•••
Benar kata orang, berjalan kaki lebih nyaman dan terkesan romantis, resikonya ya terkena paparan sinar matahari langsung. Setelah pergi membeli beberapa buku yang sebelumnya Malva cari, dia mengajak Skala untuk jalan-jalan sebentar dengannya. Kendaraannya pun dia titipkan kepada satpam yang menjaga toko buku, dia juga memberi uang sebagai jasa penitipannya.
Teriknya sinar matahari menyentuh langsung pipi Malva dan langsung memerah. Kulitnya yang putih sangat sensitif terhadap sinar matahari, di tambah dia lupa menggunakan tabir surya.
"Panas banget gila," Malva menyipitkan matanya merasakan kepalanya yang sedikit pusing karena terlalu lama diam di bawah sinar matahari.
Skala menoleh kearahnya dan langsung melihat wajah orang yang di sampingnya itu, "merah banget muka lo, Va." Jujur saja Skala juga merasakan hal yang sama, tapi dia sudah terbiasa dengan ini, dia selalu bepergian bersama Nala dengan motor. Hari ini cuacanya sangat terik, panasnya seperti matahari sangat dekat dengan mereka.
Malva mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Skala yang sangat peka langsung mengajaknya meneduh di halte yang tak jauh dari mereka. Sementara Malva duduk dan menenangkan dirinya, Skala pergi entah kemana.
Ini pertama kalinya Malva keluar dengan jalan kaki di bawah teriknya matahari. Selama ini dia selalu menggunakan kendaraan kemanapun, hanya hari ini dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berdua dengan Skala. Dia sudah menyimpulkan jika dirinya tertarik pada Skala.
Tak lama Skala datang membawa dua botol minuman satu paper bag di tangannya. Itu langsung menarik perhatian Malva. "Buat Nala?"
Skala menggeleng dan langsung memberikan satu botol minuman dan paper bag itu pada Malva, "nih."
Awalnya dia ragu, tapi dia langsung menerimanya dan segera membuka isi dari paper bag itu. "Topi?" Ya itu sebuah topi berwarna hitam dengan sedikit polet putih serta gambar tiga bunga matahari kecil di samping topinya.
"Cuman sisa satu lagi, gapapa kan ada bunga matahari nya?" Tanya Skala.
Malva melihat tiga bunga matahari yang ada di topinya itu. "Bagus, buat gue?"
Skala mengangguk lagi. "Jarak dari sini ke toko buku juga jauh, kalo jalan pasti lo kena matahari lagi dan kita gak tau gimana kalo tiba-tiba lo pingsan nanti."
"Ya kalo gue pingsan ntar tinggalin aja," kata Malva di sertai kekehan kecil di akhir kalimatnya.
"Udah baikan belum? Kita pulang aja gimana?"
Malva mengangguk. "Udah, Skal, makasih ya topinya," dia mengenakan topi pemberian Skala itu. Topi ini akan berkesan karena barang pertama pemberian Skala.
Di perjalanan dengan sengaja Skala merangkul pundak Malva. Senang, tapi Malva takut orang-orang yang melihat mereka salah paham tentang itu. Skala hanya tertawa melihat Malva seperti itu, dan benar apa yang Gio katakan, dia tidak bisa mempermainkan perasaan Malva.
Malva menghentikan langkahnya, dan di sambut tatapan heran dari Skala. Dia menunjuk ke arah pria tua mengenakan topi usang yang tengah duduk di bawah pohon rindang sembari mengipasi wajahnya dengan topi. Terdapat boneka yang berceceran di depannya dengan alas spanduk yang sudah tidak terpakai.
"Kasian, Skal. Dari tadi orang lalu lalang di depan dia, tapi gak ada yang berhenti buat beli dagangannya."
Skala memperhatikan pria tua itu. Benar apa yang Malva katakan, keadaannya sangat memprihatinkan. Barang jualannya pun masih banyak seperti tidak ada yang membeli. "Lo mau beli?"
Malva mengangguk.
"Tapi lo cowo," kata skala melihat barang yang akan dia beli adalah sebuah boneka. Ya, boneka identik dengan anak perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH | FK
Fanfiction"Gak semua rumah itu berbentuk bangunan. Skala bukan bangunan, tapi dia rumah gue." "Endingnya kaya gimana, lihat aja nanti hati gue bakal berlabuh sama siapa ujungnya." Selamat membaca ^^