Bab 13 - Simpang Siur Duryodhana

128 18 0
                                    

Ada banyak cerita mengenai putra pertama raja Drestarasta ini. Ada yang bilang, wajah dan tubuhnya seperti raksasa. Ada juga yang bilang semua sifat buruk ada padanya. Dari loba hingga moha. Keserakahan, kebodohan, semua lambang dosa-dosa manusia ada pada dirinya. Beberapa orang bahkan dengan berani mengatakan Duryodhana tak segan-segan membutakan mata siapa pun yang berani menatap wajahnya.

Yang aku tahu, saat-saat menjelang kelahiran Duryodhana, aku sedang tertidur di Sungai Gangga. Suara-suara guntur dan berbagai lolongan binatang buas di dalam hutan seketika membangunkan aku dan Gangga.

Tak ketinggalan, angin mengguncang pepohonan dan membawa kepanikan di seluruh kota. Para penduduk berteriak-teriak memanggil Dewa Siwa, takut akan adanya serangan bangsa asura. Banyak di antara mereka yang segera berlari masuk rumah, memeluk anak dan keluarga mereka.

Gangga hanya menggeleng melihat peristiwa itu. Wajah-wajah pucat dan tubuh-tubuh gemetar berlarian di seluruh kota. Sementara di dalam istana, para ahli nujum mulai beraksi. Mereka menambah seram suasana. Mata-mata mereka memelotot, sambil menghitung dan menimbang, mereka memberi masukan lagi terhadap penjelasan para resi.

Ketika salah satu kendi berderak, maka saat itulah para ahli nujum itu melemparkan diri ke lantai. Mereka menangis tersedu-sedu, sambil mengatupkan tangan di atas kepala untuk memohon.

"Yang Mulia, demi keselamatan seluruh kerajaan, maka putra-putra anda harus dibunuh. Terlebih, putra sulung yang akan sebentar lagi lahir."

Bak tersambar geledek, Raja Drestarasta terlonjak mundur. Rahangnya mengeras. Jemarinya mengertak, menahan amarah dalam hatinya.

"Putra anda akan menghancurkan kerajaan ini," tambah ahli nujum yang lain.

Para resi menggeleng-geleng melihat tingkah para ahli nujum itu. Sementara, petir dan hujan semakin dahsyat menerjang di luar.

"Menurut hamba, korbankan putra pertama saja," kata salah seorang resi, "Badai ini datang di saat kelahirannya. Mungkin, dialah sumber kejahatan yang harus dicegah datang ke dunia."

Wajah Raja Drestarasta semakin memerah. Dengan penantian sekian lama, rupanya kembali penghinaan yang dia dapatkan. Bagaimana mungkin putra-putranya dikatakan sebagai sumber kejahatan?

Sebuah ledakan dari ruang inkubasi terdengar memecah suasana rapat yang semakin tegang itu. Suara tangisan bayi menggelegar, begitu keras dan menyayat. Semua orang di ruangan itu langsung menelan ludah dengan wajah semakin pucat.

Seorang pelayan tergopoh-gopoh datang memasuki ruangan. Tangannya menggendong seorang bayi yang kini telah berhenti menangis. Raja Drestarasta tertegun. Bayi yang dikatakan sebagai sumber segala dosa itu langsung tergelak senang. Meski Raja Drestarasta buta, dia membayangkan kalau putranya saat itu sedang memamerkan gusi saat digendong Sang Ayah, tersenyum begitu manis.

Tawa bayi yang terdengar tak berdosa itu membuat Sang Raja tak tega melaksanakan semua saran dari para resi dan ahli nujum.

Tepat pada saat Raja Drestarasta mengembalikan bayi itu, ledakan-ledakan lain terdengar membelah udara. Bersama dengan tangisan-tangisan bayi lain.

Langit berubah cerah saat itu. Badai pergi dengan sendirinya, meninggalkan Duryodhana dan kesembilan puluh sembilan adiknya yang dikatakan menjadi cikal bakal kejahatan di Hastinapura.

Musuh para dewa

Legenda Negeri BharataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang