12. Apa Dia?

941 268 7
                                    

"Ada apa dengan lenganmu?" tanya Naren lagi sambil menatap lenganku dengan saksama. Dia bahkan sampai memicingkan mata agar bisa melihat memar akibat tarikan tangan Tio tadi dengan jelas.

"Itu ... tadi nggak sengaja ... nggak sengaja nabrak pintu," jawabku terbata. Aku kesulitan untuk memberikan alasan kenapa lenganku bisa sampai memar. Naren kemudian memiringkan kepalanya sambil menatap wajahku.

"Tapi bekas memarnya seperti bukan karena menabrak sesuatu," katanya. Aku menahan napas karena tidak ada yang salah dengan ucapannya.

"Tapi ini benar-benar karena menabrak pintu kok, baru saja tadi waktu mau keluar kos," kataku sambil memalingkan wajahku. Jika aku terus menatap matanya, bisa jadi Naren akan tahu jika aku berbohong. 

"Kenapa nggak diobatin?" tanyanya.

"Kenanya baru tadi, jadi belum sempat kepikiran buat diobatin," sahutku.

"Nanti habis makan, kita beli obat buat meredakan memarnya," katanya

"Nggak per ...." 

"Tentu saja perlu karena kalau dibiarkan, besok kamu akan sulit untuk bekerja dengan lengan yang terasa sakit." Ucapanku belum selesai dan Naren segera memotongnya. Aku meliriknya sejenak sampai dia segera memasuki tempat makan yang kutunjukkan tadi, seolah tidak mau mendengar tanggapanku atas ucapannya tadi.

Naren seperti tidak merasa canggung karena aku membawanya ke tempat makan yang sederhana ini. Walaupun sederhana, tapi pilihan menunya banyak hingga kadang membuatku sering kebingungan saat memilih apa yang ingin kumakan.

"Pesanlah makanan yang kamu inginkan," ucapnya setelah duduk di bagian dalam rumah makan.

"Apa saja," katanya lagi. Aku mengangguk dengan patuh karena tidak ada gunanya membantah jika sedang berbicara dengan Naren. 

"Hari ini kamu nggak membantu ibu kosmu?" tanyanya setelah aku mengambil makananku yang disajikan secara prasmanan. Sedangkan karena Naren memesan tongseng ayam yang harus dimasak dulu, dia mesti menunggu beberapa saat hingga makanan selesai dimasak.

"Ng ... nggak," jawabku gugup. Entah kenapa tiba-tiba saja aku malah membayangkan wajah Tio yang terasa begitu menakutkan buatku.

"Kalau kos yang mau Mas perlihatkan padaku cocok, kapan aku bisa pindah?" tanyaku kemudian. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama lagi di kosku yang sekarang. Hari ini aku mungkin bisa menghindari Tio, tapi tidak tahu besok dan hari selanjutnya.

"Secepatnya dan sesempat kamu. Kalau mau langsung pindah besok juga nggak masalah," jawabnya dan membuat mataku terasa berbinar. Aku merasa beruntung dengan Naren yang bersedia menolongku.

"Barang bawaan untuk pindah ke kos baru banyak nggak?" tanyanya.

"Nggak, hanya beberapa pakaian dan buku-buku kuliah," jawabku.

"Masih bisa dibawa dengan taksi, jadi nggak perlu repot cari jasa pindahan," kata Naren

Tak lama pesanan tongseng Naren datang dan kami pun makan dalam diam. Aku benar-benar bersyukur bisa makan dengan perasaan tenang karena Naren telah memastikan kos baruku telah siap ditempati.

"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Naren setelah beberapa saat berlalu.

"Belum membaik tapi aku sudah mengirimkan uang untuk membeli obat buatnya," jawabku. Naren tidak akan pernah tahu jika penyakit Mama akan sukar untuk sembuh. Gangguan kejiwaan yang dialaminya begitu berat hingga kadang dia bisa bersikap seperti orang lain dan tidak mengenaliku.

"Saat ini ibumu berada di mana?" tanyanya lagi.

"Dia ... tinggal bersama salah seorang tanteku di Gresik," jawabku sambil menundukkan wajahku dalam-dalam. Pertanyaan Naren tadi membuatku sedih karena membayangkan wajah Mama. Setelah sekian tahun berlalu, ternyata tidak semudah itu menyembuhkan lukanya.

"Semoga saja ibumu cepat sembuh," ucapnya kemudian. Aku tersenyum saat mendengar ucapannya dan merasa terharu karena Naren satu-satunya orang yang berharap Mama cepat sembuh. Entah itu hanya basa-basi, aku tidak peduli. Cukup mendengar ucapannya tadi saja sudah membuatku senang.

"Sudah malam, aku akan mengantarmu pulang. Semoga saja ini terakhir kalinya aku mengantarmu karena besok kamu sudah akan mendapatkan kos barumu," katanya dan membuatku menyunggingkan senyumnya. Aku juga tidak ingin merepotkan Naren dan semua teman-temanku di Like A Latte. Dan yang paling penting aku harus meninggalkan kosku karena ada seseorang yang begitu mengancamku.

Setelah menyelesaikan makan, aku dan Naren kembali menyeberangi jalan. Karena tahu lenganku sedang terluka, Naren tidak menarikku seperti tadi lagi.

"Tunggulah di motor, aku akan membeli salep pereda nyeri untuk luka di tanganmu," ucapnya. Kebetulan di sebelah mini market tadi ada sebuah apotek. Aku mengangguk mengiakan ucapannya. Tak lama Naren pun menghilang ke dalam apotek.

"Pakailah salep pereda nyerinya sesering mungkin dan ini vitamin agar kamu nggak sering sakit," katanya setelah keluar dari apotek. Dia memberikan sebuah bungkusan kecil padaku. Salep pereda nyeri dan vitamin mungkin sesuatu yang tidak terlalu berharga buat Naren, tapi bagiku pemberiannya itu benar-benar membuatku merasa terharu.

"Terima kasih, Mas," ucapku. 

Naren kemudian menyalakan motornya dan memintaku naik. Sebenarnya aku belum ingin pulang ke kos, rasa takutku akan bertemu kembali dengan Tio membuatku cemas.

"Kenapa orang-orang di sini tidak mau membuat lampu jalan agar saat malam hari, tidak seseram ini," keluh Naren saat perjalanan menuju kosku. 

"Nggak tahu, Mas .... Semenjak aku pindah ke sini, keadaannya sudah seperti ini," balasku. Walaupun gelap, tapi selama ini aku tidak pernah merasa ketakutan saat akan pulang ataupun keluar dari kos.

"Masuklah," kata Naren setelah menghentikan motornya di depan kos. Aku membuang napas panjang dan sebenarnya merasa begitu takut saat memikirkan mungkin saja Tio sedang menungguku di kamar. Apalagi dia punya akses mudah untuk memasuki kamarku. 

"Ada apa?" tanyanya mungkin karena melihat wajahku yang menegang.

"Nggak ada apa-apa, Mas," jawabku tidak ingin merepotkan Naren hanya karena ketakutanku ini. Mataku kemudian mengedar ke segala arah dan berharap Tio sudah tidak ada lagi di kos ini.

"Apa ada orang yang sedang kamu tunggu?" tanya Naren dengan kening berkerut.

"Itu ...."

"Wah ... selera kamu bagus juga." Sebuah suara terdengar jelas dari belakangku dan membuat Naren memicingkan matanya. Oh tidak! Itu Tio! Tanpa sadar aku pun bergeser dari tempatku berdiri hingga mendekat ke arah Naren.

"Berapa tadi kamu dibayar? Aku bisa bayar yang lebih mahal dari itu," ucap Tio dengan nada sinis. 

"Naiklah ke motor," bisik Naren padaku. Tanpa berpikir dua kali, aku pun kembali naik ke motor. Sepertinya Naren tahu jika sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.

"Pantasan saja tadi diajak gratis nggak mau," sambung Tio lagi. 

"Maaf, Mas, lebih baik dijaga ucapannya," tegur Naren dengan nada sopan. Tio tiba-tiba terbahak dengan kerasnya dan membuatku semakin ketakutan.

"Bagaimana rasanya perempuan ini, Mas?" tanyanya setelah menyelesaikan tawanya sementara matanya mengarah padaku. Naren seperti sudah akan turun dari motornya tapi tanganku dengan cepat menahannya. 

"Jangan, Mas," ucap hampir tak terdengar karena rasa takut yang menguasai pikiranku.

"Kita pergi saja dari sini. Dia mabuk," bisikku menahan rasa takutku.

"Awas saja, kamu berani kabur dariku!" Tio tiba-tiba berteriak dengan keras saat Naren menyalakan motor dan mulai melaju meninggalkannya. Tanganku secara tidak sadar memeluknya dengan erat karena takut jika Tio bisa mengejar kami.

"Apa lelaki itu yang membuat tanganmu terluka?" tanya Naren setelah motornya telah jauh meninggalkan kosku.(*)

Apa nggak penasaran dengan POV Naren 😁? Bisa dibaca di KaryaKarsa ya. Di sana sudah sampai bab 44 loh. Link ada di profil yaaa ❤️

Like A LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang