e m p a t

59 6 0
                                    

Ziel membuka matanya secara perlahan, dia sedang menganalisis dimana dia berada sekarang. Tapi setelah melihat selang yang ada di lengannya, ia langsung menghela nafas. Lagi-lagi ia terbaring disini dengan selang dan mesin yang menemaninya, Ziel menoleh pada pintu ruangan yang terbuka. Di sana ada seseorang yang tidak ia duga datang, Shaka datang dengan senyuman manisnya.

"Udah enakan, Zi?" Tanya Shaka setelah mendudukkan dirinya di kursi sebelah ranjang temannya.

"Ngapain lo di sini?" Ziel terkejut, pasalnya yang biasa datang adalah Keenan tapi kenapa tiba-tiba orang yang baru menjadi teman sebangkunya itu berada satu ruangan dengannya yang sedang hemodialisa.

"Tadi gue yang nemenin kakak lo kesini, sekarang kak Keenan lagi ke toilet." Shaka masih menatap wajah tampan temannya itu.

"Terus gimana bisa gue tiba-tiba di sini?" Tanya Ziel pada oknum yang sedang duduk disamping ranjangnya.

"Tadi pas gue balik dari kantin, di depan kelas udah rame murid-murid yang ngeliat ke dalem kelas lewat jendela sama depan pintu. Terus pas gue masuk kelas, gue liat lo pingsan sama mimisan banyak baget sampe seragam lo jadi merah." Ziel yang mendengar cerita dari Shaka hanya bisa merutuki dirinya sendiri, mau ditaruh mana wajahnya saat masuk sekolah nanti. Pasti sekarang namanya sedang diperbincangkan banyak murid karena kejadian tadi.

"Thanks udah nolongin gue, mungkin kalo lo gak dateng gue udah gak ada di sini." Ziel menatap tangannya yang di tusuk oleh selang, di dalam selang itu terdapat darahnya yang menuju mesin cuci darah.

"Sakit gak?" Tanya Shaka.

"Mau coba?" Candanya, kemudian Shaka menggelengkan kepalanya dengan cepat. Sedangkan Ziel tertawa melihat respon temannya itu, tanpa mereka sadari Keenan berada diambang pintu sambil menatap mereka.

Keenan mendudukkan diri di kursi tunggu, karena dia tidak ingin mengganggu kebersamaan dua insan manusia yang ada di dalam sana. Keenan menghubungi Papanya mengenai keadaan Ziel sekarang, setelah itu Keenan tertidur di sana.

~~~

Di dalam ruang Hemodialisa, Ziel sedang memejamkan matanya. Sedangkan Shaka sedang melamun, ia merasa dejavu dengan semua ini. Ia teringat dengan saudara kembarnya yang dulunya juga mengidap gagal ginjal, sama seperti Ziel. Tapi sekarang kembarannya itu sudah tidak merasakan sakit lagi, karena keterlambatan saat menangani penyakitnya.

Tanpa disadari Shaka menangis, Ziel yang kebetulan sedang membuka mata langsung disuguhkan dengan Shaka yang menangis dengan tatapan kosong.

"Ka? Lo gapapa?" Ziel menyentuh tangan Shaka dan membuat empunya sedikit terkejut.

"Gue gak apa-apa," ucap Shaka sambil menghapus air matanya.

"Kalo ada apa-apa tuh cerita, jangan dipendem sendiri. Kan lo udah tau rahasia gue, jadi gue pengen tau alasan kenapa lo nangis." Ziel menatap temannya itu dengan wajah yang sedih, sejujurnya ia tidak ingin terlalu dekat dengannya. Tapi entah kenapa perasaannya ingin lebih dekat dengannya, atau mungkin karena ia tidak pernah berteman dengan orang dan jadi seperti ini?

"Mungkin gue terlalu emosional ngeliat lo lagi di hemodialisa gini, karena gue keinget kembaran gue yang dulu juga sakit kayak lo. Tapi sekarang dia udah gak ada gara-gara dokter telat buat nyelametin dia, karena dia udah gak ada jadinya gue pindah sekolah biar gak terlalu kalut sama kematiannya." Shaka menjelaskan semua hingga tak menyadaari jika ada air mata yang mengalir dipipinya. Ziel menatap tubuh yang duduk disampingnya saat ini, ia merasa bahwa akan membuka luka lama Shaka.

"Maaf, di saat lo pindah sekolah dan pengen cari suasana baru biar bisa ngelupain kembaran lo, malah ketemu gue yang punya penyakit sama kayak dia. Maaf karena gue bakal buka luka lama lo lagi, mungkin mulai sekarang kita bisa jauhan biar lo gak ngerasain ditiggal lagi." Ziel menunduk, dia merasa sangat bersalah.

"Ngapain minta maaf? Gue malah seneng bisa ketemu sama lo, gue jadi ngerasa ngerawat kembaran gue. Soalnya gue dulu gak pernah ngerawat dia, karena gue jarang pulang. Dengan ini gue merasa rasa bersalah gue bisa terobati sama lo, makasih udah mau jadi temen pertama gue di sekolah." Shaka tersenyum sambil menggenggam tangan Ziel yang dingin.

Seusai melakukan hemodialisa atau cuci darah, Ziel langsung diperbolehkan pulang oleh dokter. Dengan syarat harus bed rest atau istirahat total selama seharian penuh, tidak lupa harus mengonsumsi obat yang jumlahnya tidak sedikit. Ziel hanya bisa pasrah dengan semua ini daripada ia harus di rawat inap, sejujurnya Ziel sangat benci dengan aroma rumah sakit yang sangat khas itu.

Shaka masih menemani Ziel hingga menginjakkan di rumah temannya itu, dia juga membantu Ziel untuk berbaring di ranjangnya. Shaka juga memastikan temannya itu minum obat sesuai anjuran dokter.

"Sorry jadi ngerepotin lo lagi," ucap Ziel setelah meneguk obat yang terakhir.

"Udah gue bilang gak usah sungkan, gue ngelakuin ini karena yang udah gue bilang tadi." Shaka mencebik kesal pada orang yang terbaring di ranjang.

"Iya iya, by the way lo gak pulang? Udah sore, gak takut dicariin orang tua lo?" Ziel khawatir, ia takut jika orang tua Shaka berpikir yang tidak-tidak karena anaknya tidak kunjung pulang.

"Aman, orang tua gue pulangnya malem, jadi gue bisa pulang sesuka gue." Shaka tersenyum, dia merasa jika sekarang ada yang memperhatikan hal-hal kecil tentang dirinya.

Keduanya masih dibaluti oleh kecanggungan, Ziel yang memejamkan mata dan juga Shaka yang bermain dengan ponselnya. Saat pandangannya fokus pada ponsel, terdengar dengkuran halus dari ranjang. Bisa dilihat jika Ziel tertidur, kata Keenan itu termasuk efek samping dari Hemodialisa.

"Aku pulang dulu, kak." Pamit Shaka pada Keenan yang berada di ruang tamu.

"Oh, iya. Makasih udah bantuin gue jaga Ziel." Ucap Keenan.

"Santai aja kak, kapan-kapan gue main kesini lagi." Shaka tersenyum sambil melakukan tos ala cowok-cowok.

"Rumah gue selalu terbuka buat lo, jangan sungkan-sungkan kalo pergi kesini, anggep aja rumah sendiri." Keenan mengusap surai hitam Shaka.









To be continued...

Sahmura | JakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang