SEMBILAN BELAS

1.8K 239 68
                                    

"Bagaimana kamu mengenal Becky?" gadis berambut pirang itu bertanya begitu mereka sudah di jalan. Freen bergerak tidak nyaman di kursinya.

"Dia ..uh," Freen berdeham dan memandang keluar jendela. "Dia pacarku."

Mobil mereka hampir terserempet di jalan saat Sydney mendengar ucapan Freen. "Apamu?"

"Pacar." Freen menggigit bibirnya.

"Tunggu, tapi bukankah dia ... yang membaca pesanmu di hadapan seluruh siswa dan membuatmu ketahuan lesbian?"

Freen mengangguk.

Mereka berhenti di depan pohon di belakang rumah Rebecca dan Sydney memarkirkan mobilnya, memberi isyarat pada Freen untuk menunggu sebentar.

"Apa kamu yakin dia bukan hanya terbawa suasana karena dia tidak ... paham?" gadis berambut pirang bertanya dengan hati-hati. Freen menjadi bingung. "Maksudku.. dia dulu punya pacar laki-laki, bukan pacar perempuan, kamu tahu kan?"

Freen menggigit bibirnya saat pikiran itu melintas di benaknya. Dia tidak memiliki jawaban. Menghela nafas, Freen menggelengkan kepalanya dan keluar dari mobil. "Aku tidak mengkhawatirkan itu saat ini." ucapnya, menunduk sehingga dia bisa melihat gadis satunya. "Perhatian utamaku sat ini adalah membawanya kembali pulang dengan selamat. Terima kasih atas tumpangannya, tapi kamu sudah boleh pergi sekarang."

Dia menutup pintu dan berjalan pergi tanpa sepatah katapun lagi. Freen mengingatkan dirinya sendiri kenapa dia meninggalkan kotanya. Semua orang berpikiran sangat sempit. Dia mendengar suara mobil Sydney menderu menjauh begitu dia sampai di pinggir hutan. Dinding belakang rumah Rebecca bisa dilihat dari antara pepohonan, dan Freen tidak membuang waktu untuk merangsek menembus semak belukar.

Ada garis polisi yang dipasang di pintu belakang, begitu juga di jendela. Mereka benar-benar tidak mememberikan kesempatan untuk menyelinap.

Kemudian sesuatu menarik perhatian Freen. Ruang bawah tanah untuk perlindungan badai. Melirik kesemua arah untuk meyakinkan kalau tidak ada seorangpun yang mellihatnya, dia menyeberangi halaman dan menarik pegangan ruang bawah tanah. Shit. Terkunci.

Dia putus asa sekarang. Putus asa mencari jawaban. Dia menendang pintu dengan frustrasi, hampir berbalik saat dia mendengar suara retak. Engselnya.

Freen dengan cepat menendang pintu itu lagi. Dan lagi. Dan lagi, sampai engselnya terlepas dan jatuh. Dia buru-buru merangkak turun ke ruang bawah tanah, mengambil ponselnya dan menyalakan senter.

Untungnya, ruang bawah tanah itu tersambung ke rumah. Freen memanjat tangga metal kecil, mendorong pintu diatasnya agar terbuka. Dia mengangkat badannya naik, menyenter ke sekeliling dan menyadari dia berada di garasi. Misi tercapai.

Diam-diam, dia memasuki rumah. Dia langsung disambut dengan pemandangan yang membuatnya terkesiap. Lantai putih di dapur mereka diwarnai dengan darah. Kaca berserakan dimana-mana, dan Freen berterimakasih dia menggunakan sepatu dengan sol tebal.

Kaca.

Nam pernah menyebutkan sesuatu tentang ada pecahan kaca di kaki Rebecca saat dia muncul di apartemen mereka. Dia tidak mungkin langsung terbang ke apartemen mereka setelah ini terjadi kan? Freen menggigit bibirnya.

Yang dia tahu, dan dia yakin, adalah Rebecca tidak akan membunuh seseorang kecuali itu betul-betul diperlukan.

Dapur itu berbau darah kering, dan Freen berjalan menuju tangga kayu reyot. Setiap langkah serasa seakan lantai itu akan segera roboh. Rumah ini kacau. Tidak akan ada yang percaya seorang Rebecca Armstrong anggota cheerleader yang amat sangat populer tinggal di sini.

Dia langsung menemukan kamar Rebecca. Kuning cerah. Freen menggigit bibirnya untuk menyembunyikan senyumannya, menyadari beberapa hal sama sekali tidak berubah.

YELLOW - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang