu artinya seharian ini aku tidak akan bisa memejamkan mataku lagi.
"Ayo buruan ke depan. Tadi aku bilang kamu lagi ke toilet." Arin kemudian menarik tanganku agar aku segera mengikutinya.
"Orangnya seram ya?" tebakku karena Arin terlihat tidak sabar dan tegang.
"Dibanding seram, dia sebenarnya ganteng banget," bisiknya dengan kalimat penuh penekanan hingga aku merasa merinding.
"Bohong," potongku karena mengira jika Arin sedang mengerjaiku.
"Serius. Ganteng, masih muda, pokoknya enak banget dilihat. Harusnya dia saja yang jadi barista di sini, aku pasti bakal tambah semangat kerja," katanya dengan mata menerawang.
"Jangan ngaco deh," ucapku dan dibalas dengan tawanya.
"Itu dia," bisik Arin dengan memberi kode menggunakan lirikan matanya ke arah sudut kedai kopi ini. Sosok yang disebut Arin itu sedang berbicara membelakangiku dengan Wira, sepertinya keduanya sedang membicarakan interior kedai ini karena beberapa kali lelaki itu menunjuk-nunjuk beberapa sudut kedai ini.
"Ganteng banget, kan," puji Arin lagi.
"Ganteng apanya, yang dari tadi aku lihat cuma punggungnya ...." Ucapanku kontan terhenti saat sosok itu berbalik dan aku bisa melihat dengan jelas wajahnya.
Sial! Ternyata dia lelaki yang membeli americano tadi pagi! (*)
Tes ombak dulu nih 😁.
Silahkan baca versi POV Laras di Wattpad. Sedangkan di KaryaKarsa adalah versi hidden part yang nggak ada di Wattpad (bisa diceritakan dengan POV Narendra, Laras, atau orang ke tiga). Semoga suka dengan cerita baruku ini yaa ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Like A Latte
RomanceLaras tidak menyukai kopi, tapi dia malah menjadi barista di sebuah kedai kopi, Like A Latte. Hidupnya sudah terasa pahit dan dia tidak membutuhkan segelas kopi untuk membuatnya semakin getir. Sampai akhirnya dia bertemu kembali dengan sosok di masa...