"Pagi semuanya," sapa Wira sambil tersenyum lebar dan berjalan mendekat ke arah konter. Aku menahan napas karena sosok lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Kali ini aku begitu cemas memikirkan apa pelayananku sudah kulakukan dengan baik sedangkan tadi aku merasa tidak sepenuh hati melayani lelaki yang ternyata adalah owner Like A Latte ini. Aku bahkan memberikan senyuman palsu padanya tadi.
"Tebak siapa yang bersamaku saat ini," lanjut Wira sambil tersenyum lebar. Oh! Semoga ini semua tidak membuat lelaki itu tidak senang padaku sampai akan memecatku. Bagaimana pun aku benar-benar membutuhkan pekerjaan di sini. Jantungku berdetak semakin cepat sambil terus mengingat apalagi kesalahan yang tadi aku lakukan saat melayaninya.
"Owner kedai kopi ini," ucap Arin bersemangat. Tidak perlu ditanya juga sebenarnya Arin sudah tahu karena Wira sudah memberitahunya. Hanya aku saja yang tertinggal dan tidak tahu apa-apa karena tidak sempat membaca pesan yang dikirimkan oleh Wira di grup kedai kopi ini.
"Benar banget. Ini adalah Narendra, pemilik Like A Latte. Kalian bisa memanggilnya Mas Naren atau senyaman kalian aja," kata Wira. Aku terdiam sesaat sambil mengeja namanya di dalam hati. Kenapa dari tadi baik wajah maupun namanya terasa tidak asing bagiku. Tapi semakin aku berusaha mengingatnya, aku malah semakin kesal pada diriku karena tidak ada satu petunjuk pun yang aku dapatkan. Mungkin aku memang benar-benar tidak mengenalnya.
"Kalau ini Arin, dan satunya lagi Laras," sambung Wira mulai mengenalkan aku dan Laras pada lelaki bernama Narendra itu.
Senyuman Narendra seperti terpaksa saat menyalami Arin. Apa memang seperti itu sosoknya atau dia sedang kelelahan karena baru datang dari Jakarta? Aku berusaha tersenyum seramah mungkin saat tangan itu terulur di hadapanku, jangan sampai dia mengira aku sedang berpura-pura ramah padanya. Tapi tetap saja Narendra hanya berwajah datar padahal rasanya senyumku sudah sangat maksimal.
"Lain kali jangan tawarkan americano pada pelanggan yang datang di pagi hari. Tawarkan kopi dengan espresso-based yang menggunakan susu seperti cappuccino atau caffe latte," ucapnya saat uluran tangannya terlepas. Aku bengong dan terdiam selama beberapa saat.
"Dan ... satu lagi. Perhatikan penampilanmu saat melayani pembeli, tersenyumlah dengan tulus dan jangan berwajah cemberut," sambungnya sambil berlalu dari hadapanku.
Oh astaga! Apa maksudnya dia baru saja mengomentari pelayananku tadi?
"Kok Mas Naren ngomong begitu ke kamu?" tanya Arin bingung setelah keduanya berlalu dari hadapan kami. Aku masih tidak berbicara hingga beberapa detik berlalu karena tidak menyangka jika lelaki dengan tampang tidak peduli seperti itu sangat memperhatikan hal-hal kecil yang bahkan aku sendiri tidak terlalu peduli.
"Tadi waktu kita baru buka, Mas Naren datang dan tanya kopi apa yang spesial. Aku benar-benar nggak tahu kalau di owner kedai kopi ini. Jadi aku layani aja seperti biasanya," jelasku.
"Masalah americano atau apa pun katanya tadi, aku nggak mengira ternyata dia sedetil itu. Harusnya kalau memang dia nggak biasa minum kopi yang cukup pekat di pagi hari, dia bisa bilang, kan. Intinya mau sebaik apa pun aku melayani dia tadi, sudah pasti ada yang nggak benar di matanya," sambungku hingga membuat Arin seperti sedang menahan tawanya.
"Tapi biarpun lagi ngomel, dia masih tetap ganteng loh," puji Arin sambil mengerjapkan matanya seolah sedang membayangkan sosok yang dibicarakannya. Aku tersenyum masam dan tidak tertarik menanggapi ucapan Arin. Dia memang tampan seperti yang dikatakan Arin tadi, tapi di mataku tetap saja dia terlihat menyebalkan.
"Kerja lagi, jangan banyak menghayal," ucapku dan beranjak meninggalkan Arin karena ada pembeli yang datang.
Aku tidak tahu sampai kapan Narendra akan berada di kedai kopi miliknya ini, tapi aku berharap jika dia bisa cepat kembali ke Jakarta. Rasanya nggak nyaman saja ada dua orang yang seperti pengawas di sini, walaupun tetap saja Wira lebih baik karena aku cukup mengenalnya.
Selain mengantuk, sebenarnya aku juga lapar. Makan terakhirku adalah kemarin sore, sepulang dari kedai kopi ini. Dari malam hingga subuh aku membantu catering ibu kostku dan benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk makan padahal makanan ada banyak di depan mata, hanya waktunya saja yang tidak ada.
Bisa dibayangkan apa yang aku rasakan saat ini, selain pusing karena menahan kantuk, perutku juga terasa perih karena bekerja dalam keadaan perut kosong. Beberapa kali aku harus menahan napas selama beberapa saat karena rasa nyeri di ulu hati yang terasa menyakitkan.
"Sana, kamu istirahat duluan. Mumpung lagi sepi," ucap Arin setengah berbisik karena saat ini sedang ada seorang pembeli di depan konter. Arin tahu jika dari tadi aku gelisah karena menahan kantuk tapi dia tidak tahu jika aku juga sedang menahan nyeri karena belum makan.
"Tidur setengah jam kayaknya cukup, setelah itu kamu bisa makan siang," katanya lagi. Aku tidak berani diam-diam tidur di ruang staf seperti yang kukatakan pada Arin tadi karena Narendra sepertinya masih berada di ruangan Wira. Jika aku nekat melakukannya, sudah pasti hari ini adalah hati terakhirku bekerja di sini.
"Aku istirahat dulu ya," kataku akhirnya. Masing-masih staf memang diberi waktu satu jam untuk beristirahat dan harus secara bergantian, tidak boleh bersama-sama. Aku berencana untuk membeli makan siangku dulu, baru setelah makan akan mencoba memejamkan mataku sejenak. Mana bisa aku tidur dalam keadaan perut kosong.
Ada sebuah warung makan di sebelah kedai kopi ini dan ke sanalah tujuanku. Harga seporsi makanan di sana cukup murah karena kebanyakan yang datang adalah mahasiswa. Aku selalu mengatur keuanganku dengan baik setiap hari agar uangku cukup hingga bulan depan. Untuk makan siang, aku memilih menu yang ekonomis, yang penting mengenyangkan dan aku bisa bekerja hingga sore nanti. Tidak boleh ada hal lain yang aku belanjakan kecuali sangat terdesak. Jika aku tidak seperti itu, mana bisa aku mengirim uang untuk membeli obat Mama.
Setelah membeli sebungkus nasi, aku berjalan dengan tergesa karena sudah tidak bisa menahan rasa laparku lagi.
Oh tidak! Karena tergesa-gesa, aku malah menabrak seseorang yang baru keluar dari kedai kopi hingga bungkusan nasi yang berada di tanganku terjatuh.
"Aduh! Maaf, Pak. Saya nggak sengaja," ucapku panik sambil menunduk dan berusaha mengambil bungkusan nasi yang terjatuh. Sialnya, bungkusan itu malah pecah hingga membuat isinya berceceran di lantai.
"Jangan diambil lagi, sudah kotor," ucap sosok yang kutabrak tadi. Aku mengangkat wajahku dan mendapatkan sosok lelaki berwajah dingin sedang menatapku.
"Oh! Mas Naren. Maaf, tadi aku tergesa-gesa dan nggak lihat kalau ada Mas di sini," ucapku penuh sesal. Ternyata yang aku tabrak adalah Narendra. Kenapa aku selalu saja membuat masalah saat berada di dekatnya?
"Permisi, Mas. Aku masuk dulu," ucapku setelah berhasil membereskan bungkusan nasi yang terjatuh tadi. Aku membuang napas kecewa karena tidak yakin masih bisa memakan nasi yang terjatuh tadi.
"Itu makan siangmu, bukan?" tanya Narendra saat aku akan beranjak meninggalkannya. Aku mengangguk pelan sambil mengalihkan pandanganku ke arah lain karena menatap wajah dinginnya saja sudah membuatku ketakutan.
"Makan siangmu sudah tidak bisa dimakan lagi. Ikutlah denganku, biar kubelikan makan siang yang baru," tawarnya.(*)
Hidden part 4 dan 5 dengan POV Narendra juga barusan di-update di KaryaKarsa ya. Di sana dijelasin kalau sebenarnya Naren sangat mengenal Laras, tapi sayangnya Laras yang nggak ingat sama dia juga ada flashback masa lau Naren dan Laras😁.
Selamat membaca, semoga suka ya❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Like A Latte
Roman d'amourLaras tidak menyukai kopi, tapi dia malah menjadi barista di sebuah kedai kopi, Like A Latte. Hidupnya sudah terasa pahit dan dia tidak membutuhkan segelas kopi untuk membuatnya semakin getir. Sampai akhirnya dia bertemu kembali dengan sosok di masa...