Tubuhku masih terus berguncang karena tersedak. "Eyang Damar tahu tentang seseorang yang bernama Wijaya?" Tanyaku terbata-bata sambil berusaha menenangkan diri dari batuk rejan yang pedas.
Meski ada sedikit keraguan dalam hatiku tapi kami tak punya pilihan. Pakde Bas juga pasti punya pertimbangan kenapa kami menemui pria renta yang kini menatap tajam padaku.
Eyang damar menghela nafasnya, menatapku dan Pakde Bas bergantian. Bukannya menjawab dia justru bangkit dan masuk ke dalam ruangan lain lalu kembali sambil membawa sesuatu. Membuaku semakin penasaran.
"Wijaya itu laki-laki yang memulai semuanya." Jawabnya sembari menyodorkan benda yang dibawanya padaku.
Sebuah buku usang bersampul kulit, tiap lembaran kertas yang kusam berisi tulisan tangan yang rapih dengan campuran aksara Jawa yang tak aku mengerti, juga gambar sosok-sosok iblis yang mengerikan.
"Jadi benar. EDAN! SINTING!" Pakde Bas yang ikut menyimak tiap lembaran yang kubuka bahkan tak percaya dengan ucapannya sendiri.
"Macapat sewelas?" Tegasku padanya.
Pria nyentrik ini meng'iya'kan dengan anggukan mantap dan wajah yang cemas.
"Akhir-akhir ini demit perempuan itu juga makin edan." Berbeda dengan Pakde Bas, pria renta dihadapanku ini justru bersikap tenang sambil kembali menyesap kopinya.
Dari dalam saku bajunya, Eyang Damar mengeluarkan buntalan plastik hitam. Tangannya dengan cekatan meracik tembakau juga sedikit cengkih di atas kertas papir.
"Ritual ini, tak pikir mereka cuma melakukan salah satunya, ndak nyangka kalau perkumpulan itu ternyata melakukan semua ini! Kentir!" Tegas Pakde Bas sekali lagi. Eyang Damar hanya mengangguk, tangannya yang keriput sibuk memilin kertas papir berisi tembakau.
Seketika suasana berubah menjadi hening. Sebelas ritual? Jadi ucapan wanita yang terkoyak itu benar. Aku masih terus membalik tiap lembar kertas usang meskipun tak mengerti sama sekali dengan semua tulisan yang ada tapi dari gambar yang aku lihat, semuanya menjelaskan sebelas ritual yang berbeda.
"Ono sing dolanan karo ngabruk nyowo." Eyang Damar mengatakan hal yang sama persis seperti yang aku dengar dari pria pembunuh itu kemarin.
"Eyang, ngabruk nyowo itu apa?" Tanyaku perlahan.
"Salah satu ritual yang paling berbahaya. Pria itu berusaha mendapatkan sosok yang selama ini aku jaga."
"Wanita yang ada di sana?" Tanyaku lagi.
Eyang Damar mengangguk. "Dia salah satu bolo upoto yang paling berbahaya. Apalagi selama ini dia juga menahan rasa laparnya ... Meskipun sudah kuganti dengan janin binatang tetap saja bedo."
"Janin?"
"Janin apapun, binatang atau pun manusia!" Eyang Damar enteng saja mengatakannya padahal aku langsung mual, selain karena ucapannya tepat di lembar halaman buku yang aku buka, gambar sosok wanita berambut panjang memangsa bayi yang terpotong-potong. Sinting!
Eyang Damar menarik nafasnya, meskipun terlihat enggan pria renta ini akhirnya mengatakan sesuatu yang ditahannya sedari tadi. "Le! Wes waktune awakmu nutup kabeh lelaku buyutmu!"
"EH! Lelaku? Bukannya aku sudah memutuskan perjanjian dengan Nyi Ireng? Bahkan Robert sudah berkorban. Kenapa masih belum cukup?" Terangku membela diri.
"Karena ini sumpah buyutmu sendiri!"
Sumpah! Sebenarnya apa yang sudah dia lakukan?
"Awakmu reti ora le? Buyutmu itu Salim Wijaya! Dia yang membawa semua ritual macapat ini. Sebelas ingon iblis untuk masing-masing pengikutnya yang setia. Tapi ada satu hal yang ndak banyak orang tahu, selain sebelas ingon, kakekmu juga membawa sepasang iblis, yang laki-laki namanya Ki Kolo Durmo dan yang perempuan namanya Nyai Durganti." Kali ini Eyang Damar bicara tegas seakan menahan amarah, padaku!
KAMU SEDANG MEMBACA
JULUNG KEMBANG (SELESAI)
HorrorManusia memang tamak dan serakah, sedikit sekali mereka bersyukur dan bersabar. Bukankah Tuhan memang menguji hambanya dengan sedikit kekurangan harta, kelaparan dan juga keturunan? Meskipun kau melakukannya demi tujuan yang mulia, semua itu tak bis...