El;

145 13 3
                                    

Elena;

Deva mendorong kursi rodaku pelan memasuki kediamanku. Disebelahnya ada Cio yang tadi sudah kuberi izin untuk menginap di rumah. Kedatangan kami cukup menjadi pusat perhatian seisi rumah. Aku sudah menebak jika sedang ada tamu karena melihat mobil yang tidak kukenal terparkir di depan garasi. Rupanya tamu itu adalah keluarga adik dari Papaku. Aku menyapa mereka singkat kemudian menyuruh Deva mendorong kursi rodaku kembali menuju kamar tidur.

"Kamu beneran nggak papa kalau Cio nginep di sini?" tanya Deva setelah kami berada di kamar tidurku.

Aku mengangguk mantap.

"Dia bakal ngrepotin kamu, sayang. Kondisi kamu juga masih kaya gini." ucap Deva masih berusaha mencegah aku mengizinkan adiknya menginap.

Aku sendiri juga sebenarnya sedikit ragu bisa mengatasi Cio dengan kondisiku yang seperti ini. Tapi aku percaya Cio adalah anak yang penurut. Melihat tatapan anak itu yang memohon untuk menginap di rumah membuatku tidak tega untuk menolaknya. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya adik Deva menginap di rumahku. Sebelum aku mengalami kecelakaan, Cio sudah sering sekali aku ajak menginap di rumah. Aku sangat tahu jika dia begitu kesepian di rumah. Melihat betapa sibuk ayahnya yang kerap kali ke luar kota untuk mengurus pekerjaan. Juga Deva yang kini sudah dipercaya untuk mengurus salah satu perusahaan milik ayahnya.

"Cio nurut kok anaknya. Ya kan Cio?" ujarku bertanya pada Cio yang kini sedang berkeliling melihat setiap sisi kamarku yang mungkin cukup asing baginya.

"Aku nggak akan buat Kael marah kok. Kepa tenang aja." Lihat bahkan ucapannya sudah seperti orang dewasa. Itu pasti karena ajaran dari Deva.

"Kok sekarang kamar Kael di sini?" tanyanya penasaran.

"Biar Kael nggak capek. Kan kaki Kael lagi sakit." sahutku.

Anak itu manggut-manggut paham.

"Tuh dengerin. Kamu nggak kasian sama Kael? Nanti kalo kamu tidur di sini yang ada bikin Kael makin capek." ujar Deva menasihati.

Aku menggeleng. Mencegah Deva mengeluarkan suara lagi. Aku tidak ingin Cio kecewa.

Cio menoleh ke arahku. Dia nampak berpikir kemudian melihat kakiku cukup lama. Entah apa yang dia pikirkan.

"Yaudah." Hanya itu yang Cio katakan setelah menatapku.

"Yaudah apa?" tanya Deva.

"Aku nggak jadi tidur di rumah Kael." lanjutnya dengan nada sedih.

"Nah git—"

"TAPI!"

Aku dan Deva sontak terkejut dengan suara Cio yang tiba tiba meninggi.

"Jangan teriak-teriak Cil!" tegur Deva.

"Tapi pokoknya setelah Kael sembuh, aku mau tidur di sini! Satu minggu! Boleh ya Kael?" Cio mendekatiku kemudian menyatukan tangannya memohon.

Lucu sekali. Aku terkekeh pelan.

"Iya. Boleh."

"Asiiik!"

"Nggak boleh satu minggu juga dong." timpal Deva. "Nanti Kepa di rumah sama siapa kalau kamu tidur di sini?"

"Ya Kepa tidur di sini juga kalo gitu. Kita tidur bertiga!" saran Cio polos.

Aku melotot tidak menyangka Cio akan menjawab begitu.

"Kepa sih mau kalau Kael bolehin." jawab Deva enteng.

Sontak jariku terulur untuk mencubit perut Deva dengan cepat.

Deva hanya mengaduh sambil tertawa. Menyebalkan.

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang