"Kai tidak ke sekolah?" Nathan mengernyit setelah mendengar pertanyaan wali kelas sang anak soal alasan absennya Kai hari ini, anak rajin yang saat hujan badai sekali pun tetap datang ke sekolah.
"Tadi pagi aku sendiri yang mengantarnya," jelas Nathan, "jadi tidak mungkin—ah, maaf." Nathan mendesah frustrasi begitu satu nama tersangka yang membawa kabur Kai melintas di kepalanya.
"Sepertinya Kai pergi bersama ibunya," imbuh Nathan. "Aku akan memastikannya dulu, nanti akan segera kuhubungi lagi. Terima kasih sudah memberitahuku."
"Ada apa?" tanya manajer Nathan yang baru saja mendekat setelah melihat ekspresi Nathan yang mendadak kecut.
"Anakku diculik," jawab Nathan seraya mencari kontak Sarah di ponsel.
"Apa?" Manajer membelalak. "Bagaimana bisa? Sudah melapor polisi? Ada seseorang yang kau curigai?"
"Sarah."
"Sa—istrimu?" Manajer mendecak jengkel dan memutar kedua mata. "Seharusnya aku tidak usah tanya."
Kalau diingat-ingat, sepertinya ini bukan kali pertama Kai yang seharusnya pergi ke sekolah malah melanglang buana entah ke mana, dan tentu saja pelaku yang membawa pergi bocah itu adalah Sarah. "Tahun lalu juga begitu, kan?"
"Wanita itu bahkan telah melakukannya sejak Bian SD," sahut Nathan kesal.
Sang manajer menganggut-anggut. "Berarti bukan hal aneh, lagi, kan? Sebaiknya jangan terlalu kesal, toh Kai bersama ibunya. Jaga emosi dan suasana hatimu untuk saat ini. Adegan yang akan kau perankan nanti adalah orang yang sedang baha—"
"Sial!" Nathan kembali menekan ikon telepon untuk kembali menghubungi sang istri, kemudian mengempaskan bokong ke kursi dengan kasar. Manajer hanya bisa mendesah pasrah sambil mengelus dada melihat amukan Nathan. "Dia menolak panggilanku. Wanita itu benar-benar sengaja memancing kemarahanku!"
"Hah, sudah kubilang kendalikan emosimu, kan," ucap manajer prihatin. "Sebentar lagi syuting dimulai."
Panggilan ditolak untuk kedua kalinya, Nathan mendesah kasar dan berusaha meredam rasa kesalnya pada sang istri.
Sama seperti Sarah yang selalu menyerang wanita yang dicemburui, perbuatannya kali ini pun kerap diulangi meski tahu hal itu dapat memicu pertengkaran dalam rumah tangga mereka.
"Awas saja kalau dia pulang nanti!" Nathan terus mendumal sepanjang waktu tunggu.
Sayangnya, sampai syuting pria itu selesai di jam sembilan malam, Sarah dan Kai masih belum pulang, pun belum bisa dihubungi.
Sebagai seorang ayah, tentu Nathan sangat mengkhawatirkan putra bungsunya, lebih-lebih karena akhir-akhir ini kepercayaannya pada Sarah mulai menurun. Jadi, saat Bian memintanya duduk dengan tenang karena Kai hanya sedang bersenang-senang bersama ibunya, Nathan tidak menggubris dan tetap berusaha menghubungi sang istri dengan gelisah.
"Sarah pasti menjaga Kai dengan baik. Selama ini tidak pernah, kan, Kai pulang dalam keadaan terluka sedikit pun hanya karena pergi berdua dengan ibunya?" imbuh Bian yang mulai muak melihat ayahnya mondar-mandir di ruang tengah.
"Aku berani jamin mereka hanya bersenang-senang, bukan pergi ke medan perang atau hutan belantara," tambah Bian, si sulung yang juga pernah Sarah culik dari sekolah untuk diajak ke taman hiburan dalam ruangan atau akuarium raksasa.
"Aku tetap tidak tenang mengetahui Kai hanya pergi berdua dengan Sarah," sahut Nathan diiringi embusan napas kasar. "Aku tidak akan memaafkan wanita itu jika sampai melakukan hal buruk pada anakku."
Selama beberapa saat, Bian bergeming mengamati ekspresi cemas ayahnya. Sebelum ini, Nathan tidak pernah bersikap berlebihan. Pria itu memang tetap marah karena Sarah bukan hanya membuat anak-anaknya ketinggalan pelajaran, tetapi juga mengajarkan hal yang buruk dengan membolos sekolah. Namun, cemas berlebihan sampai terlihat panik dan takut adalah pertama kalinya sejauh yang bisa Bian ingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal Family
VampireBegitu menginjakkan kaki di rumah sepulang sekolah, si sulung malah mendapati rumah layaknya kapal pecah akibat amukan sang ibu. Saat ditanya penyebabnya, dengan emosi menggebu-gebu, wanita itu menjawab, "Dia bersikeras ingin bercerai dan akan menik...