Si Rewel (a)

2.6K 305 18
                                    

Setelah pria itu memohon setengah memaksa agar aku membantunya berdiri, aku terpaksa... eh, jangan terpaksa deh. Ikhlas ya Allah, ikhlas. Entar nggak dapat pahala. Aku memapah tubuh jangkungnya yang kesakitan agar bisa duduk di salah satu kursi warung kecilku.

Dari luar, Pak Harsa tidak terlihat parah kecuali fakta dia sangat kesakitan di area tangan kanannya. Itu yang membuatku khawatir. Aku penasaran, apa sih yang bikin sakit? Saat akan menyibak lengan pendek batiknya...

"Stop! Aku mohon jangan pegang," katanya mengiba. Kali ini tampangnya membuatku menurungkan niat. Dia terlihat...kesakitan. Sangat.

"Apanya yang sakit, Pak?" Kini aku benar-benar khawatir.

"Kayaknya bahuku dislokasi."

"Dislokasi?!" Aku merinding. Aku nggak tahu dislokasi itu apa, tapi tetap merasa dislokasi adalah istilah yang tidak bagus.

"Iya. Sakit banget."

"Emang dislokasi itu apa?"

Pak Harsa menghela napas berat sebelum menjawab. "Tulang bahuku lepas dari sendinya. Yang di sini," jelasnya merintih. Dia menunjuk-nunjuk lokasi dislokasi di pangkal tangan dekat bahu.

"Heee?!"

Detik itu juga aku nggak berani memegang walau hanya seujung bajunya. Aku ikut-ikutan meringis. Pasti sakit banget.

"Terus gimana? Ke rumah sakit aja ya, Pak, biar dioperasi," celetukku khawatir tanpa pikir panjang. Uugh, rumah sakit pasti identik dengan jarum, kan? Hiiii...

"Lihat apa kata dokter saja. Temani aku ke rumah sakit."

Eh, Gimana?

"Kok aku yang temenin Bapak?"

"Ya siapa lagi kalau bukan kamu? Kamu yang nolong aku, kamu yang bawa aku ke rumah sakit. Ayo jangan mikir terlalu lama. Tanganku makin sakit, nih."

Tunggu, tunggu. Ada yang salah deh. Aku... barusan dipaksa temenin Pak Harsa, nih?

"Namamu...?"

"Cala." Pakai huruf k ya. Jadi dibaca Kala.

"Cala, aku tidak berani sendirian ke rumah sakit dengan kondisi begini. Kalau terjadi apa-apa?" Pak Harsa menunjuk tangan kanannya.

Iya juga, sih.

"Terus tokoku gimana, Pak? Motorku? Aku belum beres-beres."

Kalau mau mengadu nasib, aku jabanin! Tapi, aku mengadu nasib sama orang sakit. Enggak apple to apple deh, Cal. Demikian protes hati kecilku.

"Kamu bisa bawa mobil?" tanyanya menahan sakit. Argumenku nggak direspon! Tapi, duuuh, lihat wajahnya udah semaput. Jiwa kasihan dan nggak tegaanku meronta-ronta. Tolong nggak, nih?

"Bisa."

"Masukkan motormu ke dalam warung, beres-beres sebisanya, pastikan semua kompor dan lampu mati, lalu tutup toko. Antar aku ke rumah sakit. Sekarang."

"Kan Bapak bisa pakai taksi, Pak." Walaupun berkata demikian, hati nuraniku barusan memarahiku.

"Tolong, Cal..."

Aku mana bisa menolak kalau wajahnya udah kayak anak kucing yang butuh pertolongan. Mirip wajah si Oncom, kucing Pak Bas.

"Iya, iya."

"Terima kasih."

Tuh kan, wajahnya berubah jadi lega banget. Bodoh, kamu Cala. Kenapa enggak diiyain dari tadi?

***

Sudah pertengahan jalan, otak kecilku masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Mengapa aku nyupirin si aneh bin jutek Pak Harsa?!

Si Ikan Paus Yang Menyimpan Sampah Dalam Perutnya [TELAH TERBIT/OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang