6.

102 16 3
                                    

Hyunjin memandang wajah cantik kekasihnya tenang, malam ini Hyunjin tidak bisa tidur. Perasaan bahagia yang membuncah mengalahkan rasa kantuknya. Selain perasaan itu, ia takut apabila pagi tiba keberadaan kekasihnya ini akan menghilang begitu saja seakan semua ini hanyalah mimpi. Padahal kenyataan Jeongin berada disini, disisinya, menemani Hyunjin tidur malam bersama—atas paksaan sang pemilik kamar—dan tengah mendengkur pelan. Hyunjin mendekat kearah Jeongin, merasakan nafas hangatnya dan merasakan perut besar yang tengah membawa bayinya itu. Terasa ajaib.

Orang-orang bilang, kalau merasa gemas dengan seseorang terkadang kita ingin menelannya, maka saat ini Hyunjin juga ingin melakukan hal yang sama. Dia ingin menelan Jeongin untuk dirinya sendiri karena posisi tidur sang calon ibu itu sangatlah menggemaskan. Hyunjin menciumi pipi kesayangan pelan, berusaha keras agar Jeongin tidak terganggu tidurnya.

Setelah puas menciumi wajah Jeongin, Hyunjin memilih pindah posisi. Jeongin tidur membelakangi Hyunjin yang tentu saja memberikan gambaran punggung kecil Jeongin—punggung kecil yang membidang. Hyunjin suka sekali melihat betapa kokoh punggung itu. Kembali ke perubahan posisi tidur Hyunjin, kini dia menyelinap di sisi kosong muka Jeongin. Benar-benar definisi menyelinap karena sisi itu sangatlah kecil, membuatnya harus memeluk tubuh itu erat agar tidak terganggu dan dirinya sendiri jatuh. Hyunjin menempatkan telinganya ke dada Jeongin—walaupun terhalang perut bulat yang berisi anaknya.

"Jeongin masih berdetak, masih hidup. Dadanya berbunyi. Nafasnya hangat," ujarnya sendiri.

Ini sebenernya sudah malam minggu ke-sepuluh Hyunjin lalui dengan Jeongin. Ia menemani perkembangan trimester ketiga kekasihnya. Bahkan ia tidak bekerja, kesehariannya hanya mengekori kemanapun keberadaan Jeongin. Hyunjin rajin sekali menyediakan barang kebutuhan Jeongin baik yang memang diperlukan Jeongin atau menurut Hyunjin perlu. Jeongin tidak banyak protes, artinya dia menikmati perhatian itu. Namun walaupun sudah bermalam-malam Hyunjin lalui dengan Jeongin ia tetap ketakutan akan kehilangan sosok ini.

Malam sangat menakutkan karena bisa menelan kekasihnya diam-diam.

"Riki-ya, setelah ini kamu hanya akan menikmati hidup yang menyenangkan. Tidak perlu lagi sulit-sulit memikirkan bertahan hidup," Hyunjin jadi kembali membayangkan rupa sang anak, anak yang akan segera tiba dalam beberapa minggu lagi. Dan Hyunjin tidak sabar. "Appa kali ini akan selalu ada untukmu."

"Eung," suara geraman Jeongin terdengar pelan, perlahan sosok mirip rubah itu membuka matanya. "Hyung, sedang apa disitu?"

Perlahan Jeongin mulai mundur, memberikan ruang kepada Hyunjin agar berbaring lebih nyaman. Tak lama ia kembali tidur. Sepertinya posisi yang tidak nyaman menyebabkan Jeongin yang sebenarnya sulit dibangunkan kecuali memang waktunya jadi terganggu.

Hyunjin kembali memandang wajah kekasihnya lekat. Memikirkan kapan harusnya ia mulai melamar sang kekasih, menjadikannya pasangan sehidup semati. Bahkan memasukkan Riki kedalam daftar panjang anak bermarga Hwang. Hyunjin juga kembali merasakan hangatnya tubuh Jeongin, membuatnya banyak bersyukur.

"Terimakasih, Tuhan atas karuniamu."

Dan sedikit saja tepukan punggung yang dia terima dari Jeongin, membuat Hyunjin jatuh tidur. Tidur dengan penuh syukur atas perubahan hidup yang ia terima.

Dan pagi ini Hyunjin terbangun tanpa Jeongin disebelahnya. Laki-laki itu sangat terkejut, dengan segera ia bangun dan mencari keberadaan sang kekasih hati. Tidak peduli dengan hipotensi orthostatic yang beberapa kali menyerangnya, Hyunjin segera melangkah ke penjuru rumah mencari keberadaan kekasihnya. Tidak, ia tidak ingin Jeongin menghilang dari pandangannya begitu saja. Hyunjin berputar-putar di penjuru rumah namun batang hidung Jeongin tidak kunjung terlihat, ketakutan mulai menyergapnya. Hyunjin cemas.

Kamu Dalam Ingatanku Yang Samar [Hyunjeong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang