DUA PULUH SEMBILAN

197 20 4
                                    

Ucapan Pakde Bas seperti guntur yang menggelegar, hal yang paling aku takutkan justru terjadi begitu cepat.

Pak Sigit mendekat, mengusap bahuku untuk tetap teguh.

"Pak Andra, jangan putus asa. Saya yakin selalu ada jalan keluar." Pria itu membisikkan sesuatu dengan lirih.

"Yang benar Pak Sigit?"

Aku meyakinkannya sekali lagi, pria itu mengangguk cepat. "Ini alasan sebenarnya saya bergegas kemari." Pria itu bicara sambil meraih tas selempang yang ada di atas meja.

Sebuah amplop coklat tertutup rapat disodorkan, aku tergesa membukanya, meski sedikit kesulitan karena tanganku bergetar hebat. Satu persatu lembaran kertas itu aku baca seksama. Secercah harapan datang, kami tak pernah bercerai, semua surat itu dusta. Adis masih resmi menjadi istri Salim Chandra.

"Mas, saya yang bawa mobil. Kita pergi sekarang!"

Mas Bambang segera berlari ke atas dan kembali dengan kunci mobil juga jaket kulit milikku. Sedangkan Mas Agung tak sabar akhirnya bertanya, "Aya naoh Pak Andra?"

"Mas Agung wartawan betulan kan?"

"Iya atuh, memangnya teh kenapa Pak Andra?"

"Liput saja dan judul headlinenya 'Seorang pria gila nekat menikahi istri Salim Chandra' ikut?"

Wajah Mas Agung berbinar, pria sunda ini benar-benar senang. Dia bahkan tertawa lirih. "Hayuk atuh kita berangkat sekarang!"

Aku menatap Pak Ade, tanpa banyak bicara pun pria itu sudah mengerti jika aku juga meminta bantuannya.

Sepertinya aku kembali menggila tapi bukan karena dendam dan bisikan Nyai Durganti. Aku gila demi wanita yang harus aku lindungi! Demi darah daging yang harus aku rebut kembali.

Bagus Sanjaya! Pria itu sudah merencanakan dari awal dengan ibu. Memalsukan surat kematianku. Membohongi dan menyakiti Adis. Semua bukti ada di sini. Apakah sejak awal dia sengaja melakukannya karena aku adalah keturunan Salim Wijaya?

Mas Bambang menjerit tertahan saat aku menyalip truk angkutan dengan kecepatan tinggi sementara dari arah berlawanan di jalur yang sama sebuah mobil bus sudah menghadang. Hanya sekian meter sebelum kami berbenturan aku berhasil memotong dan masuk ke jalur kiri. Klakson dan makian kedua pengendara itu tak aku hiraukan. Aku harus cepat!

"Pak ojo ngebut-ngebut, kulo tasih arep rabi meneh Pak!"

Mas Bambang terus menerus mengeluh dari kursi tengah. Sedangkan di sampingku Pak Sigit hanya menutup matanya sambil berpegangan erat pada safety belt. Menenangkan diri.

Pakde Bas seperti biasa, mendengkur di kursi tengah sambil menyilangkan tangan tepat di sebelah Mas Bambang. Sedangkan mobil taft Pak Ade berada jauh di belakang. Aku kembali menaikkan kecepatan, speedometer bahkan melewati angka 100 Km/H.

"PAK ANDRA! ALLAHUAKBAR!"

Mas Bambang kembali histeris saat aku mengulangi hal yang sama, memotong mobil truk dengan jarak yang mepet. Lagi-lagi makian mereka terucap. Aku hanya bisa minta maaf dalam hati.

Aku tak boleh terlambat! Tekadku tak pernah seteguh ini, sekalipun tak bisa bersama lagi dengan keduanya, aku akan melindungi mereka sampai semua ini selesai dengan begitu aku bisa mati dengan tenang.

Aku bahkan sudah menentukan pria yang akan aku titipkan keduanya. Mungkin terdengar gila tapi hanya ini yang bisa aku lakukan sekarang. Harapanku laki-laki itu menyanggupinya.

Gapura itu terlihat, aku semakin bersemangat. Sedikit lagi aku sampai, hingga di kejauhan keramaian itu terlihat. Puluhan mobil mewah berbaris di sepanjang jalan desa.

JULUNG KEMBANG (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang