#O1 | Dia dan Pikiran

11 2 0
                                    

Aku dan dia ada di ruangan yang sama. Namun kami tidak membuat kontak mata maupun membuka pembicaraan sama sekali. Kondisi ruangan masih sama seperti tadi, riuh dan penuh tawa. Sangat kontras dengan kami yang tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Jarak dua meter memisahkan kami. Meski aku dan dia tahu kami sama-sama tidak berada dalam suasana hati yang bagus, tak satupun ada yang mau menundukkan ego. Padahal, semuanya akan cepat terselesaikan apabila salah satunya mendekat.

Sebenarnya, hal ini tentu ada penyebab. Entahlah, apa semua ini karena aku yang pergi keluar bersama Raja? Tapi aku punya alsannya tersendiri, bukan karena kemauan pribadi, melainkan tugas yang harus dijalankan secepat mungkin. Tapi kalau dikatakan sumber masalahnya disana, sepertinya bukan. Karena dia bukan tipe manusia yang akan merasa cemburu tidak jelas hanya karena pacarnya melakukan tugas penting.

Lantas, mengapa pertanyaan demi pertanyaan di kepalaku tak kunjung terjawab jua? Kenapa dia menghindariku? Kenapa dia tidak berkabar sama sekali? Mengapa dia begitu singkat saat membalas pesanku?

Jujur semua ini membuatku bingung. Entah apa yang sudah kulakukan hingga dirinya menjadi seperti ini. Aku tidak bisa terus tenang. Ditambah lagi saat dia sesekali menolehkan pandang ku, alisnya selalu terpaut.

Air mata tak terasa mengalir melalui pipiku. Oh astaga, aku menangis? Sejak kapan?

"Kamu kenapa?" Salah satu temanku bertanya.

Aku menggeleng. Sial, aku lupa sedang ada di ruangan ramai. "Enggak."

Kembali kuarahkan pandanganku ke arahnya. Dia sama sekali tidak membalas kontak mataku, cenderung menghindarinya.

Oh, oke.

Stop menangis dasar bodoh. Apa yang kulakukan? Menghabiskan  air mata hanya untuk orang yang bahkan tidak mau menolehkan matanya padaku?

"Aku mau beli makan siang, ada yang mau ikut?" tanya Wira, salah satu teman organisasi seraya mengenakan jaketnya.

Beberapa orang berseru, "Ikut!" namun sisanya memilih untuk tetap di tempat. Termasuk dia.

"Yuk. Laper, bosen juga." Dia berdiri, mengerling ke arahku dengan sorot mata datar---nyaris tidak peduli---dan melewatiku begitu saja tanpa bertanya.

Saat itu juga, entah kenapa hatiku terasa sakit. Sebegitu tidak pentingnya kah aku? Tidak-tidak, aku tidak boleh berpikiran negatif. Mungkin perutnya hanya benar-benar kosong. Jadi dia tidak bisa mengontrol ekspresinya. Ya, semoga saja begitu. Iya kan?

"Lho, tadi katanya udah keluar beli makan, Nan? Kamu mau makan lagi?" Jodi menatapnya heran.

Oh, benar juga. Aku nyaris lupa. Sebelum ini, dia sempat membeli makan siang. Berarti bukan masalah lapar....

"Gabut," jawabnya singkat.

Haha. Sudah sepantasnya aku tidak perlu berharap lebih. Sudahlah, hapus air matamu. Benar-benar  menguras tenaga untuk menangisi manusia sepertinya.

Aku masih termenung di tempat yang sama, meratapi keramik tempatku terduduk. Orang-orang di sekitarku tertawa seraya bergurau satu sama lain, tak ada yang peduli pada perubahan suasana hatiku. Yah... aku juga tidak berharap ada yang peduli dan aku tidak pernah meminta agar ada yang peduli. Aku lebih suka sendiri. Tapi entah kenapa, untuk saat ini rasanya sepi....

"Widya."

Aku menoleh ke arah suara, Diana, salah satu gadis yang paling dekat denganku menepuk bahu.

"Anterin aku yuk," ajaknya.

"Kemana?" tanyaku sembari berdiri dari tempatku duduk, menepuk-nepuk celanaku yang sedikit dihinggapi debu.

Lika-LikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang