DUA PULUH SATU

198 23 1
                                    

Sepersekian detik setelah iblis itu membaiatku sebagai Tuannya, mataku terbuka. Di hadapanku tubuh Eyang Damar tergeletak bersimbah darah.

Dalam genangan yang mulai membeku sebuntal rambut teronggok menyadarkanku. Simpul perjanjian Nyai Durganti.

Aku meneguhkan tekad! Menelan rambut itu bulat-bulat sampai tersedak. Aku mendorongnya dengan tangan meski mataku sampai berair. Terus memaksa! Meski tubuhku menolak.

BANGSAT! TELANLAH!

Rasa panas itu kembali datang, merejam tiap sendi tubuhku, kepalaku seperti dihimpit batu. Sakit! Bertahanlah! Sedikit lagi! Perlahan kilasan perjalanan ritual ini berputar di dalam kepalaku.

Kini aku terhubung sempurna dengan semua ritual ini juga Nyai Durganti!

Gambaran sebelas sosok ingon itu muncul satu persatu. Bagaimana mereka menjalankan ritual ini dari awal dan juga para penghianat itu, mereka bahkan tertawa sewaktu meninggalkan Wijaya yang meregang nyawa. Keparat! Aku mengingat nama mereka satu persatu.

Semuanya terus berjalan, seperti putaran film hingga satu hal yang aku sadari, meski para pengusaha itu memang berhubungan, tapi mereka hanya pion. Dalam setiap generasi, pemilik ingon ini berada di balik layar, bersembunyi seperti pengecut.

Tunggu! Bukannya Robert juga begitu. Ingon Nyi Ireng bersama Ayu kan?

Sial, tentu saja terlalu ceroboh jika mereka muncul langsung ke publik. Pantas saja penyelidikan Pak Ade selalu mental.

Apa ini? Kenapa wajah keturunan terakhir mereka justru buram. Kurang ajar, mereka menutupi diri dengan tabir.

Aku menyalak pada Nyai Durganti yang merunduk, memaksanya! Aku tahu dia bisa melakukannya. "Tunjukkan!" Hardikku sambil mengurut kepala yang berdenyut.

Iblis itu menunduk hormat. Meskipun tekanan di kepalaku semakin nyeri, satu persatu wajah itu menjelma dengan jelas, tapi tersisa seorang pria dengan postur tubuh sedikit gempal.

"Siapa dia!?"

"Pangkur Ndoro, Jaler Sanjaya! Kolo Durmo!"

Jadi dia yang memiliki pasangan Nyai Durganti, meskipun mencoba sekuat tenaga, aku tetap tak bisa me-ruak-nya. Sialan! Siapa sebenarnya pria ini?

Makam itu masih basah, tanpa nisan dan hiasan kembang. Hanya gundukan tanah dengan pertanda batu di ujung kepalanya. Setelah mengucap doa - yang entah diterima atau tidak- aku bergegas kembali. Menyusuri jalan setapak keluar dari hutan pinus yang lebat.

Sudah waktunya untuk merebut kembali, ingon iblis juga harta mereka. Serakah? Tidak! Sejatinya semua itu adalah milikku. Milik Salim Wijaya!

Aku terus memacu land crusher yang aku tinggalkan begitu saja di pinggir hutan. Matahari mulai meninggi seiring kepergianku, cahaya keemasan yang membawa harapan baru untuk setiap orang tapi tidak untukku. Sepanjang perjalanan bau kenanga itu menyebar pekat dalam kabin mobil, Nyai Durganti sudah bersamaku.

Tiga ritual tersisa, Kinanthi, Megatruh dan Ngabruk nyowo! Kilasan peristiwa itu menunjukkan ritual berikutnya dan tempat mereka memanen nyawa. Keparat itu pasti mati hari ini.

Desiran aneh sedari tadi menggelitik dadaku. Rasa haus akan sesuatu! Apa? Entahlah, aku tak bisa memastikannya.

Akhirnya aku sampai di sebuah warung kopi tepat di pinggir perlintasan rel kereta api tanpa palang pintu yang ramai dengan pengguna jalan.

Sedari tadi tanganku mengepal keras, mencoba sekuat tenaga menahan deru dada. Api dendam itu membakarku perlahan. Untuk orang lain ini hanya perlintasan biasa, tapi untukku jauh berbeda.

JULUNG KEMBANG (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang