2. Simulasi Perceraian

95 26 8
                                    

"Fabian, Bian, kau tidak boleh seperti ini!" Sarah yang panik buru-buru memeluk koper besar yang hendak diseret putranya keluar rumah. Wanita itu pura-pura menangis, tidak peduli di ambang pintu Nathan tengah menyeringai melihat tingkah calon mantan istrinya yang kekanakan sekaligus lebai.

"Kenapa aku yang harus pergi?" kata wanita itu frustrasi.

"Itu karena Sarah kalah suit dengan Papa," sahut Kai tanpa rasa bersalah. Bocah berambut ikal itu duduk di tepi ranjang, menjadi penonton setia drama keluarga yang telah berlangsung sejak tadi, saat Bian tiba-tiba mengambil peran sebagai hakim—pura-pura—dan memutuskan agar mereka melakukan simulasi perceraian.

"Bian, ibumu yang bodoh mungkin akan setuju dengan permainan ini, tetapi tidak denganku. Aku tidak punya waktu meladeni kalian." Begitulah, Nathan yang merasa paling waras di keluarga itu berpikir ide Bian sama kekanakannya dengan Sarah, padahal selama ini putra sulungnya selalu menunjukkan sikap dewasa dan bijaksana.

"Aku hanya ingin memisahkan kalian lebih awal," jawab Bian santai, sementara Sarah memelotot kesal. Bagaimana bisa putra yang lahir dari rahimnya sendiri justru menusuknya dari belakang?

Wanita itu kira, Bian memikirkan rencana simulasi perceraian karena ingin menunda perceraian yang sebenarnya, ternyata justru sebaliknya. Anak durhaka itu rupanya benar-benar mendukung penuh keputusan sang ayah.

"Kalau begitu, aku tidak mau!" seru Sarah sambil bersedekap dan membuang muka.

"Artinya kau setuju Papa mengurus perceraian sesungguhnya lebih cepat?" sahut Bian.

Pelan-pelan Sarah memutar tubuh, kembali menghadap putranya yang duduk di sofa seberang, bersebelahan dengan Nathan, sementara wanita itu bersampingan dengan si bungsu, Kaylan Kim.

"Jadi, anggap saja aku hakimnya." Bian memulai persidangan. Nathan hanya terus-terusan mendesah pasrah dan memutar kedua mata selama sidang abal-abal itu berlangsung.

"Saudara Sarah dan Nathan memutuskan untuk bercerai, dan pengadilan akan mengabulkannya."

"Apa? Aku belum membuat pembelaan!" protes Sarah. "Lagi pula, Hakim yang terhormat, kau tidak kasihan dengan anak-anakku? Si sulung mungkin akan mengerti, tetapi si bungsu, aku ...." Sarah mulai meneteskan air mata. Menangis bukanlah hal yang sulit dilakukan wanita itu sebab puluhan tahun lalu Sarah pernah aktif di panggung teater sebagai pengisi waktu luangnya. "Aku tidak tega kalau dia harus hidup dalam keluarga yang hancur, terpisah dan tidak bisa tinggal bersama kedua orang tuanya lagi. Apa kau tega?"

"Saudara Kai, apa Anda keberatan atas perceraian kedua orang tua Anda?" Kini Bian melempar pandangan pada adik kecilnya yang duduk rapi menyimak persidangan.

Bocah itu melirik Sarah sejenak, membuat senyum sang ibu mengembang karena berpikir akan mendapat dukungan. Namun, yang terjadi selanjutnya malah bocah itu menggeleng dengan mantap. "Tidak, Yang Mulia Hakim."

"Kai!" protes Sarah. "Kau tahu apa itu perceraian? Aku dan Nathan akan tinggal terpisah, kau juga hanya boleh ikut salah satu dari kami, bukan keduanya!"

"Tidak apa-apa, Sarah," kata Kai bijak. "Kalau Sarah dan Papa bercerai, aku akan ikut Sarah." Bocah itu memeluk ibunya dari samping, berharap dapat menghibur hati lara wanita itu karena tidak mendapat dukungan siapa pun.

"Kalau begitu, kalian telah sah bercerai," kata Bian. "Meski begitu, jika dalam waktu tiga bulan kedua belah pihak merasa masih saling mencintai atau ... melakukan hubungan seksual dengan atau tanpa rasa cinta, maka boleh langsung rujuk kembali—"

"Fabian Kim," tegur Nathan setelah mendengar syarat rujuknya. "Bagaimana bisa kau memikirkan itu, hubungan seksual? Astaga, Kau masih 17 tahun, sejauh mana otakmu terkontaminasi karena Sarah?"

Normal FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang