Bab 11 - Pandawa Sang Keadilan

161 18 1
                                    

"Supriya, ceritakan padaku tentang Pandawa dan Korawa," kata Drupadi malam harinya. Aku merasa malu, karena saat dia mengatakan itu... aku mendadak teringat kebohonganku.

Aku terpaksa mengatakan kalau keluargaku dulunya seorang pengembara, saat Drupadi menanyakan asal-usulku. Lalu ketika dia bertanya lagi, aku berkata keluargaku tewas karena bencana, hingga aku dititipkan pada saudara jauhku yang bekerja menjadi dayang di istana Panchala.

Itu sebuah cerita karangan yang hebat. Tapi aku sama sekali tidak bangga. Parasurama benar, satu kebohongan akan mendatangkan banyak kebohongan lain. Supriya dibangun dari kebohongan yang kian bertumpuk. Itu memalukan.

"Aku ingin tahu tentang para pangeran yang berhasil menaklukkan Panchala, Supriya. Kudengar, kau dan Srikandi dulu melihatnya dari istana Srikandi."

Karena tidak mungkin menceritakan jalannya pertempuran, aku hanya menceritakan bagian saat para pangeran berdiri di balairung agung, sementara Drona mengambil alih takhta Panchala.

"Jadi, hal itulah yang mendorong ayah melakukan upacara?'

Aku mengangguk. Tak tega menceritakan penderitaan para resi dan pelayan demi mengundang Drestayumna.

"Pasti perangnya dahsyat sekali," kata Drupadi terpana, "Aku dengar, keseratus lima pangeran itu lahir dengan ajaib?"

Itu adalah rahasia umum Hastinapura, Putri, tulisku, Seluruh penduduk tahu.

"Kau juga? Oh... tentu saja kau tahu! Kau kan pernah tinggal di dekat Sungai Gangga!"

Aku meringis sambil mengangguk. Nama Gangga membuatku merasa bersalah. Bagaimana kabarnya saat ini? Apakah dia marah karena aku pergi? Ah, seharusnya aku tidak meninggalkannya.

"Ceritakanlah kepadaku, Supriya," tuntut Drupadi penuh semangat, "Apakah kelahiran mereka sama seperti kelahiranku?"

Tidak, Tuan Putri, aku menuliskan, keseratus lima pangeran itu, lahir dari tuntutan sebuah tahta. Lima lahir dari harapan, seratus lainnya, lahir dari ambisi.

Lalu aku pun mulai bercerita...

***

Suatu ketika, Pangeran Pandu berburu ke tengah hutan. Jiwa mudanya menggelegak, hendak membuktikan kehebatannya dalam menangkap binatang. Malang bagi Pandu, tidak ada binatang yang melintas. Saat itu, awal musim semi. Alih-alih keluar dan berjalan-jalan, para binatang melewatkan musim kawin di dalam sarang masing-masing.

Pandu mulai merasa kesal, karena sama sekali tidak menemukan buruan. Hingga hari menjelang senja, Pandu belum menemukan sasaran. Lalu, di sana... di tengah padang bunga dafodil, Pandu melihat sepasang rusa yang sedang memadu kasih. Tanpa berpikir panjang, Pandu merentangkan busur, memanah sepasang rusa itu.

Tak diduga, sepasang rusa itu ternyata adalah penjelmaan seorang resi dengan istrinya. Menjelang saat-saat terakhir hidupnya, resi itu mengucapkan kutukan untuk Pandu:

"Putra Mahkota Hastinapura! Kapan pun kau bermain cinta, kau akan mati! Kutukanku akan mengingatkanmu atas dosa yang kau lakukan saat ini!"

***

"Oh," Drupadi menutup mulutnya saat aku menyelesaikan kisah itu. Pandangannya kepadaku terlihat ngeri. Sesaat, dia menyuruhku berhenti. Sementara dia sendiri berpikir.

"Rupanya karena itu," Drupadi berkata, "Apakah Putra Mahkota itu akhirnya menikah?"

Aku mengangguk.

Saat dinobatkan, Raja Pandu memiliki dua permaisuri, kataku, Permaisurinya bernama Kunti dan Madri.

"Dengan kutukan seperti itu, bagaimana Permaisuri Kunti dan Permaisuri Madri bisa melahirkan?"

Aku mengulum senyum, Sebenarnya, Permaisuri Kunti memiliki sebuah anugerah dari Resi Durwasa.

"Oh, resi yang terkenal sakti tapi temperamental itu?"

Aku mengangguk lagi, Permaisuri Kunti pernah melayani Resi Durwasa hingga resi itu merasa senang. Saat itu, Resi Durwasa menganugerahkan sebuah mantra. Dengan mantra itu, Permaisuri Kunti bisa memanggil para dewa untuk meminta seorang putra.

"Teruskan ceritamu, Supriya."

***

Hampir lima tahun setelah dinobatkan, Pandu tak kunjung memberikan keturunan. Maharani Satyawati mulai merasa khawatir. Satyawati memanggil Pandu dan kedua istrinya. Dia menanyakan mengapa Pandu tak kunjung memberikan seorang penerus ke Hastinapura.

Maka, dengan berlinang air mata, Pandu menceritakan kutukan yang menimpanya. Satyawati merasa amat terkejut. Terlebih ketika kemudian Pandu memutuskan akan menebus dosa. Pandu turun tahta. Dia membawa istri-istrinya ke hutan, menjalankan hidup dalam pertapaan.

Satyawati kemudian menaruh harapan kepada Drestarasta. Namun apa daya, ternyata permaisuri Drestarastra juga tidak kunjung mengandung. Pandu mendengar kabar ini di pertapaannya. Dia membawa kegundahan ini dalam setiap doa, doanya ini kemudian terdengar oleh Kunti.

Kunti kemudian meminta izin kepada suaminya untuk menggunakan mantra anugerah Resi Durwasa. Dengan segera, Pandu meminta Kunti meminta Kunti memanggil dewa-dewa paling perkasa. Dewa Dharma, Dewa Bayu, Dewa Indra ... mereka memberikan tiga putra untuk Kunti.

Yudhistira yang adil bijaksana.

Bima, Sang Wrekodara yang kekuatannya bisa mengguncang gunung,

Dan Arjuna, ksatria terhebat di dunia.

Tak ketinggalan, Raja Pandu meminta Madri menggunakan mantra itu. Dari Madri, Pandu mendapatkan Nakula dan Sahadewa, putra anugerah dewa kembar Aswin.

***

"Dan akhirnya, mereka hidup berbahagia untuk selama-lamanya?" Drupadi mengangkat satu alis. Aku tersenyum melihat wajahnya yang kini cemberut.

"Ah, mereka tidak hidup bahagia," Drupadi menggerutu, "Krisna pernah mengatakan kalau Pandu meninggal secara tidak wajar. Madri sampai melakukan pengorbanan sati. Apakah kematian itu terjadi karena kutukan sang resi?"

Aku hanya angkat bahu.

"Jadi begitu kisah kelahiran Pandawa," Drupadi berkata sambil melamun, "Harapan. Ambisi."

Dalam satu gerakan, Drupadi berbalik lalu menghadapku kembali, "Kau belum menceritakan bagaimana mereka yang terlahir dari ambisi. Ceritakan bagaimana para asal-usul para Korawa."



Terjun ke dalam api pembakaran

Legenda Negeri BharataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang