🌠 Jantung di Jogjakarta

62 5 0
                                    

"=⌕ Dwirangga Part /

˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Pagi hari yang cerah di kota Jogjakarta, sebuah, sebuah mobil pick up berhenti di sebuah minimalis sederhana. Banyak sekali orang-orang yang tengah membantu keluarga kecil itu pindahan bahkan anak keduanya juga ikut membantu walaupun hanya mengangkat benda-benda ringan. Tidak memungkinkan mengangkat barang yang terlalu berat dikarenakan penyakit jantungnya yang bisa kambuh kapan saja dan dimana saja. 

●~●~●~●~●

Brakkk. . . . .

Suara yang menggema di telinga Wanita paruh baya bernama Akila raut wajahnya terlihat khawatir dengan keadaan putra keduanya itu. Dia berlari keluar bisa di lihat anak keduanya itu sedang memungut beberapa koleksi buku bacaan nya dan lembar-lembar kertas lirik lagunya. Tak lepas juga sang bungsu juga membantu kakaknya untuk memungut barang-barang yang terjatuh itu.

"Aduh duh pelan-pelan toh bawa barangnya, Kakak nggak papa kan ??", pertanyaan Akila sukses membuat dua anak itu mendongak menatap sang Ibunda.

"Kakak nggak papa kok Bun, nanti kalau kakak ngeluh sakit janji akan bilang sama Bunda", Dwirangga menunjukkan kedua jarinya.

"Udah deh lebih baik kamu istirahat yang lainnya biar Bunda sama Adek yang beresin", ucapan Akila membuat Dwirangga cemberut.

"Kakak istirahat deh kalau nggak aku sleding loh kepalanya", ancam Arlina yang siap-siap mau menendang kepala Kakaknya itu.

Terkejut. "Iyadeh Kakak akan istirahat, ngancem mulu dah heran".

Dwirangga menuju ke kamarnya, ya dia pindah ke Jogjakarta dengan alasan Ibundanya ada panggilan kerja disini dan itu juga selamanya dan kesempatan ini bisa dia sempatkan untuk mencari keberadaan Sang Ayah yang menghilang beberapa tahun yang lalu. Dwirangga ingin bertemu dengan ayahnya sebelum dia pergi, penyakit yang dia derita tidak tau akan bertahan lama atau tidak. Ketika jalan takdir sudah terpampang nyata dia hanya pasrah dan berserah diri kepada sang pencipta.

Dwirangga mengambil laptopnya, jari-jemarinya mulai meretas semua web tentang kejadian kecelakaan tahun yang lalu. Dwirangga yakin kalau Ayahnya masih hidup, dia yakin kalau Ayahnya masih menghembuskan nafas, dia yakin kalau Ayahnya berusaha kembali. Jemari kecilnya dengan cekatan mengetik bilah papan laptopnya, kedua netranya tak lepas dari berbagai tulisan yang muncul di layar laptop. Helaan nafas terdengar dan Dwirangga menutup laptopnya, kedua kakinya dia tekuk, ada rasa penyesalan dan putus asa hingga terdengar suara isakan tangis yang sangat pelan. Dwirangga menumpahkan air matanya untuk mengurangi rasa sedihnya, dia hanya ingin Sang Ayah kembali dengan selamat. Dia merindukan sosok Sang Ayah.

"Sebenarnya Ayah ada di mana, aku sudah datang di Jogja loh yah tetapi kenapa Ayah tidak mau menampakkan diri", ucap Dwirangga di sela-sela tangisnya.


≪ °❈° ≫≪ °❈° ≫≪ °❈° ≫≪ °❈° ≫


Dwirangga hanya berdiri diam menemami adiknya jalan-jalan di alun-alun Jogjakarta. Sebenarnya dia sangat malas tetapi bukan Arlina kalau tidak memaksanya untuk bergerak, berjalan mengitari kota Jogjakarta. Arlina tengah menikmati indahnya alun-alun Jogja sedangkan Dwirangga hanya duduk, dia malas berjalan. Cuaca yang agak panas ditambah lagi sekitar alun-alun ramai orang, hal ini yang membuatnya bete.

Arlina menghampiri Kakaknya yang dari tadi termenung bagaikan patung, kelihatan wujudnya tapi kayak mati. Arlina berusaha mengajak Dwirangga untuk berjalan kembali tetapi Dwirangga menggelengkan kepalanya, dia sedikit lelah apalagi dadanya sedikit terasa sakit maklum obatnya belum di minum tadi.

"Jalan nanti lagi istirahat dulu....", ucap Dwirangga sambil menahan tangan adiknya.

"Halah Kakak mah gitu, jangan malas-malas kak untuk jalan. Kan kakak punya kaki itu ada gunannya", celetuk Arlina.

"Kakak tau tetapi ini jantung tidak mau di ajak kompromi", ucapan Dwirangga membuat Arlina kaget.

Kaget. "Kakak belum minum obat ??".

"Belum tak sempat minum tadi", ucapan Dwirangga membuat Arlina kesal.

"Untung aku bawa obatnya," Arlina mengeluarkan botol obat. "Lain kali aku akan cari pendonor untuk Kakak, aku nggak mau kalau Kakak ku sakit seperti ini lagi. Aku nggak mau kalau Kak Dwi tersiksa, sabar yah kak nanti ku carikan pendonor untuk Kakak," sambungnya.

Tersenyum. "Iya Kakak akan tunggu, tapi jangan lama-lama yah".

"Adek usahain nggak lama Kak, aku nggak mau kalau Kakak pergi", Arlina memeluk Dwirangga dengan erat menandakan tidak mau kehilangan sang Kakak tercinta.

"Aku akan berusaha tidak pergi," ucapnya. "Walaupun aku tidak yakin dengan ucapanku, berilah aku umur yang panjang, aku tidak mau kalau orang yang ku sayang menumpahkan air matanya sekarang," batinnya.

Dwirangga mengusap rambut Arlina dengan lembut, dia tau kalau Arlina dan Sang Ibunda khawatir dengan keadaannya. Remaja yang memiliki kelainan jantung itu sangat merasa tersiksa, dia sangat iri melihat orang-orang yang hidup dengan sehat mereka terlihat ceria dan bahagia. Dwirangga juga ingin hidup seperti orang-orang tersebut, hidup bahagia dan ceria.

Dwirangga tidak mau membuat Sang Ibunda dan Adiknya repot untuk mengurus dirinya. Dwirangga hanya ingin sehat, sejak kepergian Sang Ayah Dwirangga sering jatuh sakit. Dwirangga hanya ingin merasakan pelukan Sang Ayah kembali, Dwirangga ingin Sang Ayah kembali sebelum dia pergi nanti. Jika dia pergi sebelum Ayahnya kembali dia takut dengan keluarganya, dua permata berharganya tidak akan ada yang melindungi ketika sang bintang telah redup untuk selama-lamanya. 


╰─▸ ❝ @[karlenluya]

╰─▸ ❝ @[karlenluya]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


8 Star StudentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang