"Terima kasih, Mas. Kapan-kapan saja, sebentar lagi jam istirahatku berakhir dan aku harus bergantian dengan Arin agar dia bisa makan siang juga," tolakku. Mana mungkin aku berani mengiakan tawarannya, dia pemilik kedai kopi ini, masih sosok yang asing buatku, dan aku juga tidak tahu apakah tawarannya tadi memang serius atau hanya sekadar basa-basi. Bukankah malah akan mempermalukan diriku sendiri jika aku langsung mengiakannya sedangkan sebenarnya dia hanya sedang berbasa-basi padaku. Alasan lainnya, aku juga masih canggung dengannya setelah beberapa jam yang lalu baru mengenalnya.
"Permisi, Mas," ucapku sambil berlalu dari hadapannya. Perasaanku begitu lega setelah berhasil melewatinya. Ada sorot mata yang tidak kumengerti setiap menatap matanya, mungkin sorot mata iba, seperti yang selama ini sering aku terima. Sesungguhnya aku sangat terganggu dengan sorot mata yang seperti itu.
Sampai di ruang staf, aku hanya bisa menarik napas saat melihat bungkusan nasiku yang sudah berantakan serta kotor karena jatuh tadi. Rasanya begitu kesal, tapi nyatanya makan siangku jadi seperti ini juga karena kecerobohanku sendiri. Aku menelan ludah saat membuang bungkusan nasi tadi ke tong sampah.
Padahal aku harus berhemat untuk pengeluaranku setiap hari. Jika sudah seperti ini, aku terpaksa membuangnya daripada harus makan makanan yang sudah kotor. Nggak semua orang bisa merasakan hal seperti ini, merasa sedih saat membuang makanan. Tapi aku sudah merasakannya dan sedihnya melebihi saat diomeli Wira karena lelet waktu melayani pembeli.
Aku membuang napas kesal. Selalu saja seperti ini di saat aku sedang mengalami kesulitan, kesulitan lainnya pun akan datang. Sebenarnya saat ini aku sangat kelaparan sampai pandanganku terasa berkunang-kunang dan seluruh tubuhku berkeringat dingin.
Ayolah, Laras. Tahan sebentar lagi, ucapku terus di dalam hati. Sebentar lagi juga rasa lapar ini akan segera berlalu. Mungkin aku bisa mengatasinya dengan minum beberapa teguk air putih.
"Loh kok cepat makannya," komentar Arin saat melihatku kembali ke konter. Tentu saja cepat karena aku bahkan belum makan apa pun. Aku hanya tersenyum, tidak ingin menjelaskan pada Arin apa yang terjadi pada makan siangku tadi karena aku yakin rasa iba Arin akan membuatnya membelikanku makan siang.
"Iya, sana gantian kamu lagi yang makan," kataku dan dibalas dengan anggukan Arin.
Aku berada di konter dengan gelisah karena rasa tidak nyaman yang terus dirasakan sejak tadi. Perutku terasa nyeri dan kepalaku juga pusing. Untung saja saat ini tidak terlalu ramai pembeli hingga aku bisa duduk beristirahat sejenak. Harusnya tadi pagi aku izin tidak masuk. Tapi tidak bisa kulakukan karena merasa sayang dengan potongan gaji jika seorang karyawan tidak masuk. Tapi jika dipaksakan seperti ini, ternyata aku nggak kuat juga.
Sekujur tubuhku terasa menggigil saat Arin telah menyelesaikan makan siangnya dan kembali ke konter. Mataku pun semakin terasa berat.
"Aku ke belakang sebentar ya," kataku pada Arin. Mungkin dengan mencuci wajahku, aku bisa kembali merasa segar. Aku menuju wastafel yang berada di luar ruang staf dan baru saja menyalakannya saat seseorang berdiri tepat di sebelahku.
"Ini buatmu, kamu pasti belum makan siang dari tadi," katanya sambil memberikan sebuah bungkusan padaku. Aku menengadah dan mendapatkan Naren sedang berada di sebelahku. Sesaat aku merasa terkejut karena kehadirannya sehingga membiarkan air dari wastafel mengalir begitu saja.
"Ambilah," katanya setengah memaksa.
"Ah ... itu ..., terima kasih, Mas," ucapku sambil menundukkan wajahku karena merasa tidak nyaman dengan kebaikannya. Aku kira dia tidak akan peduli dengan hal sepele yang terjadi tadi, tapi nyatanya dia malah datang dengan membawa sebungkus makanan buatku. Kali ini aku benar-benar merasa terharu.
Aku masih saja berdiri tanpa beranjak sedikit pun dengan tangan yang memegang bungkusan makanan dari Naren. Padahal tadi baru saja aku merutuki hidupku yang tidak beruntung dan memikirkan jika aku tidak akan makan hingga nanti malam, ternyata masih ada kebaikan yang berpihak padaku.
Tidak ..., aku tidak boleh terhanyut hanya karena sedikit kebaikannya, sekali menyebalkan, dia akan tetap menyebalkan di mataku. Sebungkus makanan ini juga pasti nggak ada arti buatnya, dia bahkan bisa membeli beratus-ratus bungkus makanan sekaligus. Membelikan makanan ini buatku tidak berpengaruh apa-apa buatnya. Jangan lemah hanya karena sebungkus nasi ini, Laras. Mau bagaimanapun, dia tetap atasanku, pemilik kedai kopi ini. Mana ada atasan yang seratus persen berbaik hati pada karyawannya jika tidak ada maksud di balik semua itu.
Aku tersentak setelah beberapa saat melamun dan memikirkan tentang nasi bungkus pemberian Naren ini. Sepertinya aku harus segera menghabiskan makanan ini sebelum Arin mencariku karena aku sudah terlalu lama berada di belakang.
Saat ini aku memang sedang kelaparan, tapi nyatanya aku hanya mampu menghabiskan seperempat dari bungkusan nasi yang diberikan oleh Naren tadi. Mungkin karena sudah terlalu telat makan dan perutku juga terasa nyeri, hingga untuk menghabiskan makanan pun sulit kulakukan.
"Duh, lama banget sih, Ras. Aku mau ke toilet nih," keluh Arin saat aku kembali ke konter. Aku kira dia akan memarahiku karena terlalu lama berada di belakang, tapi nyatanya dia malah langsung berlari meninggalkan konter sambil memegang perutnya. Mungkin dia benar-benar sudah kebelet.
Sepertinya makanan yang masuk ke perutku tadi tidak memberikan dampak yang baik untuk tubuhku. Kepalaku masih saja terasa pusing, bahkan sekarang terasa semakin parah. Perutku juga semakin terasa nyeri. Makanku sudah sangat terlambat sehingga tidak berpengaruh apa-apa lagi buatku.
"Kak, pesanan saya salah loh." Seorang wanita menghampiri konter dengan menenteng sebuah kantong. Rasanya tadi aku tidak ada melayani wanita ini, mungkin tadi Arinlah yang melayaninya di saat aku sedang berada di belakang.
"Saya pesan dua cappuccino ice, tapi yang kakak beri malah mocha ice," ucapnya penuh kekesalan. Aku terdiam sesaat dan mencoba tenang. Aku tidak tahu bagaimana yang terjadi tadi hingga tidak bisa memutuskan apa Arin yang salah mendengar pesanan wanita ini atau ada hal lain yang terjadi.
"Maaf banget, Kak. Biar saya ganti minumannya," kataku sambil tersenyum. Solusi satu-satunya yaitu dengan cara mengikuti kemauan pembeli, apalagi aku tidak mungkin menyeret Arin ke sini untuk menanyakan kebenaran yang dikatakan pembeli ini. Untuk pesanan yang salah ini masih bisa di simpan di lemari pendingin dan biasanya ada saja barista yang mau membayarnya dengan setengah harga.
Wanita tadi pun pergi dengan senyuman setelah aku mengganti minuman pesanannya. Oh! Tidak! Sejak kapan Naren berada di sini? Dengan mata yang memicing, dia melangkah mendekat ke konter. Apa dia melihat semua yang terjadi tadi dan menganggap apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan? Aku menahan napas dan tidak berani membalas tatapan matanya. Tuh, kan menyesal tadi aku sempat bilang dia baik hati.
"Laras ...," panggilnya dan napasku terasa berhenti saat mendengar suaranya. Dengan suara seperti itu, sebentar lagi dia pasti akan memarahiku
"Lain kali jangan seperti itu jika kamu salah memberikan minuman pada pembeli. Kesalahan memang ada pada dirimu, tapi bukan artinya kamu mau saja mengganti minumannya tanpa melakukan negosiasi. Jika sudah seperti ini, minuman yang ditukar tadi akan terbuang percuma apalagi ...." Aku tidak mendengar dengan jelas apa lagi yang diucapkan oleh Naren karena tiba-tiba tubuhku terasa limbung dan mataku semakin berkunang-kunang.
"Laras ...!" Hanya itu yang masih tertangkap oleh pendengaranku. Selanjutnya semua terasa gelap.(*)
Hidden part bab 7 dan 8 juga barusan update di KaryaKarsa ya, silahkan mampir ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Like A Latte
RomanceLaras tidak menyukai kopi, tapi dia malah menjadi barista di sebuah kedai kopi, Like A Latte. Hidupnya sudah terasa pahit dan dia tidak membutuhkan segelas kopi untuk membuatnya semakin getir. Sampai akhirnya dia bertemu kembali dengan sosok di masa...