6. Latihan Terakhir

31 15 0
                                    

Jari jemari Abigail menekan satu per satu tuts piano, matanya terfokus memperhatikan lembar tangga nada yang tertulis di atas kertas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jari jemari Abigail menekan satu per satu tuts piano, matanya terfokus memperhatikan lembar tangga nada yang tertulis di atas kertas. Bukan karena dia belum menghafal lagu yang akan dia mainkan di kompetisi nanti, hanya saja dirinya merasa perlu untuk mengoreksi beberapa nada lebih lanjut sebelum kompetisi esok sore.

"Kalau kamu latihan kayak gini terus, kita enggak akan bisa menang di kompetisi nanti, Bi." Elena menaruh biolanya sesaat setelah Abigail menghentikan aktivitas memainkan piano. "Tinggal satu hari, lho, latihannya. Jangan main-main, lah ...."

Abigail mengusap wajahnya menggunakan tangan. Dia menghela napas sesaat sebelum dirinya bangun dari kursi dan mengambil sebotol air mineral yang berada di atas meja. Laki-laki itu langsung meneguknya hingga air di dalam botol sudah tidak tersisa.

"Maaf, kita istirahat dulu. Pikiranku kacau banget."

Abigail mengambil ponsel miliknya yang tersimpan di dalam ransel. Dia menekan tombol kecil yang ada di samping ponsel itu. Layar menyala, menampilkan pop up notifikasi pesan bergilir. Dari nomor orang yang sangat dia kenal.

Laki-laki itu memejamkan mata. Dirinya menghela napas dalam-dalam, sebelum akhirnya menghapus pop up pesan tersebut. Besok aku harus menang.

Abigail menepuk pipinya menggunakan tangan. Dia melirik sekilas ke arah perempuan yang juga sedang memainkan ponsel di seberangnya. Terlihat percikan cahaya ungu keluar saat Elena menyentuh layar ponsel. Percikan warna yang dia lihat sejak semalam, dan sesuatu yang Abigail coba untuk diabaikan.

"Kamu serius enggak ngelihat percikan warna yang aku maksud semalam?"

Percikan cahaya kuning keluar saat Abigail mengucapkan pertanyaan tadi. Warna yang muncul saat dia mendengarkan suara, tidak hanya satu warna, tetapi setiap tipe suara selalu menghasilkan warna berbeda.

"Enggak, kok. Emang kamu masih ngelihat halusinasi itu, ya?" tanya Elena sambil tetap melihat ponsel. "Coba cari aja di Google, siapa tau ada jawabannya."

Abigail hanya mengangguk. Setelah itu dia melihat kembali layar ponsel, dan menekan aplikasi berlogo bola dunia. Dia mengetikkan beberapa kata di dalam kolom pencarian, sampai akhirnya muncul sebuah informasi yang ingin dia tau melalui salah satu situs web penyedia informasi.

"Orang yang dapat melihat warna suara disebut sinestesia."

Laki-laki beralis tebal itu mengerutkan kening saat dia membaca penjelasan mengenai keanehan yang terjadi pada dirinya. "Sinestesia bukannya kondisi bawaan dari lahir, ya?"

"Ada, kok, yang ngerasain pas udah dewasa." Elena menimpali ucapan Abigail. Gadis itu menyimpan ponselnya, lalu berjalan mendekati Abigail yang masih kebingungan membaca satu per satu artikel di situs pencarian.

"Sinestesia enggak sesimpel apa yang kamu bayangin, Bi."

Abigail melirik ke arah Elena yang sedang berdiri di sisinya. Mata indah laki-laki itu memperhatikan perempuan yang tingginya tidak lebih dari bahu laki-laki tersebut. Napasnya berembus setelah menyadari bahwa sesuatu yang terjadi kepadanya tidak akan memiliki jawaban yang pasti.

"Kalau gitu, apa yang terjadi sama penglihatanku?"

Elena tidak menjawab. Gadis itu hanya mengangkat bahunya, sambil menyandarkan kepala di bahu Abigail. Lalu memejamkan mata. Membuat Abigail hanya dapat terdiam, mencerna apa yang sedang terjadi dengan mereka saat ini.

"Gimana kabar burung yang kamu selamatkan semalam? Udah diobatin?"

Abigail menaruh ponselnya ke dalam saku celana. Pertanyaan yang keluar dari mulut Elena mengingatkan laki-laki berpupil hitam itu dengan apa yang terjadi semalam, sebelum dia tidur.

