HATIKU TIDAKLAH TERKAIT DENGAN SISWA ITU

14 3 4
                                    

Bahkan mendekati seorang lelaki duluan pun aku tidak berani. Hatiku semata tidak ingin menimbulkan rasa sakit pada hati mereka—lelaki. Karenanya, ketika mereka mendekat, selama masih dalam batas kewajaran, aku memilih untuk tidak menjauh. Apakah prinsipku ini salah?

***

Namaku Savina. Usiaku 16 tahun. Saat ini aku baru saja duduk di bangku kelas 10 Madrasah Aliyah. Ya, walaupun swasta tapi aku bangga bisa bersekolah di sini. Mengapa tidak? Sekolah ini memiliki banyak sejarah, secara ibu dan ayahku alumni di sini.

Aku tidak terlalu pandai bergaul, tapi syukur, teman sekelasku selalu punya cara agar aku bisa ikut menikmati canda dan tawa mereka.

Hari bergulir, keakraban teman-teman sekelas semakin terlihat. Namun, ada kalanya aku merasa tidak bisa ikut circle pertemanan mereka. Terutama ketika mereka berkumpul dengan para lelaki.

Aku memilih duduk menjauh. Menyibukkan diri dengan ... ya, random saja; corat-coret buku lebih sering, sih. Tapi, sekali-kali aku mengangkat pandangan ketika gelak tawa mereka terdengar.

“Menyenangkan bila bisa bebas bergaul, ya”. Ketika perasaan semacam ini menyerangku lagi, pesan dari ibuku selalu melintas di pikiran.

“Ada masanya kamu akan merasa iri melihat teman-temanmu bisa bebas bercengkerama dengan lawan jenis, tapi, cepat hapus rasa irimu itu. Setiap kali mereka berkumpul, besar kemungkinan zina bisa terjadi. Kamu sendiri sudah tau zina itu banyak macamnya, kan? Lebih bagus kamu tidak punya teman lelaki, ketimbang kamu harus terjerumus ke dalam syahwat yang berakhir zina!”

Napasku berhembus panjang. Jangan iri, jangan iri, jangan iri, dengki, jangan-jangan iri ... lah? Malah nyanyi!

***

Tak terasa, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Teman-teman sekelasku sudah sangat akrab dengan anak-anak di kelas sebelah. Dan aku ...?

“Vina,” panggil seorang siswa.

Ezar namanya. Anak kelas sebelah. Entah kapan dia jadi rutin keluar-masuk kelasku untuk menanyakan hal-hal yang menurutku ... huft, taulah!

“Liat tanganmu, Vin.”

Sepuluh jariku langsung tersodorkan. Pemandangan ini layaknya seorang bapak guru yang hendak memeriksa kuku anak muridnya.

“Asyik, pake cincin lagi.”

Mataku refleks berputar dengan malas.

“Pinjam, dong.”

Sempat aku mendiamkannya, tapi kelakuannya semakin menjadi. Ezar menarik sebuah bangku ke depan mejaku. Tangannya terlipat di atas mejaku. Tidak hanya itu, ia berusaha mengintip wajahku yang sengaja kusembunyikan karena merasa terganggu.

Senyumannya? Astaghfirullaah ... membuat jantungku berdebar. Bukan karena salah tingkah, tapi tidak sabar ingin memukul wajahnya. Untung masih bisa kutahan.

Dia tidak akan menyerah sampai keinginannya itu tercapai. Cepat kulepas cincin di jari manisku dan kuberikan kepadanya.

“Yey, pinjam, ya.” Ezar berlari dengan riang menuju kelasnya.

“Kamu kok, bisa akrab sama Ezar, Vin?”

Kedua bahuku terangkat. Arini, teman sekelasku. Setiap kali Ezar datang menghampiri, dia terus mengajukan pertanyaan itu.

***

Mata pelajaran kelasku hari ini adalah olahraga, di jam pertama. Kebetulan kelas Ezar punya jadwal olahraga juga, harusnya nanti, di jam ketiga. Tapi, guru yang akan mengajar di kelasnya sedang sakit dan tidak datang ke sekolah. Otomatis mereka prei.

Kumpulan Cerpen oleh AksaraKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang