Percikan air perlahan turun dari langit. Belum sampai satu menit, percikan itu sudah bertambah deras membuat gue kalang kabut seketika. Penonton mulai mengemasi gadget mereka dan mengambil payung dari dalam tas masing-masing seperti sudah memprediksi bahwa cuaca hari ini sedang buruk. Tak lama, mereka telah asyik kembali berdendang bersama sang vokalis bahkan ada beberapa diantaranya berteriak histeris.
Di tengah euforia yang tercipta, gue malah berpikir bagaimana cara cewek di sebelah gue ini bisa diajak pulang. Masalahnya ini adalah acara yang ditunggu olehnya selama beberapa bulan terakhir bahkan ia rela meninggalkan perpustakaan tercintanya demi menonton pentas seni SMA Trianisda yang diadakan setiap tahun menjelang kenaikan kelas dan kelulusan.
Dia, Vanka Charlotte. Kalau kalian masih berpikiran cewek yang berkacamata, dikuncir kepang, and whatever...
Lo salah besar! Her style has returned!
Kalau gue bilang dia masuk eskul cheerleaders pasti sudah kebayanglah ya gimana tampilannya sekarang. Tampilannya sudah kembali seperti dahulu saat ia bersama Angelo dan entah kenapa gue senang saat dia bilang mau move on."Gimana, nih? Mau lanjut atau udahan aja? Makin deres gini ujannya," tanya gue setengah berteriak.
"Maunya sih udahan, tapi tanggung dikit lagi acaranya selesai," jawabnya tak kalah keras.
"Lanjut aja, nih?" gue agak sangsi karena tubuhnya mulai menggigil kedinginan sedangkan gue tidak mempersiapkan payung sama sekali.
"Lanjut aja! Udah terlanjur basah kuyup gini," saat mau menyanggah omongannya, Vanka sudah larut diantara kerumunan orang banyak. Gue menghela nafas keras dan lebih memilih untuk agak menjauhi keramaian.
Irama musik yang tadi menghentak-hentak seketika lenyap berganti dengan petikan gitar dari sang vokalis. Dalam sekali dengar saja gue sudah dapat memastikan bahwa ini lagu Little Things - One Direction. Lagu ini begitu familiar bagi kami, gue dan Raiska, karena ini satu-satunya lagu yang kami suka mengingat génré musik gue dan Raiska berbanding seratus delapan puluh derajat. Memori yang ingin gue kunci rapat-rapat kembali menyeruak keluar, berputar-putar di otak gue tiada henti.
---
Raiska membentangkan tangannya lebar-lebar seakan ingin menguasai karpet yang sedang ia tiduri. Sedetik kemudian ia mulai menggerak-gerakkan tangan dan kakinya seperti membuat malaikat pada salju.
"Bosen ih, Ka," ujarnya malas. Gue melirik sekilas, "terus?"
"Main yuk!"
"Dih, males. Main handphone aja sana," gue pura-pura tak acuh.
"Ih, baterai handphone gue abis. Bosen, Ka! Ayo main!"
'Ya Tuhan, kenapa gue gak bisa nolak dia, sih?' runtuk gue kesal. Gue tetap diam, memandang ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari gadis ini. Dalam sekejap, keheningan tercipta. Suara air yang menghantam atap rumah pohon Raiska mendominasi suasana dingin yang menusuk kulit.
Gue kembali menatapnya. Keremangan karena listrik padam membuat gue agak sulit membaca raut wajahnya. Belum puas gue menatapnya, ia sudah beranjak dari tempat duduknya.
Apa dia risih, eh?
Tapi kemudian ia kembali ke tempat duduknya semula dengan memegang gitar pada tangan kirinya dan itu menjelaskan semuanya. Gue pura-pura tidak mengerti, "ngapain?"
Ia menyodorkan gitar itu pada gue, "Nyanyi. Bosen."
"Males, suara gue mahal," sahut gue sombong dan dihadiahi sebuah toyoran olehnya. Belum sempat gue protes, sebuah tangan menggelitiki perut gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best-Friend [zone]
Teen FictionGue, Raka Adiperwira. Gue cuma salah satu dari most wanted boys di sekolah tercinta gue, SMA Trianisda. Dibalik semua itu, gue punya masalah yang sangat penting. OWSHIT I'M FRIENDZONED. And this is my story.