s a t u

122 16 0
                                    

Ziel sedang bersiap untuk melakukan hemodialisa, rencananya ia akan berangkat dengan papa. Tapi ternyata papa tidak bisa karena ada urusan di kantor yang tidak bisa ditinggal, jadi sekarang ia akan mengajak kakaknya. Ziel berjalan dengan santai ke kamar kakaknya yang bersebelahan dengan kamarnya, lalu ia mengetuk pintu dan membukanya. Di dalam tampak kakaknya sedang belajar, apa mungkin dia mengganggu?

Baru saja ia ingin berbalik untuk ke kamar, suara kakaknya membuat ia tidak jadi ke kamar.

"Ngapain balik?" Tanya Keenan yang melihat adiknya.

"Gue ganggu lo belajar, kak?" Bukannya menjawab, Ziel malah balik bertanya.

"Enggak, udah disini aja. Gue tau kok habis ini lo mau HD, tunggu bentar gue mau ngerjain lagi, tinggal dikit kok." Keenan langsung mengerjakan tugasnya itu dengan cepat.

"Gue numpang rebahan di kasur lo ya, kak?" Tanya Ziel.

"Tidur aja, lagian gue juga belum ganti baju. Nanti kalo udah selesai gue bangunin," Ziel hanya menjawab dengan memberi jempol.

Hampir 25 menit Keenan baru menyelesaikan tugasnya, dia beranjak dari kursi dan menuju lemari untuk ganti baju. Saat melewati kasur yang ditempati adiknya, dia mengusap kepala sang adik yang benar-benar tertidur.

Setelah mandi dan ganti baju, Keenan membangunkan adiknya yang sudah tertidur pulas. Tak tega sebenarnya tapi jika bukan karena Hemodialisa, Keenan tidak akan mau membangunkan adiknya.

"Zi, ayok!" Hanya dengan itu dan juga menggoyangkan badannya Ziel langsung terbangun.  Ziel adalah orang yang sensitif saat tidur, jadi ada suara apapun yang mengganggunya dia pasti langsung terbangun.

Mereka berdua berjalan menuju mobil, setelah Keenan memastikan sang adik menggunakan sabuk pengamannya dia melajukan mobilnya menuju rumah sakit tempat adiknya hemodialisa. Selama perjalanan hanya ada keheningan diantara mereka berdua, Ziel menatap keluar jendela mobil. Raganya memang berada di sana, tapi pikirannya berkelana kemana-mana.

Pikiran buruk selalu bermunculan jika ia sedang berangkat untuk Hemodialisa, lalu pemikiran buruk itu akan terus bercabang hingga ia tak menyadari jika sudah sampai di rumah sakit. Seperti saat ini, tiba-tiba Keenan menghentikan mobilnya. Saat ia sadar dari lamunannya, ternyata mereka sudah sampai di rumah sakit.

Mereka turun dari mobil dan langsung pergi ke resepsionis, setelah melakukan registrasi, mereka langsung pergi ke ruang Hemodialisa. Ruangan ini adalah ruangan yang paling dia benci, tapi di ruangan ini juga dia bisa berharap untuk sehat.

Keenan ikut masuk untuk menemani adiknya, karena dia tidak tega bila adiknya ditinggal sendiri saat cuci darah. Biasanya papa yang akan menemanya, tapi karena Papa ada urusan mendesak sedang jadi Keenan yang menemani. Ini adalah kali pertama Keenan menemani adiknya cuci darah, Keenan sedikit menegang saat dokter itu memasang selang pada adiknya. Keenan tau jika rasanya sangat sakit, tapi Ziel tidak menunjukkan reaksi apapun, apa dia sudah terbiasa dengan ini semua? Itu yang dipikirannya.

"Kak, gue mau tidur. Kalau lo mau keluar juga gapapa, kalau di sini ntar lo bosen." Tapi Keenan tetap duduk diam disamping ranjang pesakitan Ziel.

"Gue tetep disini, mager juga mau keluar." Itu bohong, sebenarnya dia tidak tega mau meninggalkan adiknya. Nanti jika dia pergi dan terjadi sesuatu pada adiknya gimana? Jadi untuk saat ini dia akan bersama adiknya.

17 menit berlalu, Keenan tertidur dengan meletakkan kepalanya di ranjang. Lalu ia terbangun karena ringisan sang adik yang terdengar begitu menyakitkan, ia mendudukkan dirinya lalu mengecek kondisi Ziel.

"Zi, lo ga apa-apa?" Tanyanya sambil mengusap surai kecoklatan itu dengan lembut.

"Gue ga apa-apa, kak." Jawabnya dengan suara yang parau, bahkan nyaris tidak terdengar.

"Genggam tangan gue, kalo sakit luapin ke tangan gue." Ziel langsung menggenggam tangan sang kakak. Ziel langsung meremat tangan Keenan untuk melampiaskan rasa sakitnya.

"Tahan, bentar lagi selesai, oke?" Keenan mencoba menenangkan Ziel dengan kata-kata yang mungkin memang tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit yang dirasakan adiknya, lalu ia kembali mengusap surai kemerahan itu.

"Tahan, bentar lagi selesai, oke?" Keenan mencoba menenangkan Ziel dengan kata-kata yang mungkin memang tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit yang dirasakan adiknya, lalu ia kembali mengusap surai kemerahan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Proses hemodialisa telah selesai, sekarang Keenan memapah Ziel yang masih lemas karena efek dari cuci darah. Keenan mendudukkan Ziel di kursi tunggu.

"Tunggu bentar, gue mau ketemu sama dokter Rio" pamit Keenan. Dokter Rio adalah dokter yang selama ini menangani Ziel, bahkan Ziel menganggapnya sebagai ayah.

Sembari menunggu Keenan yang meninggalkannya dia mengedarkan pandangannya ke tempat resepsionis, dia melihat ada perempuan yang menggendong balita laki-laki.

"Gue juga pengen kalau sakit di rawat Mama," itulah yang Ziel pikirkan ketika melihat sepasang bunda dan buah hatinya. Tak terasa kalau air matanya menetes, lalu Keenan datang dengan wajah yang lesu.

"Lo nangis? Kenapa? Ada yang sakit?" Keenan panik karena melihat adiknya menangis.

"Enggak, kak, gue ga apa-apa." Kata Ziel sambil menghapus air matanya.

"Apa kata dokter Rio?" Pertanyaan itu sukses membuat lidah Keenan kelu untuk sekedar mengucapkan satu kata, Ziel hanya tertawa pahit melihat wajah kakaknya.

"Gak ada kemajuan, ya?" Tebaknya. Keenan tidak menjawab, melainkan ia langsung mengajak Ziel untuk pulang agar bisa istirahat.


To be continued…

Hello?
Maaf kalau masih berantakan, because this is my first time writing a story T_T

Sahmura | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang