RUMAH - 11

375 50 8
                                    

•••

Bau mie instan bisa tercium sampai ruang tamu. Skala yang baru saja pulang setelah Malva mengantarnya langsung mengikuti arah bau mie instan itu. Sudah bisa di tebak jika itu Nala.

Skala tersenyum melihat Nala yang tengah menatap kosong dinding dengan mie di kunyahan-nya. Melihat Nala, Skala selalu mengurungkan niatnya untuk membuang jauh jauh perasaannya. Skala duduk di kursi sebelahnya dan mengambil mangkuk mie nya begitu saja. Tapi berkatnya, Nala kini kembali dari halusinasinya dan memarahi Skala. Entah apa yang dia pikirkan.

"Anjing lo! Balikin gak!" Umpat Nala sembari mencoba mengambil mangkuk mie miliknya dari tangan Skala. Tak peduli, Skala tetap menahan mangkuk mie itu sembari menjulurkan lidahnya mengejek Nala.

"Skala!"

"Apa Nala ku sayang," ucapnya keluar begitu saja.

"Najis sayang sayang!"Nala memasang wajah kesalnya dan akhirnya menyerahkan mie miliknya kepada Skala. Dia pernah ingat jika miliknya adalah milik Skala juga.

"Buat gue nih?"

"Ambil aja, punya gue punya lo juga kan?"

Seperti kejadian beberapa tahun yang lalu saat mereka masih berusia 11 tahun. Nala dan Skala tengah duduk di teras rumah seraya mengerjakan tugas matematika dengan batu sebagai alat hitung pengganti kalkulator nya. Tiba-tiba, dari arah jalanan terdengar suara tukang eskrim dengan bunyi khasnya. Mendengarnya, Skala berlari menghentikan tukang eskrim itu sementara Nala pergi kedalam rumah untuk mengambil uangnya.

Dua eskrim dengan rasa berbeda pun sudah ada ditangan mereka. Eskrim Nala memiliki varian cokelat, sementara eskrim Skala memiliki rasa vanilla. Mereka menyantapnya sembari berjalan menuju tempat semula. Mungkin Skala memang hobi sekali terjatuh di usia muda. Dia tak sengaja tersandung, yang anehnya adalah tidak ada benda apapun yang membuatnya tersandung sampai-sampai, es yang masih sisa banyak itu terbuang sia sia ke tanah. Ingin membeli yang baru, penjualnya sudah pergi. Skala tertunduk sembari meratapi es nya.

"Nih, ambil punya Nala."

Skala menoleh pada orang yang berdiri tepat di samping nya, "itu punya Nala."

"Kala mau es kan?" Tanya Nala seraya menyodorkan es nya agar Skala mengambilnya.

Skala menggeleng, "engga."

"Kala gak suka cokelat?"

"Suka. Tapi itu kan punya Nala."

Nala tersenyum dan membawa tangan Skala untuk menerima es miliknya, sambil berkata. "Punya Nala punya Skala juga apapun itu."

"Berdua gimana ? Soalnya Nala udah kasih ini ke Kala, soalnya punya Kala punya Nala juga."

Nala terkekeh sembari mengangguk. Tatapan Skala terlalu lucu baginya jika dia kekeh dengan pendiriannya. Jika sedang tersenyum, matanya berbentuk bulan sabit. 

•••

Nala baru saja kembali  dari dapur, dia kemudian masuk ke kamar melihat Skala yang sibuk dengan ponselnya. Boneka kelinci berwarna putih yang ada di meja itu menarik perhatiannya.

"Boneka siapa?" Tanya Nala kemudian mengambil boneka tersebut dan melihatnya secara detail, terlihat lusuh dan seperti bekas tapi masih ada label harganya.

"Punya gue," jawab Skala.

Setau Nala, Skala tidak suka yang namanya boneka. Dia pernah bilang jika itu mainan anak perempuan, itu sebabnya Nala heran sekaligus tidak percaya itu boneka miliknya. Apalagi berbentuk kelinci menggemaskan seperti ini. "Dari Malva?"

"Engga lah gue beli sendiri," jawabnya lagi tapi pandangannya masih tak dapat di alihkan dari layar ponselnya.

Kembali Nala memperhatikan secara detail boneka tersebut, memastikan apakah benar adiknya kini menyukai boneka. "Lo skala yang asli kan?"

"Jelas lah. Apa gue harus tempelin cap badak di jidat gue biar lo bisa tau mana yang asli mana yang palsu."

Nala menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Heran aja sih."

"Ceritanya panjang. Gue juga mau buang bonekanya, buat apa gue nyimpen boneka."

"Di buang? Sayang banget. Buat gue aja boleh kan?" Bukannya sangat sayang sekali boneka selucu ini Skala buang. Dia tidak suka boneka, tapi jika boneka ini sangat di sayangkan kalau di buang. Itu sama saja tidak menghargai penjual atau yang membuat boneka ini, dan sama saja seperti membuang-buang uang.

"Lo?" Tanya Skala tak percaya sembari menunjuk boneka kelinci itu, "tapi ambil aja si."

Nala kembali meletakkan boneka itu di tempat asalnya tanpa ada niat mengetahui asal usul boneka itu. Kemudian, dia berjalan dan naik ke tempat tidur. "Gue grogi mau nembak Vio, Skal."

Skala menghentikan kegiatannya dengan pandangan yang setia pada layar ponsel. Bisa bisanya dia selalu membahas Bela di depan Skala. "Bisa gak, sekali aja jangan bahasa Vio mulu?!"

Wajahnya berubah menjadi serius. Nala mengerutkan keningnya heran, "gue kan cuman mau cerita doang."

Dia menghela napasnya dan berusaha untuk tersenyum."Maaf, maaf."

"Aneh."

"Emang dia lagi naksir orang lain?"

Nala menggeleng, "engga, cuman gue gak berani aja ngungkapinnya."

"Lemah banget jadi cowo, nembak orang yang lo suka aja gak berani," ejeknya tanpa bercermin dia juga seorang pengecut yang menyembunyikan perasaannya selama itu.

Tatapan menakutkan dari Nala dia berikan pada Skala. Dia tak terima jika dirinya di bilang lemah. "Ya lo gak ngerasain gimana rasanya suka sama orang, jadi lo bisa ngomong gitu!"

"Kata siapa? Gue bakal ngomong gue suka dia kalo dia gak lagi naksir orang lain."

"Hah? Lo suka sama siapa?"

Skala dengan cepat menggeleng, "lupain."

"Ih Skala! Siapa?"

"Nanti juga tau sendiri."

Rasa penasarannya tak akan berhenti di situ saja, aneh rasanya ketika Skala mengatakan hal seperti ini. Nala sepertinya akan menjadi detektif sementara. "Oh iya, besok lo dateng ke acara ultahnya Gio?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Liat besok aja. Lo sendiri?"

"Kayaknya Dateng deh, lo juga ya? Harus pokoknya!"

"Liat besok aja."
•••

Malva tersenyum sembari menatap boneka yang di berikan Skala padanya. Selain itu, topi pemberian Skala pun masih setia melekat di kepalanya. Pikirannya terus di hantui bayang-bayang Skala yang sedang mengajaknya bicara.

"Gue mau mastiin apa gue suka sama lo beneran apa sekedar nyaman doang," monolog nya.

Wajahnya kembali murung setelah menyadari rumahnya yang sepi tak ada kehidupan lain selain dirinya. Sunyi, walaupun di sana terang, terasa gelap. Dia merindukan masa masa hangat dengan keluarganya, berkumpul bersama, tertawa bersama, itu terjadi sudah sangat lama sekali.

Sebenarnya orangtuanya mempekerjakan suster untuk merawat dan menemani Malva, tapi Malva menyuruh suster itu berhenti. Dia sudah dewasa dan mampu untuk menjaga dirinya sendiri, suster itu orang lain baginya.

Itu sebabnya saat Skala perhatian padanya, dia merasa aman dan nyaman. "Tapi gue gila kalo gue suka Skala."

Kembali boneka beruang itu Malva pandangi. "Tapi lo baik, Skal, gue nyaman ketika ada di deket lo."

•••
To be continued

RUMAH | FKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang