TIGA PULUH ENAM

220 19 0
                                    

Aku merasakan tubuhku meringkuk di atas kursi dengan kedua tangan yang terikat ke belakang. Pandanganku gelap meskipun aku sudah membuka mata, sialan mereka menutup kepalaku dengan kain. Dadaku sesak meski aku sudah berusaha mengambil napas sedalam mungkin namun bau anyir yang menyeruak membuatku kesulitan.

Suara tangisan yang aku kenal semakin keras. "Ibu ... Oom peleman ... "

Merintih memanggilku berulang kali.

"Aji? Aji ... AJI!" Meski dadaku sakit aku terus memanggilnya.

"Oom?!"

"Aji, ini Ayah Nak!"

"Om, Aji takut."

"Atuh anak Pak Andra teh gak boleh cingeng." Seseorang menyahut membuatku kalap, aku memberontak sekuat tenaga tapi percuma, tali itu masih terikat kuat.

"Anak laki-laki pillihan Wijaya teh memang hebat atuh tapi kalau menurut saya mah bodoh juga munafik."

Pria itu menghinaku dengan suaranya yang memuakkan.

"Ayo di mulai saja! Nanti Adis keburu jauh!"

Bagus Sanjaya! Pria itu juga ada di sini, meski kepalaku tertutup aku pasti tak salah. Suaranya sangat menjijikkan.

"Sabar Atuh Mas Bagus. Ojo grasa grusu!" Keparat itu rupanya berpura-pura berlogat sunda.

Di sela keduanya bicara Aji masih terus menangis. Akhirnya seseorang membuka penutup kepalaku dan wajah memuakkan itu tersenyum seolah telah memenangkan semuanya.

"Wah, Pak Andra yang penyabar marah rupanya."

Galih Arjuno, pria ini benar-benar berbeda dari sosok yang aku kenal. Wajahnya yang lugu juga polos itu menghilang, kilatan matanya penuh kelicikan, bibirnya tersenyum semakin memuakkan. Aku tak pernah membenci seseorang seperti ini.

"Kenapa?"

"Kenapa!" Pria di hadapanku ini justru membalikkan pertanyaanku, dia berlutut dan menatapku tajam. Kebencian, kemarahan juga kesedihan terukir di sana.

"Seandainya saja Wijaya, buyutmu yang gila itu berhenti mungkin kehidupan saya pasti berbeda."

Wajahku yang kebingungan membuatnya tertawa lirih! Kesedihan di matanya menghilang begitu saja seakan tak pernah ada. Wajah itu semakin culas dan tawanya semakin keras. Memantul dalam dinding gua yang pengap dan gelap.

"Awalnya saja ... Awalnya saya berpikir seperti itu apalagi saat Agung, sahabat saya satu-satunya mati di bunuh ayahku sendiri. Saya menyalahkan takdir, ingon kepala buntung sialan juga jalan hidup saya seperti Pak Andra!" Pria ini bicara begitu mudahnya bahkan tersenyum begitu jumawa.

"Pak Andra mau tahu apa yang Agung temukan saat kami mencari cara untuk membuang ingon yang membuat saya hampir gila? Sebuah fakta jika sebelas simpul ini adalah kunci untuk memanggil iblis yang sebenarnya. Iblis yang bisa memberikanku apa saja. Termasuk kehidupan abadi. Sosok kambing yang tak bisa mati!"

Pria itu menunjuk ke arah tengah ruangan yang redup, puluhan tabung kaca itu mengitari tubuh Aji yang terikat dan duduk di dalam pangkuan patung kambing yang bersila. Sedangkan janin-janin itu meringkuk dalam cairan merah. Ruangan pengap yang selalu aku datangi dalam mimpi. Tempat para wanita itu meregang nyawa di mana ratusan bayi tak bersalah itu direnggut nyawanya bahkan saat mereka belum lahir ke dunia.

Tepat di depan Aji, Bagus sanjaya berdiri tak jauh dari tubuh pria tua yang terkapar, darah mengalir dari kepala merembes membasahi pakaiannya.

Cahaya ratusan lilin yang menyala memantulkan siluet Pakde Bas, membuat kesedihan dan amarahku bertambah, mereka juga melukainya.

JULUNG KEMBANG (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang