7. Jika Tidak Mau

819 274 16
                                    

Agar tidak bertambah salah tingkah, aku bergumam pelan hingga tangan Naren yang awalnya menyentuh tanganku terlepas.

"Oh ... maaf, aku sampai ketiduran," ucapku dengan dengan rasa canggung yang membuatku berpura-pura mengucek mataku. Kenapa Naren menyentuh telapak tanganku? Rasanya tidak ada apa-apa di telapak tanganku.

"Biar aku antarkan kamu pulang sekarang," katanya dengan tatapan mata yang mengarah ke depan.

"A-aku pulang sendiri saja, Mas. Nggak apa-apa kok, nggak perlu ditemani," tolakku karena merasa malu bisa tertidur di mobilnya.

"Nanti malah Mas Naren yang nggak berani pulang karena jalannya lumayan gelap," sambungku membuatnya terbahak. Aku tidak berbohong mengenai jalan gang menuju kosku yang gelap dan menyeramkan. Mungkin itu salah satu alasan yang membuat harga sewa kosku sangat murah, jauh di bawah standar harga kos biasanya, selain karena bangunan kosnya juga memang sudah tua.

"Aku nggak phobia dengan gelap, ayo aku temani kamu sekarang. Besok minta Wira tukar shift kamu aja biar nggak perlu bangun terlalu pagi," katanya.

"Besok aku memang masuk shift ke dua, Mas," balasku.

"Ayo," ajaknya lagi sambil turun dari mobil padahal aku tidak ingin dia mengantarku pulang. Buat apa juga ditemani jika aku berani pulang sendiri. Tapi tetap saja aku tidak bisa menolak tawarannya karena Naren sudah berjalan terlebih dahulu hingga aku harus setengah berlari untuk mengejarnya.

"Lampu jalannya minim banget," ucapnya sambil melihat sekeliling.

"Kenapa nggak cari kos yang lebih dekat dengan kedai kopi?" tanyanya kemudian. Aku tersenyum sebelum menanggapi pertanyaannya. Hal yang sudah kuduga sebelumnya jika Naren akan mempertanyakan hal itu. Bagi sebagian orang, keputusanku untuk tinggal di kosku adalah hal yang aneh. Dengan kondisi bangunan tua yang menyeramkan, akses jalan menuju kos juga tidak begitu baik karena minim penerangan di saat malam dan hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki serta kendaraan roda dua. Tapi tentu aku punya alasan sendiri kenapa memilihnya, sudah pasti karena harga sewanya yang miring.

"Karena di sini kosnya lumayan murah dari pada yang lain, Mas," jawabku setelah beberapa saat berlalu.

"Masih jauh?" tanyaku Naren setelah berjalan beberapa saat, wajahnya terlihat tidak sabar dan aku yakin jika kakinya sudah terasa pegal.

"Nggak, sebentar lagi," jawabku menahan senyum karena tingkah Naren yang terasa lucu buatku. Tadi dia yang bersemangat ingin menemaniku hingga aku sampai di kos, tapi nyatanya saat ini dia sudah terlihat tidak betah.

"Sudah sampai," ucapku tak lama kemudian. Terdengar helaan napas lega Naren. Aku menoleh ke arahnya dan mendapatkan wajah Naren yang terlihat kaget. Apa dia tidak menyangka jika aku tinggal di kos yang sebenarnya tidak layak seperti ini? Atau apa dia merasa ketakutan setelah melihat bangunan tua kosku yang dari luar terlihat remang-remang karena kurangnya lampu penerangan?

"Makasih, Mas. Aku masuk ke dalam dulu ya," kataku dengan nada canggung karena Naren tidak kunjung mengajakku berbicara dari tadi.

"Itu ... Mas Naren berani pulang sendiri, kan?" tanyaku ragu.

"Tentu saja berani," jawabnya sambil terkekeh dan aku pun beranjak masuk ke kos sambil sesekali menoleh ke belakang yang ternyata Naren masih berdiri di tempatnya semula seolah ingin memastikan jika aku benar-benar masuk ke kos.

***

Karena tidur dengan cukup tadi malam dan hari ini juga mendapat shift ke dua, aku jadi bisa bekerja dengan perasaan lebih baik hari ini. Kecuali satu hal yang membuatku tidak tenang yaitu telepon dari Tante Rahma lagi yang mendesak aku untuk segera mengirimkan uang karena keadaan Mama semakin tidak baik.

Kemarin aku sudah mencoba ingin meminta pembayaran gajiku dipercepat pada Wira tapi nyatanya lelaki itu tidak ada di ruangannya dan aku malah dibuat kebingungan dengan Naren yang sepertinya begitu ingin tahu keperluanku mencari Wira. Apa sore ini kucoba lagi walaupun dari tadi aku tidak melihat Wira, mungkin saja dia belum pulang dan masih berada di ruangannya. Kalau pun dia sudah pulang, aku akan meneleponnya saja.

Permasalahanku kali ini tidak bisa ditunda lagi. Aku benar-benar membutuhkan uang untuk membeli obat Mama. Tidak bisa menunggu lebih lama, aku bergegas menuju ruangan Wira sebelum dia meninggalkan kedai ini.

Aku mengetuk pintu ruangan Wira dengan penuh kecemasan. Bagaimana jika Wira menolak permintaanku, bagaimana jika ...

"Masuk," ucap suara dari balik pintu dan membuatku membuka pintu perlahan. Sosok yang sedang duduk di kursi Wira membuatku terkejut.

"Apa kamu sedang mencari Wira?" tanyanya.

"Eh ... itu ... iya, Mas. Kalau begitu nanti saja," jawabku canggung karena yang berada di hadapanku saat ini adalah Naren.

"Jika berhubungan dengan pekerjaan, katakan saja apa keperluanmu karena aku juga sedang menggantikan Wira selama dia tidak ada," jelasnya dengan matanya yang terlihat berbeda dari yang kuingat semalam. Padahal semalam sorot matanya terasa hangat dan lembut tapi kali ini dia menatapku begitu tajam.

"Mas Wira ke mana?" tanyaku bingung dengan ucapan Naren tadi.

"Ada urusan pribadi yang tidak bisa ditinggalkannya jadi dia akan tidak masuk selama beberapa hari," jelasnya. Sesaat rasa kecewa terlintas di pikiranku. Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan gajiku lebih awal jika Wira saja tidak masuk. Aku tidak mungkin mengatakan masalah pribadiku pada sosok lelaki yang sedang berada di hadapanku ini. Di mana lagi aku bisa mencari sejumlah uang untuk membeli obat Mama?

"Wira akan bertunangan dengan pacarnya," kata Naren lagi. Sekali lagi aku menatap Naren dengan wajah kaget karena sama sekali tidak mengetahui tentang berita ini. Pantas saja beberapa hari ini Wira terlihat sibuk.

"Aku senang mendengarnya," komentarku.

"Jadi ... apa sebenarnya keperluanmu?" tanyanya kemudian dan membuatku terdiam selama beberapa saat. Aku tidak mungkin mengatakan keperluanku itu pada Naren, bukan?

"Masuklah terlebih dahulu, kamu tidak akan bisa berbicara dengan baik jika berdiri di depan pintu seperti itu," pintanya dan membuatku segera beranjak masuk. Dari pintu terbuka tadi, aku memang terus berdiri di depan pintu.

"Nanti saja, Mas. Tunggu Mas Wira masuk saja," ucapku dengan wajah serba salah. Naren sudah pasti tidak bisa mengerti masalah yang sedang kuhadapi ini dan belum tentu mau mengabulkan permintaanku.

"Ada hubungan apa sebenarnya di antara kamu dan Wira?" tanyanya sinis hingga membuat mataku membesar. Hanya karena aku tidak menjelaskan maksud kedatanganku ke ruangan Wira, dia malah mengira jika aku memiliki hubungan dengan Wira?

"Bukan urusan pekerjaan yang ingin kamu bicarakan dengan Wira?" tanyanya.

"Bukan begitu, Mas .... Ini juga urusan pekerjaan. Hanya ... aku merasa nggak pantas mengatakannya pada Mas Naren karena apa yang akan aku katakan ini pasti sangat mengganggu," ucapku terbata. Bagaimana ini? Jika aku katakan yang sebenarnya, belum tentu dia mau membantuku. Tapi jika tidak dikatakan, dia malah menuduhku yang bukan-bukan.

"Kenapa mengganggu? Bukankah aku dan Wira sama saja. Aku tidak mungkin merasa terganggu jika itu adalah masalah yang diutarakan oleh karyawanku," katanya dengan wajah serius dan semakin membuat nyaliku terasa ciut.

"Katakan apa yang menjadi masalahmu saat ini hingga kamu begitu menunggu-nunggu kedatangan Wira," sambungnya lagi. Aku semakin tegang dan tidak tahu dari mana harus memulai untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Jika kamu tidak mau mengatakannya, keluarlah dari ruangan ini sekarang juga," ucapnya setengah membentak.(*)

Baca Hidden Part-nya juga di KaryaKarsa yuk ☺️ karena di sana bakal terjawab banyak hal yang nggak ada di POV Laras ini. Link ada di profil yaaa ❤️

Like A LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang