9. Apa Ada yang Salah?

918 273 7
                                    

"La-lakukan apa, Mas?" tanyaku terbata dan merasa cemas dengan apa yang akan diucapkannya. Apa yang Naren inginkan dariku?

"Kos yang kamu tempati saat ini benar-benar tidak aman dan terlalu jauh dari kedai kopi. Jadi segeralah cari kos yang baru," katanya dengan wajah serius. Sesaat aku menatap Naren dengan wajah bingung karena tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia meminta untuk mencari kos baru, hal yang tidak akan semudah itu aku lakukan.

"Aku nggak mungkin pindah kos, Mas," ucapku. Naren pasti tidak akan pernah mengerti walaupun aku menjelaskan alasanku yang tidak bisa semudah itu untuk mencari kos baru. 

Bagiku, biaya untuk membayar sewa kos setiap bulan adalah pengeluaran yang cukup besar. Kos yang aku tempati saat ini sepertinya merupakan kos paling murah. Sulit sekali mencari kos murah di kota ini, walaupun sebenarnya fasilitas yang diberikan tidak begitu baik.

"Anggap saja saat ini aku memberi masukan sebagai seorang teman, jadi katakan apa yang menjadi kendalamu," ucapnya. 

Aku masih tidak mengerti dengan ucapan Naren. Kenapa aku harus mengatakan kendalaku padanya sementara dia adalah sosok yang baru aku kenal. Hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang tahu kesulitan yang sedang aku alami selain diriku sendiri.

"Begini saja, aku akan mencarikan kos baru buatmu dalam waktu satu minggu ini. Kamu tinggal katakan saja berapa budget yang kamu punya," katanya lagi karena aku masih diam dan tidak menanggapi ucapannya.

Ucapan Naren semakin membuatku bingung. Hingga saat ini sebenarnya aku tidak memiliki masalah dengan kosku. Hal-hal kecil yang kadang membuatku merasa tidak nyaman tinggal di kos selalu berhasil aku atasi. Jadi rasanya aneh saja jika Naren sampai berniat mencarikan kos untukku sementara dia tidak terlalu mengenalku.

"Jangan, Mas. Nanti akan merepotkan Mas Naren," tolakku. Aku heran, apa dia nggak punya pekerjaan yang lebih penting selain berniat mencari kos untukku?

"Bagian mana yang merepotkan? Kamu justru akan merepotkan teman-temanmu jika masih bertahan tinggal di sana. Mereka mungkin tidak akan mengeluh, tapi ketahuilah jika kosmu itu benar-benar sangat jauh," jelasnya dengan wajah serius. 

Ucapan Naren tadi kontan membuat berpikir. Selama ini aku memang sering diantar pulang oleh teman-teman di kedai kopi tapi biasanya mereka yang dengan suka rela menawarkan padaku, aku bahkan tidak pernah meminta kecuali karena terpaksa. Apa memang benar yang dikatakan Naren tadi? Aku bahkan tidak pernah memikirkannya sama sekali.

"Sejauh itu ya, Mas?" tanyaku dengan suara pelan dan masih berpikir bagaimana bisa selama ini aku tidak tahu jika teman-temanku merasa kerepotan karena harus mengantarku pulang ke kos.

"Sesekali kamu juga harus melihat bagaimana kebaikan teman-teman padamu dan bukan artinya kamu akan bergantung terus pada mereka," balasnya. Ucapan Naren tadi seperti membuka mataku. Selama ini aku merasa sangat terbantu dengan kebaikan yang diberikan oleh teman-temanku tapi tidak pernah berpikir jika mereka merasa kesulitan karena kebaikan itu.

"Tapi aku nggak yakin dengan harga kos yang berada di dekat kedai kopi, Mas," keluhku. Kalau pun harus pindah ke kos yang lebih dekat, aku tidak tahu di mana bisa mencari kos yang semurah kosku saat ini.

"Tenang saja, kebetulan aku punya seorang teman yang memiliki usaha kos yang pasti tidak akan memberikan harga sewa mahal padaku," balasnya. Mataku membesar saat mendengar ucapan Naren.

"Dia pernah menawarkan kos padaku dan berjanji akan memberikan harga murah padaku," lanjutnya dan aku semakin tertarik mendengar ucapannya. Tapi masa sih ada kos murah di pusat kota? Rasanya aku masih sedikit nggak yakin dengan hal ini.

"Sampai kapan kamu mau tinggal di kos yang akses menuju ke sana saja sangat sulit, jalan yang gelap dan rawan akan kejahatan," kata Naren lagi. Tidak ada sedikit pun yang salah dengan ucapan Naren, bukan hanya jalan yang gelap tapi kosku sesungguhnya juga sangat menyeramkan.

"Tapi benaran nggak terlalu mahal kan, Mas?" tanyaku memastikan. Aku kemudian menyebutkan berapa dana maksimal yang aku punya untuk membayar sewa kos selama satu bulan. Aku nggak mungkin membayar sewa kos lebih mahal dari itu karena aku harus menyisihkan hampir sebagian gaji bulananku untuk membeli obat Mama.

"Nggak akan lebih mahal dari itu," balasnya dengan nada yakin.

"Kalau kamu bersedia, aku akan segera menghubungi temanku," sambungnya.

"Kalau memang benaran bisa dengan harga segitu, aku juga mau pindah, Mas," balasku. Mungkin kali ini keberuntungan sedang berpihak padaku hingga bisa mendapatkan kos dengan sewa yang murah.

"Oke, nanti aku segera hubungi temanku. Mungkin beberapa hari lagi kamu bisa melihat keadaan kosnya," balasnya dengan wajah serius.

"Jadi ... apa sebenarnya Mas Naren juga merasa kesulitan karena mengantarku pulang ke kos?" tanyaku setelah dari tadi terus memikirkan hal ini. Naren sendiri mengatakan jika teman-temanku pasti kesulitan, sudah pasti dia sendiri juga merasakannya.

"Aku bisa pulang sendiri kalau begitu," kataku kemudian.

"Tentu saja tidak. Aku senang karena bisa sekalian mengenal jalan Surabaya," balasnya.

"Tapi mungkin saja aku akan merasa keberatan jika melakukannya secara terus-menerus," sambungnya. 

"Jadi kamu harus pindah kos secepatnya," katanya kemudian.

"Selama ini aku nggak pernah memikirkan hal ini karena Mas Wira dan yang lainnya nggak pernah mengatakannya," ujarku. 

"Tentu saja Wira tidak mengatakannya karena baginya itu bukan hal penting. Masih banyak hal lain yang harus dipikirkannya," balas Naren. 

"Maksudku Wira pasti nggak sempat memikirkan hal itu," ucapnya lagi. 

"Ayo kita pulang sekarang," ajaknya. 

"Biar aku yang bayar," katanya dengan cepat dan membuatku bernapas lega karena sudah pasti aku tidak memiliki uang lebih untuk membayar semua makanan yang kami makan.

"Apa Mas Wira benar-benar akan bertunangan dalam minggu ini? Kami semua tidak tahu kabar itu," tanyaku setelah berada di motor Naren.

"Iya, dia memang sengaja tidak mengatakannya pada kalian agar bisa fokus pada acara. Mungkin nanti saat acara, kalian akan diundang," balas Naren.

"Mas Wira memang pernah membawa pacarnya beberapa kali ke kedai kopi," kataku.

"Ngapain saja mereka di kedai kopi?" tanyanya curiga dan membuatku tertawa pelan, seharusnya aku merahasiakan hal ini dari Naren. 

"Nggak tahu, Mas. Biasanya Mas Wira bawa pacarnya ke dalam ruangannya," jawabku. 

"Kok lewat sini, Mas?" tanyaku panik saat Naren membelokkan motor ke arah yang berbeda dengan arah menuju kosku.

"Oh! Aku salah ambil jalan ya?" balasnya tak kalah panik.

"Nggak bisa putar, soalnya jalan satu arah," keluhku.

"Di depan sana ada tempat buat putar nggak?" tanya Naren.

"Ada, tapi lumayan jauh," jawabku.

"Oh nggak apa-apa, yang penting ada jalannya aja." Naren kemudian melanjutkan  membawa motornya sesuai dengan arahanku.

"Besok masuk shift berapa?" tanyanya kemudian. 

"Shift pertama, Mas," jawabku. 

"Siapa yang menjemput besok?" tanyanya lagi. Aku terdiam sesaat dan berpikir apa Naren akan menawarkan diri untuk menjemputku? Tapi sepertinya nggak mungkin deh, dia saja mengeluh jika ke kosku sangat jauh dan menyulitkan. Lagi pula siapa aku sampai Naren akan menjemputku.

"Nggak ada, Mas. Mungkin aku pakai ojek online," jawabku. 

"Terima kasih, Mas," ucapku sungguh-sungguh saat motor yang dibawanya berhenti di depan kosku. Aku benar-benar serius mengucapkan terima kasih padanya. Begitu banyak bantuan yang diberikannya untukku hari ini.

Sorot mata Naren yang terasa berbeda saat menatapku membuatku merasa canggung. Wira juga sering mengantarku pulang dan begitu baik padaku, tapi rasanya ada yang berbeda dari keduanya. Dengan Wira, aku tidak pernah merasa canggung dan salah tingkah seperti ini. Tapi dengan Naren, aku bahkan sulit untuk menahan debar jantungku.

Apa ada yang salah denganku?(*)

Hidden part dengan POV Narendra di KaryaKarsa sudah sampai bab 32 yaa. Silahkan mampir buat yang penasaran. Link ada si profil yaa ❤️☺️

Like A LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang