9) Pengantin Baru?

133 30 36
                                    

Selamat menyelami kisah Mas Anza dan Mbak Naisha mulai part ini, Guys

Happy reading ❤️

----••----

Kita adalah dua gunungan dosa. Maka, akan kugenggam tanganmu untuk mendaki bersama meraih ampunan-Nya.

~ Akmal Alanza Al-Afham ~

----••----

Naisha merebahkan diri di tempat tidur. Dia bisa bernapas lega setelah terlepas dari pakaian dan segala pernak-pernik yang menyebalkan baginya. Badannya terasa pegal karena tidak bisa bergerak bebas. Gadis itu memandangi punggung tangannya yang dihiasi oleh hena putih. Ia mendecak kesal karena bersentuhan dengan hal semacam ini.

Suara decitan pintu terbuka membuat atensi Naisha teralih. Gadis itu menangkap sosok laki-laki bersarung batik dan berpeci hitam yang tengah tersenyum tipis padanya di bibir pintu. Ya, dia adalah laki-laki yang sekarang berstatus sebagai suaminya. Naisha pun mengganti posisi menjadi duduk.

"Aku masuk, ya, Nai," kata Anza meminta izin.

Hal itu dibalas gumaman singkat oleh Naisha. Setelah mendapat izin, Anza pun mematri langkah mendekati sang istri. Tangannya membawa nampan yang berisi segelas jus jeruk yang tampak segar.

"Udah selesai bersih-bersihnya, Nai?" tanya Anza.

"Orang udah lihat masih tanya juga," jawab Naisha ketus.

Anza terkekeh. Ia meletakkan nampan kecil itu di atas nakas sambil berkata, "Padahal kamu cantik, lho, Nai pakai kayak tadi."

Manik Naisha melebar. "Matamu!"

"Hush mature ampun kados ngoten, toh! Mboten pareng, mboten sae," tegur Anza lembut.

(Hush bilangnya jangan kayak gitu, dong. Nggak boleh, nggak baik)

Naisha mencebik. Sebenarnya ia cukup geli apabila mendengar orang berbicara menggunakan Bahasa Jawa halus.

"Ngomongnya biasa aja bisa nggak?!" tanya Naisha cukup ngegas.

Anza mengernyitkan kening. "Biasa gimana? Aku udah biasa, lho ngomongnya."

Naisha mendecak. "Nggak usah pakai kromo! Geli gue dengernya."

Anza berusaha mengembangkan senyum tipis. Tutur kata Naisha sungguh buruk, persis seperti dirinya di masa lampau. Apakah ini yang dimaksud dengan jodoh adalah cerminan diri? Jika iya, maka Anza akan berlapang dada menerima. Dia pun beringsut duduk di samping Naisha.

"Al-kalimatut thoyyibatu shodaqotun." Anza membacakan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang keutamaan bertutur kata yang baik. Naisha langsung mengelih dengan kerutan yang tercetak di dahinya karena tak memahami apa yang Anza ucapkan.

"Tutur kata yang baik adalah sedekah," sambung Anza membacakan arti hadis tersebut. "Hendaklah berbicara yang baik karena bisa bernilai sedekah, Nai. Maka dari itu, aku berusaha untuk mengamalkan hadis tersebut, terlebih pada kamu, Nai, istriku."

Naisha memutar bola mata jengah. Mengapa laki-laki itu jadi ceramah dadakan?

"Iyain, deh," balas Naisha malas. "Bisa-bisa gue diceramahi terus nikah sama orang alim."

Tergurat sebuah senyum tipis di bibir Anza, lebih tepatnya sebuah senyum yang menyimpan sebuah luka. Tidak hanya Herman, ternyata Naisha juga menaruh persepsi baik padanya. Mereka belum tahu Anza yang sebenarnya. Jika Naisha dan Herman tahu, apakah mereka akan membencinya?

Covers in My Life (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang