Cerita ini di revisi dengan konflik yang sedikit berbeda tapi dengan alur yang sama sepeti sebelumnya.
Semoga suka ><
•••
Terlihat dua bocah berusia tujuh tahun berlarian ke sana kemari di tengah derasnya hujan. Walau orang yang lebih tua dari mereka sudah melarangnya, yang namanya anak kecil pasti keras kepala.
"AYO SINI NALA HUJANNYA SEMAKIN DERES, AJAK KALA JUGA." Teriak wanita yang merupakan ibu dari bocah yang bernama Kanala atau bisa di panggil Nala itu.
Bocah itu menggeleng sembari memanyunkan bibirnya seperti sedang mengejek sang ibu. "Kalo ujannya deres makin seru, Bu."
Dengan semangat, Nala menarik lengan Skala untuk berlarian mengitari halaman menikmati guyuran air yang yang belum mereda itu. Tak jauh dari jangkauan kedua bocah itu, terdapat satu ember yang terisi penuh oleh air hujan. Dengan segera Skala berlari mendekati ember itu, niatnya akan mengambil dan menyiramkan air di dalamnya pada Nala, tapi tenaganya tidak cukup kuat hanya untuk mengangkat nya saja. Skala memiliki ide lain untuk mengerjai bocah itu dengan mengambil sebuah botol plastik dari tempat sampah dan mengisinya penuh dengan air. Jika di pikir-pikir, untuk apa Skala melakukan semua itu? Keduanya sudah sangat basah terguyur air hujan. Entah apa yang ada di pikiran bocah berumur tujuh tahun itu.
Botol yang terisi penuh dengan air sudah siap Skala siramkan pada Nala. Tapi keberuntungan sedang tidak memihak padanya, dia tersandung batu dengan ukuran lumayan besar hingga membuatnya terjatuh. Bocah itu menangis dengan sangat kencang, selain terkejut, lutut kanannya mengeluarkan darah dan terluka.
"Kala." Nala segera berlari mendekati bocah yang terluka itu untuk menolongnya. Namanya juga anak kecil, pasti tidak tahu pertolongan apa yang harus mereka berikan.
"Ibuuuu, Kalaa jatuhh," teriaknya dengan lucu. Suaranya tak terdengar karena suara derasnya hujan.
Nala berjongkok di hadapan Skala yang tengah menangis sembari memegangi kakinya. Dia melihat lutut dan wajah Skala bergantian, dia sangat khawatir.
"Kala, sakit?" Tanyanya polos kemudian dengan air mata yang tersamarkan air hujan, Skala mengangguk menanggapinya. Dia melihat darahnya terus keluar tak mau berhenti karena air hujan mengguyurnya. Itu pasti sangat sakit sekali, pikirnya.
"Ibu kemana? Nala harus gimana? Kalo Nala punya kekuatan pasti lukanya sembuh."
"Jangan nangis, Kalaa, Nala juga mau nangis." Dia mengusap entah air mata atau air hujan di wajah Skala, kemudian memeluknya dengan erat berharap rasa sakitnya hilang.
"Sakit, Nala, sakit." Skala membalas pelukannya seraya meremat lengan Nala untuk menyalurkan rasa sakitnya.
•••
Di tempat yang sama dengan cuaca yang sama, dua bocah yang sekarang sudah menjelma menjadi remaja itu tertawa ketika mengingat kejadian 11 tahun silam itu. Rasanya baru kemarin itu terjadi, bahkan lukanya meninggalkan bekas di lutut Skala. Walau usia mereka sudah menginjak 18 tahun, tapi ketika sedang musim hujan, mereka akan kembali seperti bocah berusia 7 tahun.
Nala memegang pergelangan tangan Skala dengan erat saat dia tengah berputar-putar menikmati air hujan yang turun membasahi seluruh tubuhnya. "Kenapa?" Tanya Skala.
"Gue gak mau lo jatuh lagi kayak dulu, makannya gue pegang tangan lo erat-erat kayak gini."
Skala tertawa mendengarnya. " Kala gede bakalan hati-hati kok."
•••
Skala berdiam diri seraya menatap bingkai foto yang terpajang di ruang tamu. Handuk masih bertengger di bahunya, secangkir susu pun masih terasa hangat di tangannya. Dia menatap lekat-lekat dua wanita yang saring merangkul dengan tawa lepas di bingkai foto tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH | FK
Fanfiction"Gak semua rumah itu berbentuk bangunan. Skala bukan bangunan, tapi dia rumah gue." "Endingnya kaya gimana, lihat aja nanti hati gue bakal berlabuh sama siapa ujungnya." Selamat membaca ^^