22) Merekah

143 25 23
                                    

Happy reading ❤️

----••----

Kini, benih kasih itu telah tumbuh menjadi cinta yang selalu kupupuk dengan doa.

~ Akmal Alanza Al-Afham ~

----••----

Setelah mengikuti kegiatan mengaji di majelis, Anza menghabiskan waktunya sebelum tidur dengan duduk santai di balkon kamarnya sembari menikmati langit malam bersama seorang perempuan yang ditakdirkan menjadi tulang rusuknya.

Lantunan suara Anza yang sejuk di telinga membuat Naisha semakin nyaman berada dalam dekapan laki-laki itu. Jemarinya senantiasa mengusap lembut lengan Naisha seraya melantunkan bait-bait Alfiyah yang selama ini ia hafalkan. Anza merasakan beribu-ribu nikmat dalam murojaahnya ini karena didampingi seorang perempuan pelengkap hidupnya.

Awalnya Naisha hanya berniat mengantarkan moccacino kesukaan Anza tatkala melihat laki-laki itu duduk seorang diri di balkon. Namun ketika Naisha pamit undur diri, laki-laki itu justru menariknya ke dalam dekapan erat yang membuatnya susah untuk melepaskan diri.

Namun dalam hati kecilnya, Naisha tidak bisa berbohong jikalau dirinya semakin dibuat nyaman dalam posisi seperti ini. Bentengnya telah runtuh. Naisha kalah karena dibuat jatuh hati oleh semua sikap dan tutur Anza yang mampu membawanya tenggelam dalam manisnya madu kasih yang belum pernah Naisha rasakan sebelumnya.

"Sebenarnya kamu baca apa, sih, Za?" Gadis itu sedikit mendongak ketika bertanya. Hatinya dibuat penasaran dengan apa yang dibaca Anza tanpa henti sejak sepuluh menit lalu.

Kegiatan murojaah Anza terhenti sesaat ketika mendapat pertanyaan tersebut. Dia sedikit menunduk, menatap wajah Naisha yang tampak polos saat ini. Sebuah lengkungan manis pun terbit di bibirnya. "Aku lagi murojaah Alfiyah, Nai. Atau bisa disebut mengulang hafalan agar tidak terlupakan."

Naisha manggut-manggut. Dia kembali melempar pertanyaan. "Alfiyah itu apa?"

"Alfiyah itu kitab karya Imam Malik yang berisi bait nadhom untuk mempelajari ilmu nahwu, Nai. Syairnya itu indaaah ... banget, apalagi dengan makna di dalamnya yang selaras dengan kehidupan. Aku dibuat jatuh hati sampai aku berniat menghafalnya dan kuhadiahkan hafalan ini saat aku melamarmu," urai Anza.

Hati Naisha dipeluk haru mendengar jawaban Anza. Selain mendapat kado jasmani berupa hantaran dan sebagainya, Anza juga memberikan kado rohani. Naisha merasa jika semua itu terlalu berlebihan untuk diberikan kepada gadis nakal dan bodoh agama seperti dirinya. Seharusnya kado semacam itu diberikan kepada perempuan yang terverifikasi sebagai perempuan baik-baik, bukan cewek berandalan sepertinya.

"Za, kenapa kamu nggak nikah sama Hilma? Kenapa kamu malah pilih aku yang jelas-jelas bukan cewek baik?" Naisha melontarkan unek-uneknya yang dipendam sejak kemarin.

Tentu saja Anza terkejut. Mengapa Naisha bertanya demikian? Mengapa istrinya itu dengan lancang membuka lembaran yang berisi seorang perempuan bernama Hilma? Padahal, Anza sudah menutup lembaran berisi sebuah rasa yang pernah ia pendam terhadap putri sang guru tersebut.

"Kenapa, Za? Aku nggak yakin, sih kalau kamu nggak pernah ada rasa sama cewek sempurna kayak dia? Secara, 'kan kalian sering bertemu dan tinggal di lingkungan sama." Naisha mendesak Anza dengan pertanyaan sama.

Anza menghela napas panjang. Dia membenarkan posisi duduk dan membawa Naisha semakin dalam merasakan dekapan hangatnya. Tangannya terulur membelai surai sang istri. Sejak salat magrib tadi Naisha kembali ke style asalnya, yaitu kaos dan celana kimpul selutut. Dia belum terbiasa dengan pakaian tertutup, apalagi gamis dan kerudung syar'i.

Covers in My Life (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang