7 | Tujuh

220 34 16
                                    

“Ini adalah krisis yang dialami oleh kerajaan kita, Yang Mulia.”

Raja Shin masih belum menanggapi, sejak puluhan menit lalu, setelah kebenaran diungkap oleh adiknya secara tak berperasaan dan membuat seluruh anggota keluarga kerajaan meninggalkan aula, Sang Raja hanya diam, ia hanya termenung di singgasana dengan tak memberi respons berarti pada Sang Penasehat.

Keadaan ruangan besar itu juga senyap, sebagian besar orang yang menginjakkan kaki beberapa waktu lalu memilih pergi, tanpa ada petunjuk apa yang mereka dukung sebagai keputusan. Hal ini karena Raja Shin yang memilih untuk diam.

“Yang Mulia ...?”

Untuk pertama kali, Sang Raja bereaksi. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam dengan hati-hati. “Adakah hal lain yang bisa kita lakukan, Penasehat?”

Pria tua berjanggut putih itu menatap sendu pada rajanya. Ia adalah orang yang menjadi saksi bagaimana pemimpin negeri ini tumbuh dan dibesarkan, ada perasaan lain yang hadir selain tanggung jawabnya sebagai seorang yang dipercaya untuk menasehati anggota keluarga kerajaan.

Sang Penasehat mengiba, melihat apa yang harus dialami pimpinan mereka setelah banyak sekali kebaikan yang dilakukan pada negerinya.

“Keinginan Pangeran Ryung tidak bisa diwujudkan, Yang Mulia,” jawab lelaki itu membuat Sang Raja mulai menoleh padanya. “Dia memang adikmu, adik satu-satunya, tetapi Pangeran Ryung tidak lahir dari wanita yang sama denganmu, dia bukan anak kandung Ibu Suri.”

Penasehat itu mengambil gerakan untuk duduk dan ikut berpikir, ia berusaha mencari kalimat yang baik untuk disampaikan pada rajanya. “Lagipula, Yang Mulia sendiri masih memiliki anak-anak yang lain dari para ratu yang sah dan lebih berhak untuk mewarisi takhta.”

“Tapi Pangeran Jungkook adalah putera sulungku, Penasehat.”

“Itu tidak bisa dibantahkan, Yang Mulia.” Penasehat mengangguk setuju. “Hanya saja, saat ini, sebagian atau bahkan lebih dari para pemuka kerajaan mulai goyah, mereka bukan mempermasalahkan siapa anak tertua dari Yang Mulia atau siapa Pangeran yang paling memenuhi kriteria, mereka sedang mempermasalahkan status Pangeran Jungkook yang bukan putera dari Ratu Utama.”

Raja Shin kembali menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. “Lalu, bagaimana sekarang?”

“Hanya ada dua cara yang bisa kita lakukan, Yang Mulia, kita harus kembali mengadakan pertemuan untuk mencari tahu, apakah sebagian besar suara para pemuka tetap setuju jika Pangeran Jungkook yang meneruskan takhta, atau ... atau lebih memilih melimpahkan kekuasan pada Pangeran Yugyeom sebagai putera dari Ratu yang sah.”

🔹🔹🔹

Negeri Eodum adalah daratan yang banyak dicita-citakan para pemimpin bangsa, pun bagi para rakyat yang pernah melihat atau mendengar mengenai wilayah semenanjung tersebut.

Tidak ada ada rahasia dan misteri yang terjadi, meski kehidupan mereka layaknya sebuah dongeng karena kemakmuran yang tercipta. Namun, kisah mengenai Sang Pangeran adalah pengecualian.

Mungkin, benar adanya, bahwa dinding pembatas istana kerajaan memiliki dua muka yang berbeda. Rakyat tidak bisa menengok atau mendengar bisikan apa yang terjadi di dalamnya, tetapi para penghuni di sana akan sangat dengan mudah untuk tahu apa saja yang dialami orang-orang di luar, termasuk sebuah daun yang jatuh dari ranting pohonnya.

Entah siapa yang menyebarkan atau memang sudah seharusnya kabar ini tersiar. Tidak hanya di istana, bahkan ketegangan dan kekhawatiran juga terasa hingga ke pelosok desa. Para rakyat terkejut dengan kenyataan bahwa Sang Pangeran bukanlah putera kandung Ratu Utama, tetapi yang menambah keresahan adalah lantas siapa yang berhak meneruskan kepemimpinan untuk mereka?

“Ibu, ini kebohongan, bukan?” gadis yang sejak tadi menangis karena merasa gagal membujuk kakak tertuanya, kini berlari ke pelukan sang ibu. “Pangeran Jungkook tidak mungkin ....”

Ratu Soyong menarik napas dalam, ia tidak memberi jawaban selain dengan membalas pelukan puteri semata wayangnya. Jinsol menggeleng kuat, tangisnya kembali merebak.

“Jungkook Oppa pasti merasa sedih, Ibu. Dia pasti sangat terluka.”

Ratu Ketiga mengangguk, menyetujui. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada Sang Putri. “Puteraku yang malang itu pasti takkan menjadi sebaik dulu keadannya.”

🔹🔹🔹

Kedua sorot matanya menatap jauh ke luar bingkai jendela. Ratu Jinyi tengah berada di kamar dan menunggu kedatangan kedua puteranya. Hari semakin gelap, terlebih lampu-lampu yang sebelumnya semarak dinyalakan kini tampak tak terlihat.

Agaknya, suasana di dalam istana sudah membuat perayaan dan penantian para rakyat mereka padam, hal yang menambah kegelisahan wanita tersebut.

“Ibunda ....”

Ratu Jinyi menoleh seketika, ia berjalan cepat mendekati kedua puteranya dan menatap mereka lekat.

“Bagaimana dengan Pangeran Jungkook?”

Yugyeom dan Hangyul saling menatap sebelum akhirnya memberi jawaban dengan sebuah gelengan kepala. Terdengar suara elaan napas dari Sang Ibunda sebelum kemudian ia duduk di tepi ranjangnya.

“Ini tidak pernah terjadi dalam sejarah kerajaan sebelumnya,” lirih pelan Ratu Jinyi. Kemudian, ia mendongak, menatap kedua puteranya lagi bergantian. “Kemarilah ....”

Ratu Jinyi tampak sangat gelisah, hal itu justru mengundang perhatian Hangyul lebih dalam lagi. Menyadari dirinya menjadi perhatian putera termudanya, Ratu Jinyi kembali mengembuskan napas berat.

“Ada apa, Ibunda?” tanya Hangyul yang menangkap gelagat aneh tersebut.

“Ibu tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya.”

“Katakanlah, Bu,” ucap Yugyeom yang kini penasaran.

Ratu Jinyi menatap lekat keduanya lagi, lalu meraih masing-masing satu tangan dari mereka. “Dengar ... ini hanya berandai-andai saja, jika keputusan diambil dan Pangeran Jungkook tidak bisa menjadi Putera Mahkota, maka, itu akan jatuh padamu, Pangeran Yugyeom—“

Yugyeom menarik tangannya cepat, ia menolak dengan tegas. Tubuh tingginya menjulang ketika ia berdiri dan menggelengkan kepala, sebagai tanda keberatan. “Apa yang Ibunda katakan? Jika ada seseorang yang akan menjadi raja, itu adalah Jungkook, bukan yang lain atau aku sekalipun.”

“Yugyeom, dengarkan—“

Kalimatnya tidak selesai, karena puteranya sudah lebih dulu membungkuk dan bergegas meninggalkan kamar. Ratu Jinyi tahu jika putera tertuanya marah sekarang. Kemudian, matanya melirik ke arah Hangyul yang masih bungkam sejak tadi. Sang ibu menarik sebelah alis sebagai tanda bahwa ia menunggu anaknya itu untuk bicara.

Hangyul berdeham sebelum kemudian mengangguk. “Apa yang dikatakan oleh Yugyeom Hyung itu benar. Terlepas dari siapa Pangeran Jungkook dilahirkan, itu tidak mengubah kenyataan bahwa dialah anak pertama Ayahanda ... dia adalah saudara kami. Tetap menjadi kakak tertua kami.”

Hangyul juga beranjak, mengikuti langkah Yugyeom yang sudah menghilang lebih dulu. Ratu Jinyi menutup wajah dengan kedua telapak tangan, ia menjadi semakin gusar sekarang. Pandangannya kembali ke arah jendela luar, sebelum memejamkan mata dan berusaha memberi tahu dirinya bahwa malam ini akan menjadi malam panjang dengan banyak kegelisahan.

 


▪️▪️🍃▪️▪️



Satu lagi malam ini

Minta maaf buat kalian, pelan-pela ya

AdsumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang