"Apa yang ada di luar sana?" Rebecca berbisik, berbalik sedikit untuk menghadap Freen. Mereka menghabiskan hari itu bersama, dan saat ini sedang berbaring telentang, menatap langit. Freen menghamparkan selimut di sudut taman agar mereka bisa menyaksikan matahari terbenam. Yang akhirnya berubah menjadi menyaksikan bintang-bintang yang perlahan menghiasi langit.
"Di luar sana?" tanya Freen, masih memandangi langit. Rebecca menunjuk ke atas.
"Di langit. Pasti ada lebih banyak kan?" gadis yang lebih kecil itu memperhatikan wajah Freen sekali lagi. Dia merasa gadis itu jauh lebih menarik dari pada bintang-bintang.
"Tidak ada yang tahu." Freen akhirnya berbalik menatap Rebecca, mendapatkan senyuman dari gadis itu. "Aku rasa itu yang membuat manatap bintang terasa menakjubkan. Masih banyak hal di luar sana yang belum kita ketahui."
"Itu menakutkan." Rebecca beringsut mendekat pada Freen dan merebahkan kepalanya di bahu Freen.
"Tidak." Freen menggelengkan kepalanya. "Kita aman di bawah sini, BB." Dia merangkulkan tangannya di pinggang Rebecca dan menatap langit kembali. "Bintang-bintang itu hanya mengingatkan kita kalau kita tidak sendirian."
"Aku tidak sendirian." Rebecca mengangguk sekali. "Aku memilikimu."
"Kamu memilikiku." Freen mengonfirmasi, tersenyum lembut pada Rebecca.
"Dan kamu memilikiku." Rebecca tersenyum lebar dan membalikkan badan ke sisinya, menyangga tubuhnya dengan siku agar dia bisa mempelajari wajah Freen. "Kamu dan aku kan?"
"Kamu dan aku." Freen mengangguk sekali dan mengedipkan matanya pada Rebecca. Gadis yang lebih kecil terkikik dan membiarkan rambutnya terjuntai jatuh di depan wajahnya.
"Hei, jangan lakukan itu." Feen tertawa lembut dan mengulurkan tangan untuk menyelipkan rambut Rebecca ke belakang telinganya. "Jangan sembunyikan wajah cantikmu."
"Apa aku cantik?" Rebecca memiringkan kepalanya ke satu sisi, seakan cantik adalah konsep yang asing untuknya. Freen menaikkan sebelah alisnya dan berbalik sehingga dia ikut berbaring di sisinya.
"Aku pikir semua orang cantik." Dia memulai, mengulurkan tangan dan memainkan helaian rambut Rebecca di jemarinya. "Tapi ada sesuatu tentangmu yang membuatmu spesial." Freen tersenyum lembut. "Spesial untukku."
"Aku bahagia di sini." Rebecca menghela nafas lembut, kembali berbalik telentang dan memandang langit. "Ini adalah perasaan yang baru, tapi aku suka."
"Ini perasaan baru?" Freen menggigit bibirnya, pikirannya kembali pada isi jurnal lama Rebecca. Gadis itu selalu berdoa mengharapkan kebahagiaan, berharap bahwa suatu saat di masa depan dia akan menemukannya.
"Iya." Rebecca mengangguk, melanjutkan memandangi bintang-bintang. "Sebelumnya... ada banyak hal buruk. Dan orang jahat. Sangat sulit untuk bahagia." dia menoleh ke arah Freen dan mengerucutkan bibirnya. "Tapi ada kebahagiaan di sini, aku sudah menemukannya."
Nafas Freen tercekat di tenggorokannya saat Rebecca mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas dada Freen. "Ada kebahagiaan di sini. Bersamamu." Rebecca tersenyum puas. "Aku berada di rumah."
"Rumah?" tanya Freen, merasa sulit untuk membentuk kalimat yang tepat. Dia bersyukur hari sudah mulai gelap, sehingga gadis yang lebih kecil itu tidak bisa melihat rona merah di pipinya.
"Iya, rumah." Rebecca mengangguk. "Aku mencari rumah. Sebelum bertemu denganmu." Dia duduk dan berbalik hingga dia berhadapan dengan Freen. "Tapi aku tidak bisa menemukannya. Karena bahkan rumah yang bahagia memiliki penghuni yang sedih, kamu tahu itu?"
Freen mengangguk pelan, mulai memahami maksud Rebecca.
"Aku tidak mengerti kenapa rumah yang bahagia punya penghuni yang sedih." Lanjut Rebecca. Freen mengulurkan tangan dan meraih tangan gadis itu ke dalam genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YELLOW - Freenbecky
FanfikceBuku pertama dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Yellow → camren yang ditulis oleh @txrches. Freen Sarocha Chankimha membenci Rebecca Patricia Armstrong, se-sederhana itu. Bagaimana tida...