AWAL

8.7K 119 1
                                    

Aku pulang hampir maghrib hari ini setelah dari pagi ikan yang kupancing tak nampak juga. Tadi nya ada satu yang menyangkut di kail pancingan bambu ku ini. Tapi entah karena ember yang terlalu kecil atau ikan yang terlalu besar, ikan itu lompat dengan sendiri nya. Rasanya ingin ku bom saja sungai ini.

Aku Bayu, 18 tahun. Baru saja lulus SMA. Dan itu menjadi jenjang pendidikan terakhir ku. Sejak kecil aku tinggal dengan Pakde dan Budhe ku karena Ibu ku merantau ke negeri seberang, sedangkan Ayah ku ke pulau lain. Kata Pakde, Mereka bekerja untuk bisa membantu membiayai kebutuhan ku dan 2 adikku. Tapi alasan seperti itu sudah gak mempan lagi untuk mengelabui ku. Terang saja, Ibu dan Ayah sejak umur ku 5 tahun sudah tak pernah ke kampung kami lagi. Pernah sekali, itu juga hanya 3 hari dan kedua nya tidak datang bersamaan. Sedangkan adik-adikku? Mereka di sekolah dengan asrama berbekal dari dana Pakde dan sedikit bantuan dari pihak sekolah nya.

Pakde ku memiliki anak yang sudah menikah semua. Mereka tinggal dikota. Sedangkan kami, tepatnya Aku, Pakde dan Budhe tinggal di Desa ini. Kami bukan rakyat yang terlalu miskin sampai tidak memiliki apapun. Lebih bisa dikatakan sederhana.

Pakde merupakan pensiunan pelaut yang sekarang mengurusi sawah sedangkan Budhe ku pemilik warung pecal yang cukup terkenal dikampung ini.

Aku yang merupakan anak paling besar dan tinggal bersama mereka sekarang, mau tidak mau harus membantu kesehariannya. Terutama semenjak setelah kelulusan ku di SMA. Aku sering sekali mencari ikan di sungai dengan teman-teman ku, Beni, Jaka dan Toni. Hampir setiap hari kami memancing di dekat bendungan desa ini, lalu hasil nya kami jual ke Pak Samsul, pemilik warung kecil di dekat rumah ku. Atau jika terlalu banyak, ku bawa sisa nya ke rumah. Tidak jarang juga pekerjaan ku membantu Pakde di sawah.

Pakde dan Budhe sudah menganggapku seperti anaknya. Mungkin karena anak-anak nya sudah pada dewasa dan tidak tinggal bersama lagi, jadi orang yang menjadi paling dekat dengan mereka adalah Aku.

Badan ku cukup proporsional dibanding dengan teman teman ku. Dengan kulit coklat, tinggi 170cm berat 73kg dan otot alami yang dihasilkan dari hobi ku yang berenang di sungai sejak kecil hingga bermain olahraga lainnya dengan teman ku membuat postur tubuh ku sering menjadi bahan pujian tetangga. Mereka sering menyarankanku untuk ikut test akademi militer. Tapi bagiku saran saja tidak cukup. Duit jauh lebih penting perannya disini. Dulu sebelum ujian akhir ku dilaksanakan, Pakde dan Budhe pernah menanyakan mau menjadi apa aku kedepannya. Aku tidak berani berandai-andai. Yang pasti aku menjawab akan mencari kerja. 

Pakde dan Budhe gak pernah terlalu memaksakan harus menjadi apa aku. Mereka sekarang sudah seperti orang tua ku. Tetapi cara mendidik mereka sepertinya jauh lebih baik dari orang tua lainnya. Mereka tidak pernah melarang apa yang akan kulakukan nanti setelah aku tamat.

Sejak SMA juga aku beberapa kali ditaksir oleh wanita dari kelas lain. Tapi aku yang lebih tertarik bermain dengan teman-teman ku membuat ku tidak menggubris cewe-cewe genit ini. Dipikiran ku, yang namanya pacaran ngabisin duit, waktu dan tenaga saja.

Rumah kami terbilang cukup sederhana tapi tidak buruk. Pakde dulu membangunnya bersama teman-teman nya yang cakap dalam pekerjaan konstruksi dasar. Hasilnya, rumah dengan dinding kayu yang sudah diawetkan, dengan 3 kamar, dan area warung di depan.

...


.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

Pagi ini aku mau mandi, tapi ternyata dikamar mandi sudah duluan Pakde yang pakai. Karena malas kembali kekamar, kutunggu di dekat pintu kamar mandi.

"Ssshhh...aauhh sshh" terdengar suara desahan seperti orang kesakitan disana.

Aku panik. Apa dia kenapa kenapa.

Ku intip dari sela sela pintu.

Ternyata Pakde tidak sedang kesakitan.

...

Buku 4 -  PAKDE KU JAGOAN RANJANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang