Abigail mematung setelah melihat seorang laki-laki sedang tergeletak di atas lantai kamarnya. Pada saat itu buih-buih keringat mulai membasahi seluruh tubuhnya. Jelas saja dia panik. Kenapa orang ini bisa ada di kamarku?
Bukan hanya terkejut pasca melihat penampilan berantakan dan penuh luka orang di depannya. Dia pun takut jika dirinya akan dijadikan tersangka jikalau laki-laki yang sedang tak sadarkan diri itu benar-benar tak bernyawa.
Abigail menoleh ke sekitar. Tidak ada seorang pun yang berlalu-lalang di dekat kamarnya. Dengan cekatan dia berlari mengetuk satu per satu pintu kamar yang ada di lantai dua.
"Tolong! Tolong!"
Setiap pintu yang diketuk tidak memberikan satu pun jawaban. Laki-laki itu langsung berlari menuruni anak tangga sambil tetap mendekap anak burung. Saat dirinya telah sampai di lantai satu, kepala asrama sedang tidak berada di tempatnya.
Semoga aja laki-laki itu baik-baik aja.
Karena tidak kunjung melihat aktivitas orang lain di sekitar asrama. Abigail pun langsung berlari menuju kamarnya demi memastikan keadaan manusia tersebut. Tidak peduli seberapa lelah laki-laki itu saat ini, menyelamatkan orang asing yang terluka adalah prioritas utama.
Kalau aku enggak nyelamatin orang ini sekarang, mungkin aku enggak akan bisa tidur dengan tenang.
Setelah sampai di dalam kamar. Abigail langsung menaruh anak burung yang ada di pelukannya ke atas meja belajar, tidak lupa ranselnya ikut ia taruh. Tentu saja dia langsung mengambil ponsel milik ya yang tersimpan di dalam saku celana. Setelah dia menghidupkan layar ponsel, tangannya langsung menekan opsi panggilan darurat yang berada di samping tombol kata sandi.
"Nomor darurat ... satu, dua, dua. Semoga aja berhasil."
Sembari menunggu nomor darurat itu menjawab panggilannya. Dia menyiapkan beberapa kain bersih demi melakukan pertolongan pertama.
Abigail mendekat ke arah laki-laki yang tergeletak tak berdaya. Dia melihat bahwa orang yang kehilangan kesadaran itu masih mengenakan ransel di punggungnya, dan membawa benda seperti pipa berukuran sebesar pergelangan tangan laki-laki dewasa.
Semoga aja dia belum meninggal.
"Halo. Ada yang bisa kami bantu?"
Suara perempuan di seberang panggilan telepon membuat Abigail terdiam sesaat. Dia mengarahkan dua jarinya di sudut antara leher dan rahang bawah bagian kanan milik laki-laki yang sedang tengkurap. Napasnya berembus lega setelah denyut nadi milik orang berpakaian aneh itu masih terasa.
"Halo. Ada yang bisa kami bantu?"
Abigail tersadar bahwa ponselnya masih berada di dalam panggilan bersama nomor darurat. "Maaf, Kak. Tadi aku panik karena ngelihat luka orang lain, sekarang orang itu baik-baik aja. Maaf, ya, karena udah merepotkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Beats: Forbidden Memory (1)
Fantasy[𝘕𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘌𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘍𝘢𝘵𝘦𝘴 series] Abigail seorang musisi penderita insomnia, tiba-tiba terjebak dalam masalah yang dimiliki oleh Asa--orang dari masa depan. Perjalanan Asa menuju masa lalu karena kecerobohan menyebabkan sebuah retakan dim...