Meski pagi tadi semua itu kembali seperti semua. Anak burung yang terlihat lemah, dengan luka di kaki, dan diselimuti kardigan merah muda milik Elena. Abigail hanya sempat memberikan burung itu makanan, dan mengoleskan obat merah sebelum dia berangkat ke sekolah pagi tadi.

Ngomong-ngomong tentang burung. Kenapa Asa ketakutan pas ngelihat burung berbulu emas itu?

Laki-laki itu menggelengkan kepala. Lalu dia membuka mulut, demi menjawab pertanyaan dari Elena yang sudah berlalu beberapa detik. "Enggak tau. Aku nitip burung itu ke temanku."

"Teman?"

Ya ... sejujurnya kami belum kenalan secara resmi. Aku pergi duluan tadi, semoga aja dia enggak buat masalah.

Abigail merasakan Elena tidak lagi bersandar di tubuhnya. Laki-laki itu memalingkan kepalanya, melihat wajah terkejut Elena yang mundur beberapa langkah sambil menaikkan satu alis. Tangan laki-laki berkulit putih itu bergerak mengusap tengkuknya yang tak gatal, berusaha mengalihkan pandangan, menatap lorong gedung ekstrakurikuler yang sepi sebab tidak adanya aktivitas pada akhir pekan.

"Engg ... dia sekarang ada di asramaku," ucapannya terhenti begitu suara dering telepon terdengar dari ponsel Elena. "Jangan bilang siapa-siapa, ya, aku bawa orang lain ke dalam asrama."

Elena pun mengangguk. Abigail menyaksikan perempuan berpupil cokelat itu sedikit menjauh, sebelum akhirnya orang itu mengangkat panggilan telepon dan memberikan raut bahagia di wajahnya.

"Oke, Pak." Elena menatap Abigail sambil tersenyum. Kemudian gadis itu mengambil tasnya yang tergantung di sisi jendela.

"Pak Herlan nyuruh kita buat pulang."

"Seriusan?"

"Iya ... tadi di telepon beliau bilang sendiri. Katanya kita harus istirahat sebelum kompetisi. Jangan lupa juga datang pagi hari buat registrasi!"

Abigail berjingkrak riang. Laki-laki itu langsung mengambil ransel miliknya yang tergeletak di samping meja. Kemudian berlari menuju pintu keluar.

Sebelum Abigail keluar dari ruangan ekstrakurikuler musik. Elena menghentikan langkah Abigail dengan merentangkan satu tangan di depan pintu.

Laki-laki yang kebingungan dengan tingkah partner bermusiknya hanya dapat bersedekap sambil menunggu apa yang akan dilakukan oleh perempuan di depannya.

"Ngomong-ngomong. Aku nemuin benda aneh di dekat burung semalam."

Elena mengeluarkan benda berbentuk melingkar serupa wajan dari dalam tas miliknya. Kemudian perempuan itu memberikan benda tersebut kepada Abigail. Dengan lengkungan berupa gagang yang tersimpan di belakang lengkungan benda tersebut. Kayak perisai, ya?

Pandangannya menjelajah lebih jauh bentuk benda yang sangat asing itu. Terdapat banyak sekali goresan dan juga noda tanah yang menempel saat Abigail membalikkan benda itu. Memang lumayan berat untuk seukuran hiasan, tetapi semua itu sepadan dengan pahatan indah yang terlihat mengilap dengan warna keemasan.

Pahatan itu menunjukkan gambar seekor burung garuda. Dengan banyak goresan daun di sekitar, dan lengkungan aneh yang menyerupai lambang empat elemen. Meski samar, dia melihat ada sesuatu berbentuk seperti api dan tanah. Semua struktur di dalam pahatan itu terlihat sangat kuno.

Ini ada di sisi burung itu? Sebenarnya benda apaan ini?

Saat sedang memasukkan benda itu ke dalam ranselnya. Abigail merasakan sesuatu sedang mengintai dirinya dari kejauhan. Meski dia tidak dapat melihat di mana keberadaan tersebut, hanya saja instingnya mengatakan bahwa mata yang mengintainya sedang memberikan perasaan tidak mengenakkan.

Abigail melirik Elena yang sedang mengusap tengkuk. Pandangan keduanya bertemu, seolah-olah saling mengirimkan telepati. Kemudian laki-laki itu mengangguk.

"Ayo, Len, kita pulang. Langit udah mendung banget," ucapnya.

Semoga aja kompetisi besok enggak terjadi sesuatu yang buruk.

Time Beats: Forbidden Memory (1) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang