Bab 8 - Segalanya untuk Si Cantik

193 20 0
                                    

Aku diantarkan ke istana Drupadi beberapa minggu kemudian. Mula-mula, dia merasa terganggu dengan kehadiranku. Namun ketika dia mengetahui aku bekas pelayan kakaknya, Drupadi mulai berusaha bersahabat denganku.

"Jadi, kaulah Supriya yang tak bisa bicara itu?"

Aku mengangguk.

Drupadi berjalan melewatiku. Sarinya ikut terseret di belakang, memantulkan cahaya dari berbagai permata yang dijahitkan di sana. Kemewahan terlihat sangat cocok dengan dirinya. Kalung, gelang, semua perhiasan yang menempel di tubuhnya melengkapi sosoknya yang sempurna.

"Kalau kau ingin melayani aku, kau harus mempercantik dirimu," katanya dengan nada angkuh. Dia memanggil beberapa pelayan, lalu mendudukkan aku di depan meja riasnya.

"Kalian semua harus mengajari Supriya berdandan."

Aku menggeleng-geleng ketakutan. Ingat hukuman cambuk yang baru kuterima beberapa bulan lalu.

Tapi ini bukanlah sesuatu yang sopan, Putri, tolakku halus. Drupadi memamerkan seringaiannya yang angkuh, lantas memindahkan cermin di depan wajahku.

"Pernahkah kau memerhatikan wajahmu sendiri, Supriya?"

Aku menggeleng, bingung. Aku sering memerhatikan wajah orang-orang di sekitarku. Namun aku memang tak pernah melakukan hal yang sama terhadap wajahku sendiri.

Saat kau memiliki keinginan, kau akan semakin fana.

Aku bergidik ngeri saat mengingat nasihat Saraswati, namun aku memandang cermin itu dengan penasaran. Ingin tahu seperti apa wajahku sebenarnya? Sudah terlalu lama, aku tidak memerhatikan diriku sendiri.

Kulitku jauh lebih pucat dari kulit Drupadi yang eksotis. Mataku sayu, dengan ujung meruncing sempurna. Hidungku bangir, sementara bibirku benar-benar tipis. Tanpa sadar, aku memegang pipiku, baru sadar... betapa mungil dan rapuhnya wajahku ini.

"Srikandi banyak bercerita tentangmu," kata Drupadi sambil menarikku berdiri, "Dia bilang, kau diterima di sini karena kepandaianmu bermain sitar. Kelihatannya, kita akan cocok. Aku tidak suka kepada pelayan yang kerjanya tiap hari hanya bergunjing."

Aku memaksakan sebuah senyuman. Masih terkejut dengan wujud manusiaku. Wujud ini memang membuatku semakin memiliki keinginan lain. Aku ingin menghiasnya sedemikian rupa. Aku ingin terlihat cantik. Meski tidak secantik Drupadi.

"Kau tahu, kenapa kakakku pergi?"

Aku menggeleng.

Drupadi menghela napas, lalu berputar-putar di dalam kamarnya, memamerkan wajah yang terlihat bosan.

"Dia bilang, sebelum perang, pikiran ayah dipenuhi keinginan mendapatkan penerus. Dan sekarang, yang memenuhi kepala ayah, hanya balas dendamnya kepada Resi Drona."

Saya telah menasihatinya berkali-kali, aku mengaku.

"Kau harus tahu, ketika orang tak memerhatikanmu, maka yang bisa kau gunakan, hanya kecantikan..." dia berkata dengan nada sendu. Kesedihan membuat kilauan indah di mata Drupadi meredup, "Aku beruntung, karena aku memiliki kecantikan ini. Hanya karena kecantikan ini, ayah mengakui kehadiranku. Dia telah memimpikan seorang raja gagah perkasa dalam sayembara perjodohanku. Raja yang akan membantunya memerangi Resi Drona."

Aku merenungkan perkataan Drupadi. Perasaan manusia kedua saat itu melingkupiku dan membuatku meneteskan air mata, menangis.

Kefanaanku kini bertambah lagi.

"Mengapa kau menangis, Supriya?"

Saya kasihan kepada kedua putri, kataku jujur. Aku bersedih atas semua perlakuan yang mereka alami. Aku bersedih atas duka Amba. Dan yang paling membayang di pikiranku adalah kesedihan atas takdir putra Dewa Surya.

Perkataan Drupadi soal sayembara mendatangkan ramalan baru dari Saraswati. Aku melihat seseorang dengan Kawach dan Kundal melangkah ke arena sayembara. Pada saat itu, tangisku semakin pecah. Kesedihanku mendatangkan perasaan-perasaan lain yang membuatku merasa kepalaku akan meledak.

Iri hati. Marah. Semua bercampur bagaikan gelombang yang tak bisa kuhadang. Dan perasaan terakhir yang menghampiriku membuatku semakin ingin bertemu dengan ksatria itu.

Ya, perasaan terakhir itu... adalah rasa rinduku kepada Karna.

Legenda Negeri BharataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang