RUMAH - 22

318 39 14
                                    

•••

Mungkin pagi ini Skala sudah tidak mengunci pintu kamarnya, semalam Nala mencoba membuka pintu kamar itu tapi Skala menguncinya dari dalam. Nala mencoba kembali mengetuk pintu kamarnya, takut-takut dia masih tidur dan terlambat untuk pergi ke sekolah.

"Kal, gue siapin sarapan dulu ya? Baju seragam lo udah gue siapin di kamar gue."

Nala terus mengetuk pintu itu karena tidak ada jawaban apapun dari Skala. "Ini udah siang, Kal, lo belum bangun?"

Rasa khawatirnya muncul, dia mulai berpikiran yang tidak-tidak, "Lo boleh marah sama gue, eh jangan, tapi minimal lo jawab gue."

"Hmm, makasih, lo sarapan duluan aja," akhirnya Skala bersuara. Walaupun terdengar lesu, Nala bisa menghela napasnya lega mendengar Skala bersuara.

"Gue tunggu di meja makan."

"Hmm."

•••

Sudah hampir setengah jam, tapi Skala tidak juga bergabung sarapan dengan Nala. Waktu semakin siang, Mark juga berkali-kali menghubungi Nala untuk segera datang ke kelas dan menyiapkan bahan presentasi yang akan kelompok mereka tampilkan.

Karena Khawatir, Nala kembali ke kamarnya, siapa tahu Skala sedang menggunakan seragamnya.

Tidak. Skala tidak ada di sana dan seragamnya masih ada di sana. "Skala, kenapa sih."

Nala akan mencoba kembali membujuk Skala. Belum sempat ke kamarnya, dia melihat Skala keluar dari ruangan itu dengan mata yang sembab dan wajah yang pucat. Nala segera menghampiri dan memeriksa kondisinya.

"Lo sakit?" Tanya Nala khawatir. Suhu tubuhnya normal ketika di cek, tapi keadaan tubuhnya tidak baik-baik saja.

"Gue mau bolos hari ini, males banget harus presentasi," bohongnya.

"Gak usah kayak anak kecil deh, Skal, kita udah gede," Nala sedikit membentaknya. Apa dia lupa perasaan Skala sedikit sensitif belakangan ini.

Skala tersenyum. "Karena kita udah gede makannya gue gak bisa bohong sama perasaan gue sendiri."

Benar, masalah ini terjadi karena Skala jujur tentang perasaannya dan Nala tidak bisa percaya Skala yang selama ini dia anggap sebagai adik kesayangannya malah memiliki perasaan lebih kepadanya. "Skala gue-" perkataan tiba-tiba berhenti saat lagi-lagi ponselnya berbunyi.

"Daripada lo urusin gue, mending lo urusin dulu cewe lo," kata Skala ketus.

"Ini Mark, dan gue gak punya cewe!" Nala mematikan ponselnya supaya Mark tidak terus-menerus menghubunginya. "Gue mau lo gak kaya gini, Kal, siapapun asal jangan gue."

"Jujur lo risih sama gue yang sekarang?"

"Gue cuman gak mau lo salah mengartikan kasih sayang gue sama lo selama ini, lo itu udah gue anggap-"

"Jawab aja risih atau engga?"

"Skala," 

"Tinggal jawab apa susahnya?" Ini kali pertamanya Skala memberikan nada tinggi saat berbicara dengan Nala. Dia tak bisa menyembunyikan kekesalannya saat ini.

Nala sudah berusaha untuk tidak marah atau menjauhinya, tapi jika dia ingin seperti ini baiklah. "Iya, gue risih sama lo yang sekarang! Gue gak suka sama perasaan yang lo punya sama gue. Kalo lo bukan saudara gue, mungkin gue udah jauhin lo dari waktu itu. Gue cuman gak mau bikin lo sakit hati!"

Sakit? Tentu saja, kata-kata yang baru saja Nala ucapkan cukup menyakiti hatinya kembali.

Air matanya kembali keluar, dia tidak bisa menahannya lagi. "Kenapa gak lo usir gue aja? Gue kan emang bukan siapa-siapa lo, gue cuman anak yang gak punya orang tua dan dengan kebaikan ibu lo gue di rawat sama dia."

RUMAH | FKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang