"PiFin!" Rebecca bersenandung riang begitu Freen berjalan menuju dapur. Dia bergerak mendekati Freen dan menunjukkan pisang. "Kami merindukanmu."
Freen menoleh kembali pada sahabatnya, yang sedang mengawasi inrekasi mereka dari sofa. Dia menaikkan sebelah alisnya pada mereka, dan mereka semua berbalik, menyadari kalau mereka ketahuan.
"Kamu butuh aku untuk mengupasnya?" tanya Freen, melirik pisang yang ditunjukkan Rebecca.
"Tidak," Rebecca menggeleng. Dia menatap pisang itu beberapa saat sebelum membawanya ke mulutnya dan mencoba menggigitnya. Dia buru-buru menarik pisang itu menjauh dan melihatnya dengan gusar. "Aku mematahkannya." Dia tercekat.
Freen tertawa dan menggeleng. "Kamu tidak mematahkannya," dia mengambil pisang itu dari tangan Rebecca dan mengupasnya setengah, mengembalikannya pada Rebecca. "Kamu cuma harus mengupasnya terlebih dahulu."
"Penyelamatku." Rebecca bersenandung bahagia, menunduk melihat pisangnya dan kemudian mendongak melihat Freen. "Kamu mau?" dia memiringkan kepalanya ke satu sisi dan mengarahkan pisang itu ke depan wajah Freen.
Mengangkat bahu, Freen mencondongkan tubuhnya mendekat dan menggigit pisang itu. Rebecca terkikik dengan semangat.
"Terima kasih." Freen tertawa melihat Rebecca yang semangat.
"Terima kasih." Rebecca meniru. Dia mengangguk sekali dan menggigit pisang, bersenandung senang.
"Tidak, kamu seharusnya mengatakan sama-sama," Freen menjelaskan pada Rebecca. "Kalau seseorang berterima kasih, kamu membalas dengan 'sama-sama'."
"Sama-sama, terima kasih." Rebecca mengangguk bahagia dan berputar, berjalan menuju konter dan duduk di salah satu kursi. Freen tergelak mendengar ucapan Rebecca, bersandar di konter dan melirik ke arah ruang tamu. Teman sekamarnya memalingkan muka dengan cepat, tapi Freen tahu mereka sedang memperhatikannya.
"Kamu punya suara tawa yang indah," Rebecca memperhatikan. Dia bersandar pada konter dan meletakkan jarinya di bibir Freen, seakan dia bisa mendengarkan tawanya lewat sentuhan. "Aku suka saat kamu tertawa." Rebecca menegaskan dengan anggukan.
Pipi freen memerah dan dia tahu tiga gadis lainnya terkejut melihat betapa mudahnya dia dan Rebecca bergaul. "Berarti aku harus lebih sering tertawa." Dia mengangkat bahu, menyeringai saat dia melihat Nam mengucapkan 'oh my god' tanpa suara pada Noey dari sudut matanya.
"Iya, sama-sama" Rebecca tersenyum dengan mulut penuh pisang. Freen tergelak, yang menyebabkan Rebecca tersenyum semakin lebar.
"Kita makan apa untuk makan malam?" Nam berjalan ke dapur, bersikap seakan dia tidak baru saja menyaksikan seluruh interaksi antara Freen dan Rebecca. Freen mengangkat bahu dan mulai membereskan barang belanjaan.
"Ini makan malam." Rebecca mengumumkan, memegang sekotak makaroni dan keju untuk dilihat oleh Nam.
"Pilihan bagus, Becky." Nam tertawa, mengulurkan tinjunya di hadapan Rebecca. Gadis yang lebih muda itu menatapnya dengan penuh tanya. "Kamu harus membenturkannya dengan kepalan tanganmu, seperti ini." Nam tertawa, mengulurkan tinjunya ke arah Freen, yang membalas gerakan itu.
"Oh," Rebecca mengangguk, membenturkan kedua tinjunya. Freen dan Nam tertawa. Nam menggelengkan kepalanya.
"Bukan, benturkan ke tinjuku," jelasnya, mengulurkan tinjunya pada Rebecca. Rebecca mengangguk sekali dan membenturkan tinjunya pada tinju Nam. Begitu tinju mereka bertemu, Nam menarik tinjunya ke belakang dan membuat suara ledakan dengan mulutnya. Rebecca tertawa dengan semangat dan melakukan hal yang sama.
"Buatkan gadis ini makan malamnya, Freen." Goda Nam, melemparkan kotak makaroni dan keju pada Freen. Gadis itu menatap Nam sebelum mengambil panci dan mengisinya dengan air. Dia meletakkan panci di atas kompor hingga mendidih.
KAMU SEDANG MEMBACA
YELLOW - Freenbecky
FanficBuku pertama dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Yellow → camren yang ditulis oleh @txrches. Freen Sarocha Chankimha membenci Rebecca Patricia Armstrong, se-sederhana itu. Bagaimana tida...