Ada negara Perancis pada nama french toast. Padahal makanan ini aslinya bukan dari Perancis. Digadang-gadang, resep roti yang direndam dengan larutan telur, dan susu ini mirip dengan resep roti yang terdapat dalam kumpulan resep pada zaman kekaisaran Romawi, yaitu apicios.
Lalu, kenapa ada kata french-nya? Nah, katanya lagi nama french toast muncul di buku masak Inggris di abad ke-17. Potongan rotinya mirip dengan potongan kentang goreng, yang dalam bahasa Inggris disebut french fries.
Teori lain mengenai nama french toast, seorang chef bernama Joseph French dari Amerika Serikatlah asal muasal kata french dipakai untuk menunjukkan resep roti tersebut dibuat oleh Chef French, sehingga dinamakan French's toast. Karena dia sendiri kesulitan melafalkan nama resepnya, maka jadilah roti buatannya dinamakan french toast.
Demikianlah sekelumit sejarah penamaan roti panggang itu. Terserah kalian mau condong ke sejarah yang mana. Tapi buatku, aku amat berterima kasih kepada siapapun yang menemukan ide brilian yang lezat itu. Makanan ini yang menjadi pengingat bahwa Ibuk pernah menyayangiku amat tulus, sebab Ibuk sering membuatkan aku roti ini, sebelum Mara menghirup oksigen di bumi, dan sebelum bibir Mara robek dan gigi susunya patah. Aku enggak akan melupakan masa-masa indah itu.
"Mbak! Hangus. Hangus!"
Apa yang hangus?
"Astaga! Rotiku!" Asap putih di permukaan roti membuatku panik. Aku telah membiarkan pesanan pelanggan tak tersentuh perhatian spatula gara-gara lamunan yang enggak berfaedah.
Asap pekat yang menipu. Ternyata setelah dibalik, roti panggangku masih selamat.
"Nggak hangus, Mbak. Hanya warnanya sedikit lebih gelap," ucapku harap-harap cemas. Aku perlihatkan bagian tadi pada perempuan berbusana coklat khas seorang pegawai negeri. "Tapi kalau Mbak mau tukar, aku buatin lagi," tawarku. Pelanggan adalah raja. Itu motoku.
Aku bisa melihat ada pergolakan di matanya ketika dia mengintip jam tangannya.
"Itu aja. Aku mau cepat-cepat balik kantor."
"Baik, Mbak. Ditunggu lima menit."
Jadi pegawai negeri, ya? Apa aku coba saran Nyonya Bet dan ikut tes? Enggak, enggak. Aku masih cinta warung ENTRY.
Kotak kertas yang sudah aku tulis Malika—sesuai dengan nama si pembeli—aku serahkan. Mungkinkah dia dibesarkan bagaikan anak sendiri? Tentu saja dibesarkan oleh orang tuanya sendiri. Memangnya aku, yang dibesarkan bagai anak orang lain di rumah sendiri?
Setooop! Kamu bisa berhenti, Cala. Kamu enggak pantas mendiskreditkan keluargamu sendiri. Tapi Tuhan, aku enggak bisa lepas dari gagasan itu. Gagasan ketika aku mungkin aja anak yang tidak terikat kromosom, gen, apalagi DNA Pak Bas dan Nyonya Bet. Makin lama, aku makin tenggelam dengan argumen sesat itu. Masalahnya, mau menyangkal dengan ekstrim, jelas-jelas keriting paripurna rambutku, alis tebal bak pasukan semut beriring, dan berkarakter sumbernya dari Bapak. Kepintaran memasak dan kecantikan Masyaallah dari Ibuk. Konon kata Bapak, wajahku ngejiplak wajah Ibuk kala remaja. Masih mau menolak takdir Tuhan?
Aku tidak mau berprasangka, tapi Ibuk terlalu sering melupakan eksistensi anak keduanya ini. Masa baru pulang dari mengantar Pak Harsa, aku dapati Ibuk, Bapak, dan Mara baru selesai menyantap pempek. Tinggal kuah cuko doang. Aku enggak disisain, dong! Aku juga mau. Enggak jadi makan gultik sama Jeff pula. Kan lapar maksimal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Ikan Paus Yang Menyimpan Sampah Dalam Perutnya [TELAH TERBIT/OPEN PO]
ChickLit(Keluarga/romansa/chiklit/drama) [Judul lama: Niskala] Hubunganku dengan Nyonya Bet bagai love and hate relationship. Aku sangat menyayangi Nyonya Bet, tetapi beliau (sepertinya sangat) membenciku. Berkat hubungan enggak sehat itu, aku jadi terbiasa...