Yozita Helenania Nivriti

928 89 25
                                    

Elena

Kelulusan adalah hal sangat yang membahagiakan bagi siapapun. Setelah menempuh bangku perkuliahan selama 4 tahun, sekarang akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. Berjuang menyelesaikan skripsi kurang lebih 3 bulan agar bisa mengikuti wisuda di tahun ini. Segala jerih payahku untuk menyelesaikan skripsi bisa dibilang cukup keras. Kini tidak ada lagi frustasi untuk menyusun skripsi. Menyelesaikan tugas mata kuliah hingga pagi hari karena deadline yang tidak manusiawi. Juga tidak ada lagi pulang larut malam karena rapat organisasi.

Semuanya telah berakhir? Tentu tidak. Lebih tepat jika dikatakan semuanya baru akan dimulai.

Seminggu yang lalu adalah hari wisudaku. Untuk merayakannya, aku dan sahabat-sahabatku mengadakan pesta kecil di sebuah villa. Kami menginap. Sudah hari ketiga ini kami berada di villa. Mungkin untuk kali terakhirnya menginap bersama karena kami sudah mempunyai rencana masa depan masing-masing. Memang seperti itu akhirnya, kata orang jaman sekarang begini...

Disatukan oleh pendidikan dan dipisahkan oleh masa depan.

Malam ini, aku dan keempat sahabatku berkumpul di gazebo villa sambil berbincang santai dan barbeque-an. Aku tertawa kecil saat salah satu temanku bercerita tentang perkataannya saat masa-masa skripsi yang kini malah benar-benar akan terjadi. Orang itu adalah Jiara yang duduk di ayunan dengan kaki bersila di sebelahku.

"Gue kan cuma nyeletuk kesel aja. Eh malah kejadian." kata Jiara kesal. Padahal sebenarnya dia juga bahagia.

"Berarti waktu lo ngomong gitu, malaikat denger. Terus diaminin." sahut temanku yang lain. Dia adalah Karin yang kini sedang memanggang daging. Tangan kirinya berkacak pinggang, tangan kanan mengacungkan capitan ke arah Jiara yang berada di sebelahku.

"Bener tuh! Makanya kalo ngomong ati-ati." timpal Naya yang juga tengah sibuk memanggang daging.

"Tenang aja, Ji. Jover kan tajir. Makmur deh nanti hidup lo." ujarku akhirnya ikut membuka suara.

"Huhu, iya dong. Jelas. Gue bakal jadi Nyonya Adyasa. Sungkem-sungkem lo pada sama gue abis ini." balas Jiara sombong.

"Cih. Sombong amat." cibir Karin.

Jadi begini ceritanya, saat membuat skripsi Jiara sempat frustasi. Saking frustasinya, dia berceletuk asal "Capek banget. Mau nikah aja." kata Jiara saat itu.

Tanpa diduga-duga, tepat setelah wisuda kemarin Jiara dilamar oleh pacarnya. Lebih mengejutkan lagi Jovero Adyasa—Pacar Jiara mengajak Jiara menikah bulan depan. Jiara sangat terkejut. Aku dan sahabat-sahabat yang lain juga tidak kalah terkejutnya.

Awalnya Jiara merasa tidak yakin untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius secepat ini karena memang Vero sangat tiba-tiba sekali. Keduanya sudah menjalin hubungan lebih dari 3 tahun, mungkin itu yang membuat Jiara akhirnya yakin dan menerima lamaran Vero. Dia tidak menyangka akan menikah diusia yang masih dibilang muda ini.

"Lo kapan nih, Len?"

"Apanya?" tanyaku bingung pada Karin yang masih memanggang daging.

"Nusul Jia." balasnya.

Posisinya sekarang adalah aku dan Jiara duduk di ayunan kayu yang cukup luas. Di depan ayunan, terdapat meja yang digunakan untuk memanggang daging. Ada 2 bangku panjang di sisi meja. Naya duduk sendiri. Di hadapannya, Karin bersebelahan dengan Adira yang dari tadi hanya diam.

"Nikah maksudnya? Ya nantilah masih lama. Gue juga belum kepikiran."

"Cincin tunangan aja udah setahun di jari lo." ucap Jiara membuatku terdiam. Lalu melirik cincin yang melingkar di jari manisku. Benar sudah satu tahun.

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang