Juan dan Kalila sampai di depan rumah Kalila. Sepi, seperti tebakan Kalila. Dia melirik Juan. "Ayo, masuk," katanya.
Juan mengangguk lalu melangkah di belakang Kalila sambil menunggu gadis itu membuka pintu dengan sebuah kunci. "Kamu pegang kunci rumah?" tanya Juan.
"Iya, ibu pulangnya gak nentu. Jadi saya butuh kunci cadangan untuk buka pintu, daripada harus tidur di teras," kata Kalila.
"Memangnya pernah tidur di teras?" tanya Juan.
"Hampir pernah," jawabnya.
Lalu pintu terbuka. Kalila memberi kode pada Juan untuk masuk sebelum ada tetangga yang lihat dan gosip untuk keluarganya semakin menjadi-jadi.
"Duduk di situ aja," kata Kalila sambil menunjuk sofa pada Juan.
Juan mengangguk lalu duduk sambil melihat sekitar. Rumah Kalila cukup rapi, hanya sedikit berdebu, mungkin karena jarang di tempati oleh orang.
Sedangkan Kalila langsung menuju kamarnya, mengambil tas ransel yang cukup besar di dalam lemarinya dan mengeluarkan baju-bajunya yang tidak seberapa banyak. Kalila juga mengemas peralatan sekolahnya. Dia melihat buku tabungannya di balik baju, lalu mengambilnya memasukkannya dalam tas. Tak lama sambil memastikan sudah tak ada yang tertinggal, Kalila keluar dari kamar. Tapi sebelumnya dia berjalan menuju dapur. Dia melihat sekitar, di bawah tudung saji terdapat makanan dan ada catatan di sana.
Kalila, anakku, kalau kamu pulang makan ya nak. Maafin ibu nak, selama ini ibu selalu tutup mulut. Ini demi kamu, supaya kamu bisa hidup layak. Maaf kalau ibu buat hidup kamu susah. Ibu sayang Kalila.
Kalila hampir saja meremas kertas itu. Perasaannya campur aduk sekarang, kenapa? Kenapa ibunya sampai segininya? Padahal tanpa seperti itupun Kalila dapat bahagia, asal bersama ibu, Kalila tak butuh apapun. Dia mengambil pulpen dalam tasnya lalu membalas pesan tersebut.
Kalila kecewa sama ibu. Maaf Bu. Tapi Kalila gak akan pulang lagi, mungkin. Kalila udah terlanjur kecewa. Ibu gak perlu khawatirin Kalila, Kalila baik-baik aja. Kalila bakalan hidup kayak biasa. Jadi ibu harus hidup juga kayak biasanya. Ibu jangan lupa makan dan jaga kesehatan. Ibu khawatirin aja diri ibu. Jangan cari Kalila dulu, Kalila butuh waktu untuk mikir. Makasih ibu udah sayang sama Kalila selama ini. Kalila juga sayang sama ibu.
Mata Kalila tampak berair, tapi dia tak mau menangis. Selesai menulis itu Kalila dengan cepat meninggalkan dapur dan bertemu dengan Juan. Dia mengangguk menandakan sudah selesai. Mereka segera keluar dari rumah, Kalila dengan cepat mengunci pintu rumah. Lalu mereka pergi dari sana. Di belakang Juan, Kalila hanya bisa menangis tanpa suara. Dia benci keadaan seperti ini. Keadaan ini membuatnya lemah.
Juan merasakan Kalila tidak baik-baik saja semenjak keluar dari rumah. Dia merasakan tubuh kecil di belakangnya tidak baik-baik saja, ada sesuatu yang terjadi pada Kalila-nya. Juan melihat sebuah kedai martabak telur di depan sana, dia berniat berhenti.
"Kal, mau makan gak?" tanya Juan sedikit berteriak mengalahkan angin malam. Dia melihat Kalila dari spion.
Kalila mengangkat kepala, melihat Juan dari samping. "Terserah mas aja," balasnya.
Juan tak perlu banyak bertanya lagi. Sepengalamannya bersama beberapa wanita, makin ditanya makin tak jelas maunya apa. Kalau tidak mau nanti juga mereka akan bilang sendiri atau menunjukkan gerak-geriknya. Juan berhenti di sebuah kedai martabak telur yang sudah dia incar.
Kalila turun, begitupun dengan Juan. Dia menaruh helmnya di motor. "Mau makan di sini atau bawa pulang?" tanya Juan.
Kalila melirik barangnya. "Bawa pulang aja."
Juan mengangguk. Lalu memesankan martabak telur. Setelah selesai mereka pulang.
Tak lama akhirnya mereka sampai setelah tadi menemani Kalila mengambil baju dan juga beberapa peralatan. Mereka berjalan ke kosan, duduk berdua di teras yang sepi. Mereka bersandar ke dinding. Udara terasa dingin. Ini sudah jam 11 malam, tapi mereka hanya ingin duduk-duduk di luar saja. Juan menyodorkan martabak telur yang tadi mereka beli di pinggir jalan.
"Makan dulu, Kal," kata Juan membuka bungkus martabak pada Kalila.
Kalila tersenyum. "Makasih mas." Dia mencomot sedikit. "Mas, ayo makan juga," katanya.
Juan hanya mengangguk. "Oh iya, kamu besok sekolah?" tanya Juan.
Kalila mengangguk. "Iya. Tadi temen-temen pada nanyain saya ke mana. Lagipula kalau saya libur saya mau ngapain juga," kata Kalila.
Juan mengangguk. "Saya anter?"
"Eh, gak usah. Saya sendiri aja. Lagian sekolahnya kan gak jauh," tolak Kalila.
Juan mengangguk. "Untuk sementara kita tinggal di sini dulu," kata Juan.
Kalila melihat ke arah Juan. "Memangnya kita bakal ke mana?" tanya Kalila.
Juan tersenyum. "Saya lagi buat rumah, Kal. Mau selesai juga. Nanti kalau misalnya udah selesai kita pindah ke sana. Ya, bukan rumah gede juga sih, tapi cukup untuk tinggal berdua," kata Juan.
"Mas Juan keren," kata Kalila tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Ya, umur mas baru 27 tahun tapi udah bisa bikin rumah sendiri," katanya.
Juan tertawa pelan. "Mungkin kamu 10 tahun lagi bakalan lebih keren dari yang saya lakukan hari ini," balas Juan.
Kalila tersenyum. Hatinya mengatakan kata semoga.
"Besok barang bakalan dipindahin ke mari. Besok kita beres-beres ya?" kata Juan.
Kalila mengangguk. Lalu mereka masuk ke dalam. Kalila duduk di ruang depan, Juan juga ikut duduk.
"Malam ini belum ada kasurnya. Maaf ya harus tidur di lantai dulu," kata Juan.
Kalila menggeleng cepat. "Ah, gak apa-apa. Punya tempat untuk tinggal aja udah syukur," balasnya. "Makasih, mas Juan," katanya.
Lagi-lagi Juan merasakan hatinya berdebar saat Kalila menyebutkan namanya. Juan mengangguk.
"Oh iya, saya jadi gak enak," kata Kalila.
Alis Juan tertaut. "Gak enak kenapa?"
"Mas Juan jadi terjebak sama saya begini. Harus membiayai hidup saya juga. Saya jadi gak enak."
Juan menggeleng. "Jangan merasa begitu, Kal. Gak apa-apa kok. Hidup saya mungkin berubah, tapi saya sama sekali gak keberatan dengan keberadaan kamu sekarang. Ini bukan salah kamu," balas Juan membuat Kalila merasa nyaman. Juan tahu ini dijalani dengan terpaksa. Tapi, bagi Juan, Kalila sekarang adalah tanggungjawabnya, tak mungkin dia menelantarkan Kalila begitu saja.
Kalila menggeleng. "Gak, saya bisa kok ngelakuin apapun. Anggap aja bayaran karena mas sudah mau menampung saya," kata Kalila.
Juan tertawa. "Ya sudah, kalau begitu kamu beres-beres rumah aja sama siapin makanan buat saya tiap pergi sama pulang kerja. Gimana?" tanya Juan.
Kalila tampak berpikir. Bibirnya sedikit mengerucut. "Saya bisa kalau beres-beres. Tapi saya gak bisa masak," katanya malu.
"Gak apa-apa, saya bisa. Kalau gitu, kita masak berdua. Kamu temani saya memasak sambil bantu-bantu. Nanti kamu bisa belajar masak pelan-pelan," kata Juan baik.
Kalila mengangguk semangat. "Cuma itu aja?" tanya Kalila.
Juan mengangguk. "Oh ada satu lagi."
"Apa?"
"Jangan ke mana-mana, tetap di sini sama saya," kata Juan.
Kalila mengerjap. "Maksudnya? Saya gak boleh keluar dari sini? Ikut mas ke mana-mana? Saya dikurung?" tanyanya.
Juan tersenyum. "Bukan, maksud saya, jangan kabur."
"Oh, saya pikir apa." Kalila tampak berpikir, lalu mengangguk.
"Ya udah, kamu tidur duluan. Besok sekolah, kan? Tidur aja, saya jagain," katanya.
Kalila tersenyum lalu mengambil tas ranselnya sebagai bantal.
Juan memperhatikan gadis itu. "Belum lama udah ketiduran aja," katanya. Juan melepas jaketnya lalu menyelimuti Kalila.
.
Bersambung
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Kembali
General FictionMenikah karena alasan yang konyol harus di alami oleh dua manusia yang hidupnya penuh serba-serbi. Juan yang hendak menolong seorang gadis di jalanan gelap justru dituduh melakukan hal mesum dengan gadis tersebut. Sedangkan gadis tersebut, Kalila, h...