RUMAH - 06

420 60 10
                                    

•••

"Timbang lo benerin tali sepatunya murid baru itu bisa trending topik," bisik Nala pada Skala. Mendengarkan guru yang sedang berbicara sangat membosankan, lebih baik mengganggu Skala.

"Kenapa, cemburu?" Tanya Skala tanpa memandangnya dan fokus pada buku catatannya.

"Gue?" Nala menunjuk dirinya sendiri. "Ngapain cemburu sama lo? Kecuali kalo lo itu gebetan gue."

"Yaudah jadiin gue gebetan lo biar di cemburuin tiap hari," Skala tidak sedang membuat lelucon.

Tangan Nala spontan menoyor kepala Skala hingga tubuhnya sedikit bergeser, "biar otak lo balik ke tempat semula."

"Nalanjing! Sakit tolol!" Umpatnya dan hanya di tanggapi tawaan oleh Nala.

•••

Walaupun sudah memiliki teman seperti Skala, Malva tetap canggung untuk bergabung dengannya apalagi dengan yang lain mengingat dia masih sangat baru di kelas itu.

Malva duduk sendirian, dia menjadikan kursi satunya lagi untuk topangan sehingga dia bisa meluruskan kakinya. Tubuhnya dia sandarkan di dinding dengan earphone yang terpasang di telinga kirinya. Biarlah yang lain, lebih baik sendiri.

Baru saja dia akan memejamkan matanya, seseorang sudah menurunkan kakinya dari kursi dan menjadikan kursi itu tempat duduknya.

"Kantin," ajaknya. Iya itu Skala.

Malva melirik jam yang terletak di atas papan tulis, masih ada waktu 20 menit lagi. Tapi selera makannya tidak ada sekarang. "Lo aja deh, gak laper."

Belum sempat Skala mengajukan pertanyaan lain, Gio sudah memanggilnya. "Skal, kantin buruan."

Skala menatap Malva sejenak, "gak mau, Va?"

Malva menggeleng. "Iya."

"Oke," Skala beranjak dari sana dan berlari menghampiri Gio.

•••

Mereka berempat, maksudnya Skala, Malva, Gio, dan Mark berjejer mengantri untuk memesan makanan.

"Skal, pulangnya-" belum Nala menyelesaikan kalimatnya, sudah di potong begitu saja oleh Skala.

"Pulangnya gue sendiri lagi? lo mau anterin gebetan lo itu?" Skala seperti tau kalimat apa yang akan di ucapkan oleh Nala.

"Atau gini deh. Gue anterin dia dulu, nah lo tunggu di sini nanti gue jemput," Nala mencoba membuat kesepakatan agar Skala tak marah besar padanya.

"Gak usah, gue bisa pulang sendiri," ada sedikit rasa kecewa karena prioritas utama Nala bukan lagi dirinya. Tapi jika memang bahagia Nala seperti itu apa boleh buat.

"Lo tuh pengertian banget tau gak sih. Gak nyesel gue punya adek kayak lo."

Skala menanggapinya hanya dengan senyuman saja, dia sudah muak mendengar kata 'adik' keluar dari mulut Nala.

"Bro, makan di sini aja lah banyak cewe-cewe mayan. Kalo gue gak jadi sama Vio kan masih ada cadangannya, "ajak Nala sembari memperhatikan satu persatu gadis yang tengah duduk menikmati makanan mereka di sana.

Sebelum mengiyakan ajakannya, Mark dan Gio melirik Skala sebentar. Mereka itu kompak jika tentang hal seperti ini, meskipun tak ada satupun gadis yang mau kepada Nala, tapi tetap saja mereka menghargai perasaan Skala.

"Gue makan di kelas aja," kata Skala yang sudah Mark dan Gio duga itu akan terjadi. "Bu, pesanan saya dibuat jadi dua." Satu lagi mungkin untuk Malva.

"Sebentar," sahut ibu kantin tersebut.

RUMAH | FKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang