"Suamiku!"
Sarah yang tadinya duduk menyila di kursi makan sambil mencolek sedikit demi sedikit selai kacang dalam stoples langsung bangkit dan berlari kecil seraya membentangkan kedua tangan begitu melihat sosok suaminya muncul dari balik sekat pembatas area dapur sambil menyeret koper.
Peluk hangat penuh rindu langsung wanita itu curahkan pada pria yang dua hari lalu meninggalkan rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun, sepertinya Nathan, sang suami, tidak merasakan hal serupa. Alih-alih membalas pelukan, pria itu malah mendorong kasar istrinya. Keningnya berkerut-kerut, kedua alis nyalis menyatu, membingkai mata kecil yang menatap tajam wanita berwajah polos di hadapannya.
"Kau melakukannya lagi?" tanya Nathan lirih dan sinis.
"Melakukan apa?" Sarah mengerjap bingung. Sambil menyelipkan helaian rambut panjang bergelombangnya ke belakang telinga, wanita itu melanjutkan, "Aku tidak melakukan apa-apa."
"Kenapa kau melakukannya?" Kali ini suara Nathan mulai meninggi. "Kau tidak pernah menepati janji!"
"Aku tidak melakukan apa pun!" Sarah ikut berteriak kesal, kedua tangan wanita itu mengepal erat, sorot mata tajamnya dihunuskan pada sang suami. Padahal wanita itu sangat bersemangat sejak pertama kali membuka mata pagi ini, tetapi cara bicara Nathan yang menyulut pertengkaran telah menghancurkan suasana hatinya berkeping-keping. Bisa dipastikan, Sarah akan menjadi lebih sensitif sepanjang hari setelah ini.
"Kau tidak penasaran dan malah menyambutku dengan senang hati karena batal syuting, jelas-jelas itu karena kau tahu sejak awal, kan? Kau sudah memperkirakannya setelah mengirim Mari ke rumah sakit. Iya, kan?"
"Tidak!"
"Kau tidak pernah pandai berbohong Sarah Kim!"
"Sudah kubilang tidak!"
"Aku mulai benar-benar membencimu," gumam Nathan nanar dan langsung mengambil langkah meninggalkan sang istri.
"Apa? Benci?" Sarah memelotot kesal, wanita itu tidak membiarkan Nathan pergi dengan segera menarik kerah baju suaminya. "Katakan lagi!" semburnya.
"Aku membencimu," ucap Nathan tenang, tetapi cukup mengintimidasi.
"Kau bosan hidup?" teriak Sarah. "Kau mau mati? Berani-beraninya kau membenciku, orang yang telah banyak berjasa—"
Prang!
Pertengkaran terjeda, Sarah sontak memalingkan muka ke arah meja makan, asal suara bantingan gelas hingga benda bening itu hancur berkeping-keping di lantai. Tidak jauh dari beling yang berserakan, laki-laki berpenampilan rapi dalam balutan kemeja putih berlapis rompi rajut hitam seragam SMA, pelaku yang memecahkan gelas dengan sengaja, menatap pasangan suami istri di hadapannya dengan ekspresi datar diikuti desahan kasar.
"Bian!" Sarah lekas berlari menghampiri sang anak, lalu meraba beberapa bagian tubuh jangkung putranya, memeriksa apakah ada yang terluka akibat serpihan kaca. "Apa ada yang sakit?"
"Telingaku," kata remaja itu dengan nada jengkel.
Sarah mendesah kasar dan kembali menghadap Nathan. Pria itu baru saja hendak berjongkok memungut pecahan gelas, tetapi ocehan Sarah segera menahannya.
"Semuanya karena kau!" kata Sarah kesal. "Kau memancing pertengkaran dan membuat Bian kesal, telinganya sampai sakit karena teriakanmu!"
"Tolong jangan teriak-teriak lagi, aku tidak mau Kailan bangun dan mendengarnya," kata Bian malas. Laki-laki itu lantas menarik satu kursi dan duduk di hadapan makanan yang ia siapkan dan sajikan sendiri selagi orang tuanya beradu mulut dan menganggapnya seolah tidak ada beberapa saat lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal Family
VampireBegitu menginjakkan kaki di rumah sepulang sekolah, si sulung malah mendapati rumah layaknya kapal pecah akibat amukan sang ibu. Saat ditanya penyebabnya, dengan emosi menggebu-gebu, wanita itu menjawab, "Dia bersikeras ingin bercerai dan akan menik...