Bab 3 - Memulai Takdir

177 22 2
                                    

Setelah kedatangan Dewabrata, Gangga menyuruhku untuk pergi ke Yamuna. Bayang kesedihan di dalam matanya sempat menghantuiku selama beberapa saat. Saat itu aku begitu lugu, tak tahu hati manusia bisa berubah semudah pergerakan arus air.

Bertahun-tahun setelah aku tinggal di Yamuna, aku mendengar beberapa nelayan membicarakan seorang wanita jelita. Konon, wanita ini memiliki tubuh wangi laksana taman bunga di musim semi.

"Entah siapa yang beruntung bisa memperistri Satyawati," kata salah satu nelayan sambil menelan air liur. Nelayan lain dengan gemas menoyor kepala temannya. Percakapan di antara mereka semakin seru, tapi, aku memilih untuk mengabaikan mereka.

Pembicaraan tentang wanita bernama Satyawati ini semakin membesar hari demi hari. Saking seringnya dibicarakan, aku penasaran juga. Akhirnya, aku mencari tahu bagaimanakah sosok Satyawati yang selama ini mereka elu-elukan. Benarkah dia wangi bak taman bunga dan jelita bak bidadari?

Aku menemukan Satyawati di Triveni Sangham, sungai simpang tiga menuju Sungai Gangga. Dia memang jelita. Garis wajahnya tegas dengan dagu tinggi. Sorot matanya tajam. Kulitnya halus dan terang.

Yang paling mengejutkanku saat itu, Satyawati tidaklah sendiri. Dia tengah berada di dalam perahu bersama Maharaja Sentanu. Dua pelayan tengah mengipasi mereka dengan kipas bulu merak. Wajah mereka berseri-seri. Terlihat sekali, mereka sedang berbahagia.

"Garis keturunan Hastinapura hanya dipegang oleh Dewabrata," Raja Sentanu berkata sambil membelai rambut Satyawati, "Karena itu, Satyawati ... aku berniat untuk kembali mengangkat seorang Maharani. Aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan. Seluruh hartaku. Cintaku. Bahkan nyawaku."

"Anda mungkin bisa memberikan harta, cinta, bahkan nyawa," Satyawati berkata lembut, "Sayangnya, saya tak menginginkan hal itu. Yang saya inginkan, hanya kebahagiaan bagi keturunan saya."

Kening Maharaja Sentanu berkerut.

"Jika anda mengangkat saya menjadi Maharani, maka Anda harus mengangkat saya sebagai Maharani yang sesungguhnya," meski semanis madu, Satyawati mengatakan kalimatnya dengan nada menyindir, "Saat saya menjadi Maharani anda, saya hanya akan menjadi ibu tiri dari sang putra mahkota. Anak-anak yang saya lahirkan hanya akan menjadi kesatria-kesatria pembela Hastinapura yang mati membela kerajaan. Saya tidak menginginkan hidup seperti itu."

Keangkuhan Satyawati saat mengatakan hal itu membuatku merasa marah. Aku tak terima karena dia menginginkan sesuatu yang seharusnya dimiliki Putra Gangga. Kedudukan putra mahkota dan takhta seharusnya adalah milik Dewabrata!

Kemarahan itu... adalah perasaan manusiawi pertama yang aku rasakan. Rasanya seperti api yang hidup, menyala-nyala dan membakar. Dadaku langsung sesak. Pesan Gangga bahwa perasaan manusiawi membuatku semakin fana terngiang di kepalaku. Memperingatkan. Mengingatkan.

Namun rasa panas di dalam dadaku tidak semakin berkurang.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, Gangga datang. Gangga membawaku pulang ke sungainya. Di sana, Gangga mengajakku berdiri di salah satu tepian sungai, menonton sesuatu.

Saat itu, seorang pemuda gagah sedang berteriak membuat sumpah. Seiring setiap kata yang terucap, petir menyambar-nyambar, mengokohkan sumpah itu. Langit berubah semerah darah. Air sungai bergolak. Awan-awan gelap menyelubungi angkasa, semakin gelap dan besar hingga bagai ancala.

"Aku bersumpah, kalau aku tidak akan menikah seumur hidupku. Aku bersumpah akan menggunakan hidupku sebagai sebuah pengabdian kepada kebenaran. Aku bersumpah akan selalu setia pada negaraku, Hastinapura."

Aku tersentak saat ledakan besar terjadi di tengah sungai. Suara-suara dari langit kini terdengar, seperti sangkakala yang tertiup dan berdengung. Lalu sebuah nama dielu-elukan dalam sebuah ode heroik.

Legenda Negeri BharataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang