"Kenapa kamu bisa jadi kompas?"
Pertanyaan Abigail membuat Asa sadar dengan keadaan dirinya pada saat ini. Meski dia tidak dapat meraba apa pun, atau sekadar menghirup aroma parfum yang dikenakan oleh laki-laki di depan wajahnya. Tidak pernah sekali pun terbesit di pikiran, tentang menjadi kompas, dan kehilangan sebagian fungsi pada dirinya.
Dia hanya dapat berpikir serta melihat apa yang ada di depannya. Mungkin sesekali mendengar, tetapi itu semua terasa hampa setiap pikirannya membawa dia membayangkan pemandangan latar putih seperti berada di dalam wormhole.
Itu semua yang aku bayangin.
"Itu semua yang aku bayangin."
Lagi dan langi, apa yang dirinya ucapkan dalam hati, terdengar di indra pendengaran. Bukan hanya itu, kini dia dapat melihat pantulan kaca hitam milik salah satu bangunan, yang menampilkan Abigail sedang duduk bersandar di sebuah mobil hitam terparkir.
Beberapa kaki terlihat berlalu-lalang di sekitar kaca hitam tersebut, membuat Asa berpikir keras. Kenapa tiba-tiba suasana di sekitar sana berubah? Padahal hal terakhir yang dia lihat adalah kekacauan yang disebabkan oleh percikan warna. Bukan bangunan utuh yang terdapat aktivitas manusia di dalamnya.
Dirinya menatap lama pantulan kaca di depannya. Ada kompas keemasan yang mengalungi leher Abigail. Memang tidak dapat dipercaya, tetapi keadaan itu terjadi kepadanya hari ini.
Laki-laki yang kini menjadi kompas itu mengucapkan sesuatu di dalam hatinya. "Kamu udah tenang? Pertama, ayo kita pergi dari sini, kita pergi ke tempat kompetisi. Kayaknya dunia benar-benar lagi aneh."
Suaranya terdengar hingga membuat Abigail terlihat mengangguk di dalam pantulan kaca tersebut. Akhirnya dia dapat menyadari jalan keluar dari kesulitan yang sedang menimpanya. Mungkin Asa tidak dapat berbicara melalui mulutnya, tetapi laki-laki itu bisa mengeluarkan suara hanya dari gumaman di dalam hati.
Asa memejamkan indra penglihatannya setelah merasa sangat kelelahan dengan apa yang terjadi. Saat dia tidak lagi melihat pemandangan aktivitas tengah kota yang begitu ramai, latar putih mengisi seluruh penglihatannya. Bukan kegelapan yang menemani dirinya saat ini, tetapi hanya tempat serupa lorong waktu yang terlihat.
Dia tidak tau apa yang terjadi dengan dirinya. Tetapi seluruh kejadian ini terasa sangat aneh, entah bagaimana tubuhnya bisa masuk ke dalam kompas pemberian orang terdekatnya. Mungkin jika dipikir secara logika, itu semua mungkin. Hanya saja, kejadian yang terjadi dengan Jakarta beberapa waktu lalu membuat dia harus percaya. Bahwa Bumi telah berubah menjadi genre fantasi selayaknya novel-novel bertema penyihir.
"Maafkan aku enggak bisa mengembalikan tubuhmu, Kak Asa."
Suara Abigail terdengar, membuat laki-laki yang kini berubah menjadi kompas membuka kembali indra penglihatannya. Jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan terlihat sangat dekat setelah Abigail sedikit bergerak. Sensasi yang dia rasakan mirip dengan menaiki wahana rollercoaster. Tidak menggerakkan kaki pun dapat berjalan, apalagi kompas yang menggantung di leher itu terus-menerus bergerak tak berirama. Membuat sensasi guncangan tersendiri tiap kali langkah Abigail tidak seimbang.
Asa melihat gedung dominan kaca yang tadi sempat dijadikan pusat dari percikan warna suara. Meski mendung, keadaan di sana masih ramai dengan peserta yang mengantri untuk daftar ulang. Mungkin karena hujan belum menyentuh permukaan Bumi setelah menghilang dini hari.
"Ngomong-ngomong ... kenapa, sih, kamu enggak konsisten setiap manggil aku. Kadang pakai Kak kadang enggak." Asa bergumam saat dia berusaha mengalihkan percakapan. "Kalau enggak mau pakai, enggak usah dipakai."
Setelah sedikit guncangan dan pemandangan di depannya hanya tersisa pepohonan rindang. Laki-laki itu mendengar suara tawa.
"Aku sebenarnya bingung. Kamu lebih tua dari aku, tapi kamu ada di masa depan. Sementara aku, kan, ada di masa lalu dan kayaknya umur kita terpaut puluhan tahun. Harusnya kamu manggil aku kakek!" Abigail menggoyang-goyangkan rantai yang melingkar di lehernya. Laki-laki tersebut masih tertawa, meski pada akhirnya diam setelah banyak orang berlalu-lalang di dekat gerbang menuju gedung komepetisi.
"Cih. Aku enggak mau manggil kamu kakek! Jadi kamu enggak usah panggil aku kakak segala."
Asa memperhatikan gedung dengan desain lebih kuno dari gedung-gedung di zamannya. Dia menyadari sesuatu mungkin telah terjadi di sana, entah mengapa keadaan baik-baik saja. Seolah dunia kembali seperti semula. Melupakan kekacauan yang telah terjadi. Sebenarnya mengapa?
"Hah?"
"Enggak. Aku tadi cuma bergumam doang, kok."
Dirinya benar-benar lupa jika mengucapkan perkataan di dalam hati. Suara yang seharusnya keluar dari mulut, kini keluar dan terdengar tiba-tiba. Dia tidak harus berusaha menggerakkan lidah atau sekadar membuka mulut. Meski pada akhirnya dia tidak dapat mengeluh karena bisa terdengar oleh orang lain.
"Ngomong-ngomong, suaraku kedengaran enggak sama orang lain selain kamu?" tanyanya setelah langkah Abigail tepat berada di depan pintu masuk.
"Enggak tau, ada baiknya kita enggak sering-sering ngobrol di depan banyak orang gini supaya enggak kelihatan aneh." Laki-laki yang tengah membawa Asa tiba-tiba menghela napas panjang. "Lihat, orang-orang di sini ngelihat kita aneh."
Setelah perkataan Abigail tadi. Asa juga dapat melihat beberapa orang sedang memperhatikan mereka berdua, meski pandangan itu diarahkan tepat ke arah Abigail, bukan dirinya. Hanya saja dia merasa takut mengubah masa lalu terlalu banyak. Apalagi kejadian mesin waktu yang membawa anak burung keemasan, membuat dia berpikir bahwa apa yang dia lihat bukanlah mimpi. Melainkan kejadian lain, yang terhubung dengan alasannya berada di dalam kompas saat ini.
Berbicara tentang seekor anak burung, Asa terpikirkan satu pertanyaan di kepala. "Abigail, gimana keadaan anak burung yang kamu temuin itu?"
"Maksudmu Garula?"
"Garula?"
"Nama burung itu. Burung yang bisa bicara, katanya, sih, dia garuda terakhir. Tapi aku enggak tau deh dia ngarang cerita atau enggak."
Burung keemasan, dapat berbicara, dan merupakan spesies garuda terakhir. Asa sadar bahwa semua ciri-ciri itu mengarah ke dalam ingatan tentang kejadian mesin waktu. Apa burung yang ditemukan oleh Abigail adalah kunci dari semua kejadian ini? Lalu apa hubungannya burung itu dengan dirinya yang menjadi kompas?
"Burung itu aku enggak tau sekarang ke mana. Terakhir kali, sih, dia ada di atas mobil, tapi menghilang begitu aja saat keadaan berubah. Kayak waktu tiba-tiba berputar ke masa di mana kita belum ada di tempat ini," ungkap Abigail setelah berbelok dari koridor utama, dan mendapati pemandangan kerumunan orang yang mengantri di depan satu ruangan. "Aku mau daftar ulang dulu, kamu jangan ngomong apa-apa! Oh, aku juga bawa tasmu, kok."
Setelah hal mengatakan itu. Asa merasakan pandangannya sedikit bergoyang, begitu laki-laki pemilik rambut acak-acakan itu berlari menuju seorang perempuan bergaun merah yang berdiri di dekat kerumunan orang-orang.
Dirinya tidak mengenali perempuan bermata cokelat yang tengah menenteng tas biola berwarna serupa. Apalagi kini kepalanya terasa pusing akibat guncangan tadi. Sambil terus memperhatikan bagaimana respon perempuan tersebut, Asa memperhatikan keadaan sekitar.
"Elena, maaf aku terlambat."
Begitu suara Abigail terdengar. Bibir orang bernama Elena itu bergerak. Membuat Asa tidak dapat berkata-kata setelah mendengar suara perempuan itu.
"Aku udah lama nunggu kamu tau!"
Suara yang sangat familier. Dia merasa pernah mendengar nada bicara Elena di tempat lain. Bukan berasal dari masa sekarang atau pun masa depan. Dia tidak mengingat sama sekali kapan dan di mana suara itu terdengar. Hanya saja, Asa merasa sangat familier.
Segala ingatan demi ingatan mulai terekam di pikirannya. Kenangan yang terjadi dengan dirinya selama duapuluh lima tahun terakhir tergambar kembali dengan sangat jelas. Saat ini Asa merasakan sesuatu yang asing menyelimuti perasaannya. Kekaguman, ketakutan, dan harapan.
Sebenarnya siapa Elena ini?
***
[WARNING!!!]
Beberapa bab ke depan akan terjadi proses rewrite karena kesalahan POV dan juga perbaikan cerita untuk menutupi holes yang akan dilakukan sehari--mulai dari sekarang--untuk setiap babnya. Bab dan sebagian chapter enggak bakalan aku unpublish selama masa rewrite tersebut. Jadi aku harap kalian bisa menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Beats: Forbidden Memory (1)
Fantasy[𝘕𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘌𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘍𝘢𝘵𝘦𝘴 series] Abigail seorang musisi penderita insomnia, tiba-tiba terjebak dalam masalah yang dimiliki oleh Asa--orang dari masa depan. Perjalanan Asa menuju masa lalu karena kecerobohan menyebabkan sebuah retakan dim...