Sesampainya di rumah, ia menyangka Gifar bercanda saat bilang ingin berkenalan dengan orangtuanya, tapi satu detik setelah pria itu melangkahkan kaki ke dalam rumah William, yang ia katakan adalah...
"Selamat sore tante, saya temennya William, saya bawain cookies loh buat tante dan suami." iya, tadi di tengah perjalanan Gifar tiba-tiba memberhentikan motornya di depan sebuah toko kue, dan membeli sekotak cookies coklat. Supaya membangun kesan pertama yang baik, katanya.
"Wahh gak perlu repot-repot nak.. Maasih banyak yaa. Siapa nama kamu?"
"Gifar, tan."
"Tante kok kayak gak asing sama wajah mu, pernah main ke sini ya?"
William melirik Gifar sejenak, sebelum pria itu bisa menjawab, William sudah berhasil mengganti topik pembicaraan.
"Ma, lihat aku dibeliin apa sama Gifar," ucapnya sambil menunjukkan gitar yang ia gendong layaknya tas ransel.
Wanita itu langsung menutup mulutnya dengan satu tangan. "Kamu beneran, nak?" matanya mengarah ke Gifar, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Iya, tante. Saya lihat William seneng banget setiap main gitar, jadi saya mau dia lebih sering latihan lagi. Katanya anak tante mau masuk jurusan seni musik, kan?"
"Benar, katanya pengen musisi."
Gifar tersenyum dan menengok ke arah William yang sudah senang setengah mati. Tak sabar ingin memainkan gitar barunya.
"Keren William."
"Ooh, jelas. Tapi lo lebih keren, jadi, ajarin gue ya?"
"Of course.. pokoknya sampai lo jadi musisi dah, gue temenin."
Mama langsung tertawa bahagia melihat pemandangan di depannya.
"Kamu punya temen sebaik ini, kok gak penah bilang sama mama sih nak?"
"Iya, William parah banget tan. Masa tadi saya bilang mau kenalan sama tante, tapi dia tanya, untuk apa? Gitu."
"Sstt udah gak usah banyak ngadu. Ke kamar gue yuk? Sekalian pasangin senar baru."
Gifar mengangguk pelan. "Yuk. Saya ikut William dulu ya tante, permisi..."
"Iya nak, semangat ya kalian berdua."
---
"Ganti bajunya bisa cepetan dikit gak?" protes Gifar yang dipaksa untuk memandang tembok agar William bisa ganti baju dengan leluasa.
"Sabar dong, dikit lagi selesai kok ini."
"Gue noleh mampus lo Will."
"Noleh aja, tangan gue udah siap untuk menampar kok."
Gifar terkekeh pelan, tangannya sibuk memotong senar gitar bawaan yang kualitasnya kurang bagus.
"Udah selesai belum Will?"
"Udah ini, barusan. Gak sabaran banget dahh." William naik ke atas kasur, ia duduk di sebelah Gifar. "Buset senarnya hilang," entah mengapa lucu baginya, pertama kali ia melihat gitar tanpa senar. "Jadi, gimana cara pasang senar barunya?"
Dari sore sampai malam, mereka menghabiskan waktu untuk berbagai hal yang berhubungan dengan gitar. Dari cara memotong senar, memasang senar, bahkan Gifar mengajarkan William cara memainkan intro lagu kesukaannya.
Bulan dan jutaan bintang menghiasi langit malam, Gifar sudah siap dengan seperangkat berkendaranya, kali ini dia dipaksa William untuk mengenakan helm.
"Makasih ya Far, nanti sampai rumah jangan lupa kabarin Nora, pasti khawatir dia."
"Aman Will, semoga gak lupa." Gifar langsung menutup kaca helmnya, kemudian melambaikan tangan sebelum akhirnya melaju dengan kecepatan sedang.
William tersenyum kecil, kalimat Gifar tiba-tiba terngiang di dalam benaknya.
'...pokoknya sampai lo jadi musisi dah, gue temenin'
Senang? Iya.
Salting? Banget.---
Di tengah perjalanan, ada seorang bapak-bapak yang menjual balon transparan dengan lampu kelap-kelip di sekitarnya. Gifar langsung teringat akan Nora. Dia langsung berhenti sejenak dan memutuskan untuk mampir ke rumah Nora, dengan harapan rasa kesal wanita itu akan berkurang.
Motornya sudah memasuki area perumahan Nora, lampu jalan yang luar biasa terang sedikit menyilaukan matanya meski sudah dilapisi oleh kaca helm.
Senyuman Gifar langsung merekah saat melihat kekasihnya sedang berlarian sambil tertawa riang di taman rumah. Meski jaraknya dengan rumah Nora masih beberapa meter, tapi dia bisa melihat semua dengan jelas.
Tiba-tiba seorang pria yang tak asing di matanya muncul di balik pepohonan, lebih tepatnya, sedang mengejar Nora, dan membuat wanita itu tertawa begitu bahagia.
Gifar hanya menghela nafas, langsung mengurungkan niat untuk mampir, dia menutar balik motornya. Udah bukan hal baru, gumamnya.
Kalau ia dan Nora disebut pasangan serasi, kadang Gifar merasa miris pada dirinya sendiri. Memang, sudah berkali-kali dia menangkap Nora sedang asik bersama satu pria yang sama, yang pasti memiliki hubungan yang lebih dari teman dengan wanitanya, tapi Gifar cuma bilang, yaudahlah, mau gimana lagi.
Saking seringnya nge yaudahin peristiwa yang menyakitkan, perlahan rasa sayangnya pada Nora kian berkurang, tapi untuk mengakhiri hubungan, dia sama sekali tak bisa.
Awalnya, Gifar memang menaruh seluruh kebahagiaannya pada satu orang yang sama, yaitu Nora, kesayangannya. Tapi semenjak tau Nora benar-benar bisa hidup tanpanya, bahagianya tak lagi di sana.
To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNAMOVAS 🌙 ; Kookv
AcakAku paham, semesta telah membangun tembok tinggi melebihi ancala. kita terlalu kecil, untuk bisa menghancurkannya, tapi yang ada di dada, membuat ku menganggap tidak ada hal yang mustahil di dunia.