Sejak dulu, Jungkook hanya belajar dan berlatih untuk memperkuat diri, menyiapkan kemampuan terbaiknya untuk kelak mampu melanjutkan takhta dan kekuasaan sang ayah.
Ia hidup layaknya putera mahkota yang penuh perhatian dan selalu dibanggakan. Jungkook seolah memang terlahir dan tercipta untuk menjadi sang penerus dan kakak tertua yang mampu menjaga dan mengajari semua adik-adiknya.
Tidak pernah ada celah atau cacat sedikitpun dalam hidupnya, baik dalam diri Jungkook maupun dalam segala tatanan kehidupannya. Maka dari itu, saat ia dan semua orang percaya bahwa hanya butuh beberapa detik untuk mulai menapaki puncak dalam hidup yang susah payah ia upayakan sejak kecil ternyata tidak berjalan semestinya, Jungkook merasa tidak siap.
Ia kepayahan. Jungkook hampir menyerah dan tenggelam dalam kenyataan pahit bahwa dirinya yang sempurna, hanyalah sebuah kepalsuan, hanya sebagai bentuk rasa kasihan.
Suara hantaman pedang terdengar nyaring sesaat sebelum pemuda itu melempar benda tersebut ke permukaan tanah.
Jungkook terdiam, dengan napas memburu dan mata yang kembali terasa panas.
Kini, ia merasa genggaman tangannya kosong, hal serupa yang seolah menjelaskan dengan cara paling sederhana dari apa yang terjadi pada hidupnya.
Jungkook yang sebelumnya memiliki kekuatan dan kekuasaan, seolah direnggut, bukan oleh orang lain, tetapi oleh takdir dari kelahirannya sendiri.
"Pangeran ...."
Jinsol meremat pakaiannya, lalu berjalan mendekat walau dengan langkah ragu-ragu. "Oppa ...?"
"Aku tidak apa-apa," sahut Jungkook cepat sebelum adik perempuannya itu sampai di sisinya. Ia menoleh, mengukirkan senyum tipis. "Aku hanya kelelahan. Bukan masalah besar, jangan khawatir."
Jinsol tentu tidak serta merta percaya, tetapi yang ia lakukan adalah kebalikan dari isi kepalanya. Gadis itu mengangguk, hendak kembali duduk di area gazebo, tempat yang sejak tadi ia singgahi untuk menemani kakak tertuanya berlatih.
Hampir tiga bulan sejak keputusan diambil dan berita perebutan wilayah akhirnya disampaikan pada kerajaan-kerajaan lawan. Selain tentu saja memberi waktu agar musuh dapat bersiap dan melakukan peperangan dengan adil dan bersih, Eodum juga melakukan persiapan lebih banyak dari sebelumnya, sebab kali ini peperangan akan dipimpin oleh Jungkook, untuk pertama kali.
"Kau mengkhawatirkan sesuatu, Hyung?" Tanya Hangyul yang masih berdiri di belakang Jungkook, ia mengikuti langkah Jinsol sebelumnya, tetapi tak ikut kembali ke area gazebo.
"Tidak."
"Kau memang khawatir rupanya." Hangyul mengangguk, seolah mendapat jawaban itu secara langsung.
Jungkook kembali menatap adiknya itu. Percuma saja memang untuk tidak mengatakan kebenaran di depan pemuda cerdas itu. Jungkook tahu itu akan berujung sia-sia, hanya saja, ia tak bisa mengungkapkan kekhawatiran apa yang menghampirinya.
Iya, karena sejujurnya, Jungkook sendiri tidak tahu apa yang ia khawatirkan sekarang.
"Saat perang pertamamu dulu di bawah kepemimpinan Panglima Kerajaan, kau berhasil dengan sangat baik. Bukankah kali ini akan sama saja?"
Jungkook kembali menatap Hangyul penuh selidik. "Kau yakin?"
"Apa aku terlihat meragukan?"
Pria yang lebih tua menyunggingkan senyum. "Yang aku tahu, dulu, hanya pihak musuh yang menginginkan aku gagal, tapi sekarang, aku tidak tahu, doa mana yang lebih banyak terpanjat untukku, keberhasilan atau sebaliknya?"
Hangyul tidak memberi reaksi berarti selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk. "Aku mengerti, aku juga tidak tahu." Pemuda itu maju lebih dekat dan menepuk pundak sang kakak. "Namun, yang harus kau tahu, adik-adikmu bukan hanya berdoa untuk keberhasilanmu, tapi kami juga berupaya untuk membuatmu tetap berada di posisimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adsum
FanfictionJungkook tidak memercayai orang-orang, tentang pemilik sebuah nyanyian merdu, sangat lembut, dan menenangkan. Mereka bilang, suaranya sangat indah, dengan paras rupawan tiada tara. Namun, sejelita apa pun dia, tak serta merta membuat mereka yang mey...