El;

180 25 12
                                    

Elena;

Keheningan yang ada di tempat peristirahatan terakhir Adira membuat tangisanku terdengar begitu jelas dan menyesakkan. Setelah mendoakan Adira, aku hanya bisa menatap kosong pusara di depanku seraya menangis. Aku masih belum menyangka salah satu sahabatku pergi meninggalkan dunia secepat ini. Banyak sekali kenangan yang tersimpan dan rahasia yang masih menjadi tanda tanya besar bagiku.

"Ikhlasin Adira, El. Dia udah bahagia di sana." ujar Deva setia menungguku dan sesekali mengusap air mataku yang jatuh. Perlakuan itu menguatkan dan membuatku sedikit tenang.

Aku mengangguk lemah. Aku akan mencoba mengikhlaskan. Mungkin ini memang takdir terbaik untuk Adira, sahabatku.

"Aku mau pulang, Dev." pintaku menyentuh bahu Deva. Laki-laki yang berjongkok di sampingku dengan setia itu lantas menoleh kemudian tersenyum mengiyakan.

Kulihat Deva berdiri, lalu beralih ke belakangku untuk memegang handle atau pendorong kursi roda yang aku duduki sekarang. Sebelum Deva mendorong kursi rodaku meninggalkan pusara Adira, aku tidak lupa mendoakan Adira lagi dan mengucapkan selamat tinggal serta berjanji akan selalu mendoakannya.

Tanpa percakapan apapun, Deva kemudian mendorong kursi rodaku meninggalkan pusara Adira. Kedua tanganku meremas celana bahan yang kupakai. Pandanganku lurus namun kosong. Pikiranku berkecamuk memikirkan semua hal yang telah terjadi. Kecelakaan yang merenggut nyawa Adira dan membuat diriku harus menggunakan alat bantu ini untuk beraktivitas. Semua ini belum sepenuhnya aku terima. Aku awalnya tidak percaya akan kematian Adira. Dan aku nyaris gila saat mengetahui kakiku tidak lagi bisa berjalan seperti sedia kala. Aku mengalami kelumpuhan sementara.

Walaupun kata Deva kelumpuhan itu hanya sementara dan bisa disembuhkan dalam beberapa waktu dengan terapi, aku tetap merasa terpukul. Aku tidak bisa membayangkan kesulitan-kesulitan apa yang akan aku hadapi saat aku hanya bisa duduk di atas kursi roda ini. Banyak ketakutan menghinggapi pikiranku belakangan ini. Dan ketakutan terbesarku adalah bagaimana jika Deva meninggalkanku.

Pikiranku berkelana sampai tidak sadar sudah berada di dekat mobil Deva yang terparkir sempurna di luar area pemakaman. Tanpa bicara, Deva membuka pintu mobil depan, kemudian membopongku masuk untuk duduk di sana. Setelah mendudukkanku, aku melihat Deva melipat kursi rodaku yang berada di luar lalu membuka pintu belakang dan menaruh alat bantu itu. Aku membuang muka saat Deva membuka pintu kemudi. Tidak mau jika Deva melihatku memperhatikannya.

"Mau mampir makan dulu?"

"Sayang." panggil Deva menyentuh tanganku saat tidak ada tanda-tanda aku akan menjawab.

"Eh? Apa?" tanyaku sontak menoleh seolah tidak mendengar pertanyaan Deva tadi. Sebenarnya aku mendengar, namun aku enggan menjawab. Entah setiap kali aku berbicara dengannya atau mendapatkan perlakuan lembut darinya, aku merasa kosong dan tidak pantas. Jadi, aku memilih diam. Aku menyadari bahwa setelah kecelakaan dan mengetahui kelumpuhan ini, aku menjadi pendiam. Aku lebih suka menyendiri. Walaupun, kesendirian itu membuatku semakin menyedihkan.

"Mau mampir cari makan dulu nggak?" ulangnya.

Aku menggeleng. "Enggak deh. Aku makan di rumah aja."

Kalau dahulu aku selalu senang jika makan di luar bersama Deva, sekarang hal itu menjadi sesuatu yang aku hindari. Aku tidak mau membuat Deva malu karena harus membawaku ke tempat publik seperti itu. Seorang pengusaha muda yang tampan mendorong kursi roda wanita cacat yang hanya bisa duduk di kursi roda dan ternyata wanita itu adalah tunangan dari pria tersebut. Huh. Elena tidak bisa membayangkan cibiran-cibiran itu masuk ke telinga Deva dan membuat pria itu menanggung malu.

Deva tersenyum tipis kemudian berbalik, menatap jalanan di depannya kemudian menstater mobilnya.

Aku tahu jelas senyuman itu adalah kekecewaan. Entah sudah berapa kali Deva berusaha mengajakku untuk melihat dunia luar karena sepulang dari rumah sakit, aku hanya mengurung diri di rumah. Aku keluar rumah hanya untuk ke rumah sakit untuk terapi. Hanya sebatas itu. Ini kali pertama aku keluar rumah bukan ke rumah sakit. Itupun ke pemakaman karena sudah pasti tidak banyak orang yang berada di sini.

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang