Aku pun tidak paham, mengapa aku bisa jatuh kagum pada dia? Padahal jika dilihat, kebanyakan anak gadis seusiaku yang bisa di bilang berasal dari keluarga agamis, akan mengangumi seorang remaja laki-laki yang berasal dari keluarga agamis pula. Tapi, sepupuku itu? Jeans hitam dan kaus hitam adalah kesukaannya. Jika dibandingkan dari cara berpakaian antara dia denganku, orang-orang tidak akan menduga kalau kami adalah saudara sepupu.
Dia mudah akrab kepada siapa pun yang ia temui. Tidak peduli perempuan atau laki-laki. Tanpa terkecuali kepadaku maupun ke saudara-saudaraku. Bahkan sampai ke ayah dan ibuku. Dia ramah. Tidaklah heran bila ia memiliki banyak teman. Adakalanya, satu dan dua temannya mampir ke rumahku bila ia tidak kunjung memunculkan diri di tongkrongannya.
“Apakah Hafizh ada di sini?” tanya mereka, saking seringnya dia datang ke sini. Bak rumah ini adalah rumah keduanya.
Aku beranggapan, dia berbeda dari kebanyakan temannya. Di saat teman-temannya mulai mengepulkan asap rokok mereka, tidak dengan dia. Tak jarang aku mendengar teman-temannya mengajak ia untuk berteman dengan rokok, tapi selalu ditolaknya dengan lembut.
Masalah shalat pun tidak pernah ia tinggalkan. Jika sudah waktunya, tidak peduli seasyik apa sebuah obrolan, dia akan segera melaksanakannya. Bahkan, ia suka mengajak teman-temannya untuk ikut shalat ke masjid bersama, walau terkadang ia harus menerima penolakan yang halus.
“Kamu duluan saja. Sebentar kami menyusul,” tutur kak Hafizh ketika bercerita tentang contoh penolakan yang pernah ia dapatkan.
Meskipun tercatat sebagai orang yang sangat mudah akrab, sejauh ini aku tidak pernah mendengar ia manjalin suatu hubungan dengan perempuan mana pun. Maksudku “pacaran”.
Jika orang lain melihatnya sekilas, mungkin mereka akan mulai berpikir tentang banyak keburukan. Misal satu; dia pasti anak yang nakal. Tapi, nyatanya tidak. Dia orang yang baik dan sebagian orang yang sudah mengenalnya akan terus menganggapnya seperti itu. Kak Hafizh adalah orang yang mendefinisikan kalimat, “Jangan menilai orang dari luarnya saja.”
Mungkinkah aku kagum karena semua alasan itu? Entahlah. Aku sendiri bingung pada semuanya. Aku merasa, setiap apa yang ada padanya, sangatlah unik dan berbeda.
***
“Anis, selisih umur kita tidak jauh berbeda, kan? Umur kamu hanya lebih muda dua tahun dari umurku. Karena itu, kamu juga pasti sudah pernah merasakan yang namanya menyukai seseorang, dan aku bisa tebak kamu suka tipe cowok yang seperti apa.”
“Oh, ya?”
“Iya ... kamu pasti suka tipe cowok yang seperti santri-santri pondok pesantren. Mereka sangat keren di mata kamu. Memakai peci, jubah, atau bisa juga sarung, baju koko ... kamu suka pastinya. Iya atau tidak?”
Aku menunduk. “T–tidak juga.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk.
“Tapi, kamu cocoknya sama santri-santri seperti itu. Kamu cewek bergamis, di tambah cowok berjubah, sama dengan c-o, co ... c-o, co, tambah k, cocok, hehe ....”
Aku tersenyum sebentar menanggapi kata-katanya. “T–tapi, aku justru ... merasa tidak pantas dengan ... i–itu, Kak,” tuturku terpaksa dan terbata-bata, sebab malu dan tidak terbiasa membahas hal seperti ini. Apalagi bersama dengan ....
“Kenapa?”
“Hm—”
“Tapi, tentu kamu sudah pernah merasakan suka atau kagum pada cowok, kan? Atau mungkin sekarang kamu sedang menyukai seseorang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen oleh AksaraKS
RandomBismillaahirrohmaanirrohiim .... • Di sini tempatku menulis cerpen • Setiap bab adalah judul/kisah baru yang tentunya berbeda-beda cerita • Tema & alur ceritanya wallaahi murni hasil pemikiranku sendiri (no plagiat!) • Maaf bila banyak kekurangan k...